Namaku Bunga Nur Saskia. Aku duduk di bangku SD kelas enam. Ayahku seorang buruh di sebuah pabrik karet di kampungku. Ibuku hanya ibu rumah tangga.
Di sekolah aku punya seorang sahabat bernama Zahra. Ia sahabatku satu-satunya karena teman dekatku kebanyakan laki-laki.
Begitu waktu pulang tiba, “Ra, pulang bareng yah,” kataku agak merajuk.
“Ok!” kata Zahra antusias.
Siang itu angin berembus kering menerbangkan debu jalan. Musim kemarau tahun ini sudah lumayan lama, hampir tiga bulan tidak turun hujan.
“Assalamu’alaikum, Mak. Bunga pulang!”
Tidak ada jawaban.
“Emak di mana?” teriakku.
“Bunga, emakmu ke sungai mengambil air,” kata Bi Yati, tetanggaku.
Saat aku menyusul Emak ke sungai, ternyata di sana juga banyak teman-temanku yang sedang mandi. Aku jadi lupa kalau aku ke sungai untuk mencari Emak. Aku langsung bergabung dengan mereka dan menceburkan diri ke sungai.
“Bayu, balap renang yuk!” tantangku.
“Ayo! Kalau aku menang kamu harus traktir bakso ya!” jawab Bayu.
“Oke! Kalau aku yang menang kamu yang harus traktir,” timpalku. “Berani nggak sampai ke bawah pohon beringin itu?” tantangku lagi.
“Berani laah, memangnya takut apa?” jawab Bayu.
“Jangan!!!” bentak Zahra tiba-tiba.
“Kenapa sih, Zahra? Nggak usah takut!” kataku pada Zahra.
Di tepi sungai, agak ke hulu dari jembatan, memang ada sebuah pohon beringin yang akarnya menjuntai ke sungai. Keadaan itu yang membuat sekitar jembatan kelihatan angker. Karena dulu di sana ada seorang anak laki-laki tenggelam, maka tidak seorang pun yang berani bermain di tempat itu.
Azan zuhur sudah lama berkumandang. Orang-orang yang tadi ke sungai untuk mencuci piring sambil berwudu sudah tidak ada. Hanya ada anak-anak yang masih bermain di sungai.
“Horeee! Aku menang!” teriakku yang duluan sampai di batu cadas tengah sungai dekat pohon beringin.
“Bayu! Kamu harus traktir aku bakso!” teriakku kembali. Namun, Bayu tidak kunjung muncul.
“Bayu!!!” Aku memanggilnya lagi, tetapi Bayu tidak juga muncul.
“Zahra! Bayu ada di situ nggak?” teriakku ke Zahra yang menunggu di hilir.
“Memangnya Bayu ke mana, Bunga?” teriak Zahra.
“Dia nggak muncul-muncul dari tadi,” teriakku lagi.
Kami mulai kebingungan dan kemudian minta tolong pada bapak-bapak yang sedang menggali pasir di hilir. Orang-orang kampung mulai berdatangan ke sungai untuk menolong atau sekadar mencari tahu apa yang terjadi.
Sudah lebih dari lima jam, tetapi Bayu belum juga ditemukan. Aku dan Zahra menangis. Kulihat ibunya Bayu juga menangis, bahkan pingsan.
Kami meminta pertolongan kepada “orang pintar”, tetapi hasilnya nihil. Hampir tiga hari tiga malam Bayu tidak ditemukan. Lalu pada hari keempat, muncul buih-buih putih di sungai sekitar pohon beringin. Semua menjerit histeris, ternyata itu jasad Bayu.
Jasad Bayu dibawa pulang dan disemayamkan selayaknya orang meninggal. Namun, anehnya, tubuhnya masih kelihatan segar, dan hal itu masih menjadi teka-teki bagi warga kampungku hingga sekarang.[]