Hikayat Suku Talang Mamak

Ketika mentari naik
Cahaya menyerbuk di antara pohon-pohon
Diselingi puluhan burung
Yang mengasah paruh di batang jagung

Di tepi
Para lelaki berkulit kelat melawan mentari
Yang tak surut letih menjala-jala hari
Sekian depa jaring terkembang
Menyerahkan hidup pada pencarian

Sementara sepanjang pesisir
Ketika hujan tumpah, wanita paruh baya sibuk menyusuri lereng,
Melacak  pakis dan rotan di tengah belukar baja
Sebab di talang segala  rintang tak berpantang
Asal periuk dapur  terus mengepul kenyang

Petang tandang, ketika sepasang ikan saling menunggu
Di celah dua batu yang berjauhan.
Barulah segerombolan anak rimba bertubuh cungkring
Berwajah legam tanpa alas kaki berbondong kunjung
Ke datai untuk melayarkan ilmu kehidupan
Meski tak mengenal sejarah buku-buku dan kata-kata di bangku sekolah Namun mereka tidak ingin diperbudak oleh kebodohan

Pukul waktu menggigil sendi
Di rumah-rumah beratap ijuk,
Di atas balai bambu,
Anak-anak mamak talang  dibekali nyali
Meski angin menghempas malam
Membawa gelombang topan tandang ke dipan

Kampar, 2019

*

Cindua Mato  

Di Tilong Kupang
akan datang padamu laki-laki paruh abad  
bermata parang berwajah garang 
yang lihai memanggil arwah leluhur 
Yang telah bersemayam di kuburan 

dengan mengunyah sirih dan menyembur ke tengkorak bagian 
maka cindua mato[1] yang sudah termantra dengan cepat masuk ke badan 
lalu mempertanyakan ihwal kematian 

dengus angin rintih, dedaunan rontok
pun bersilang ulang bersama guyur hujan 
membasah di tanah kaba Minangkabau
sebagai pertanda ritual telah ditunaikan 

“di mana rahasia kejadian lama disurukkan, 
di situlah Limbang sakti berjaya kembang”
ucap lelaki itu menyeringai di sela giginya bewarna jagung matang 

Pekanbaru, 2019

*

Hikayat Biso Sipasan

Angin mengendap ke lembah 
fajar belum penuh tandang 
kicau burung berduyun memanjat kerdil ranting 
dari arah jurang barisan 
picik mata penyamun bagai mata elang mengerang  
Mengintai datuk memintas jalan 

Tanpa aba-aba bagai tumpukan lebah  
Segerombolan penyamun menyerang 
mendobrak pintu Pedati dengan kaki 

namun Datuk Sipasan malah membuka sapa salam 
tanda sopan dan kalam diri
“Serang!” ucap di antaranya berbahasa minang
sembari mengambil kelewang di pinggang

Meski pukulan menghantam terjang 
Dan mengayun gelepar tendang 
Bagai arus sungai rangrang mengucur darah simban 

Sebab Ihwal di Bukit Tambun Tulang tak seorang pun menandingi 
Datuk Sipasan si raja silek dari Pariaman 
yang pada dua kuku tunjuk dan empu jarinya 
mengundang  bisa seribu lipan

Sunyi cekam
Getir melambung asam 
Maut berpaut kian membentang 
Meregut nyawa penyamun dengan garang 

Pariaman, 2019

*

Cina Benteng, Mei 1998

teruntuk Mei-mei

Masih kusimpan bercak pilu 
di sela rintih yang runtuh di puisiku 
pada gadis-gadis diperkosa dan harta benda dirampas paksa 

bocah-bocah berlarian memintal jasad ibu kota yang sudah bersimbah darah 

Angin ngilu meratap 
Daun-daun basah 
Bau amis menyeruak 
timpal tanya kembali gentayang di sela mataku yang nganga 
Bagaimana muasal kota berlinang berai 
diriuh robek bendera
Bagaimana luka di sekujur tubuhku memantul ruang yang raung 

laiknya kerlap-kerlip lampion kota lincah menertawa 

“Inikah Negeriku yang dilanda huru-hara? kebiadaban merajalela, sedang tubuh mungilku terlunggang menyendiri dililit sedih.” Ucap dendam lampau menyaru bagai mata pisau 

kelam terbayang
menjadi bayangan hitam
di palung katulistiwa 

kuarak sisa ingatan itu lagi,
dari aroma mesiu dan pekat asap 
membumbung durja 
Sedang bumbul sesak di dada 
makin mengempul bagai pijar merah 

Pekanbaru, 2019

_______________________________________
[1] Cindua Mato adalah  ilmu pusaka yang bernama Sirih Tanyo-tanyo pada arwah leluhur