Aku hanyalah sebuah layang-layang yang dibuat tahun 2010 pada saat pergantian musim—hujan menuju kemarau. Aku dibuat oleh seorang lelaki berumur kira-kira enam puluh tahun. Sebelum aku dibawa pergi oleh seorang anak kecil, aku telah mengetahui bahwa namanya adalah Sarmin. Seorang lelaki yang telah ditinggal mati istrinya dua tahun sebelum aku ada, yang tinggal di sebuah kampung bernama Pringgolayan berkecamatan Banguntapan.

Semenjak kematian istrinya, lelaki itu mencoba menghapus kesedihannya dengan membuat layang-layang dan menjualnya. Ketika masih muda, ia seorang lelaki yang terkenal paling jago membuat layang-layang. Bila ia membuat permainan yang memanfaatkan angin tersebut, selalu enak dimainkan. Rekatan antara kertas dengan bambu maupun benangnya, sangat kuat dan terkesan rapi.

Setelah sekian lama tak bersentuhan dengan bambu, benang, kertas, dan lem serta pisau, keahliannya tersebut ternyata tidak pudar. Sebelum memutuskan untuk berjualan layang-layang, ia telah membuat sebuah layang-layang dan menerbangkannya. Ia membeli benang layang-layang seharga sepuluh ribu. Lelaki itu mengadu layang-layang miliknya dengan milik orang lain, yang entah milik siapa.

Di wilayah kota dan pinggiran kota, mengadu layang-layang bukanlah suatu perbuatan yang mengganggu sebagaimana memainkan layang-layang di desa. Bahkan tanpa mengetahui milik siapa, sah-sah saja dilakukan. Di desa, bila akan beradu layang-layang, harus ada kesepakatan terlebih dahulu dengan yang akan diajak tangkas-tangkasan benang. Kala ada layang-layang putus, tidak akan ada protes yang berujung pada perkelahian. Di kota, manakala ada layang-layang diterbangkan, berarti telah siap bertarung dengan layang-layang dari mana pun. Di kota, bila sebuah layang-layang putus, berarti sudah terputus pula ikatan dengan si pemilik, artinya layang-layang itu sudah tanpa tuan, siapa pun berhak mendapatkannya.

Kini aku telah menjadi milik seorang anak kecil setelah ia membeliku. Tidak seperti teman-temanku yang lain, maksudku teman-teman seangkatanku yang dibuat oleh Sarmin, yang telah dibeli oleh anak kecil lain. Anak kecil itu tidak menciptakan gambar di tubuhku menggunakan cat yang telah disediakan Sarmin. Aku justru senang, dengan begitu tubuhku tidak ternoda oleh cat, masih putih mulus.

“Sebentar lagi aku akan ngundho[1]. Semoga aku tidak langsung kalah sore ini, karena jika aku langsung kalah, kamu satu-satunya layang-layang yang kumiliki. Masak iya aku langsung melongo menatapmu kelimpungan? Masak aku bermain tanpa kemenangan?” kata anak kecil itu kepadaku, sembari melangkah ke belakang rumah dengan membawa benang layang-layang yang digulung pada potongan pipa berukuran besar. Anak kecil itu bernama Wakhid.

Wakhid mengambil sebatang lidi dari sapu. Ia melubangiku tepat di titik perpotongan bapangan[2] dan adeg-adeg[3], sebanyak dua lubang. Kemudian ia mengambil pucuk benang dan memasukkannya ke lubang yang telah dibuatnya di tubuhku. Kira-kira berjarak satu meter dari titik di mana benang ditalikan, ia memotongnya, lalu mengikatkannya di sudut bagian bawah tubuhku. Aku beberapa kali diajak berlari sebelum kemudian benang yang ada padaku disambungkan ke benang yang digulung pada potongan pipa.

***

Aku telah terbang. Tubuhku didorong angin, tapi aku tak kelimpungan karena ada benang yang menahanku. Kulihat, begitu luasnya langit, betapa birunya sangat indah. Sesekali kulihat awan putih, juga warna jingga di ujung barat. Kulihat pula atap-atap rumah yang terlihat berdesakan, jalan-jalan, pohon, dan hal lain yang aku tidak tahu apa—pemandangan yang sama sekali tidak enak untuk dinikmati.

Sore ini, menjadi sore yang bersejarah bagiku. Untuk pertama kalinya aku terbang. Sesekali aku merasakan tubuhku bergerak melawan arus angin. Itu tidak berlangsung lama. Begitu gerak itu selesai, aku kelimpungan. Hanya sebentar juga. Setelahnya, aku kembali menikmati empasan angin yang begitu kencang.

Sebuah layang-layang mendekatiku. Aku mendengar Wakhid berkata sambil berteriak.

“Wei, ada musuh!!!”

Kemudian ia menarik benang lalu melepaskannya. Hal itu ia lakukan berulang kali. Beberapa kali layang-layang itu melintas di depanku, dan turun. Benangnya menindih benang milik Wakhid. Di momen seperti ini, jarakku antara Wakhid semakin jauh. Namun, keadaan cepat berubah, dua benang itu tidak saling tindih lagi.

“Ngejak ulur[4], kok cuma menggoda, tidak serius. Selalu lekas melepaskan diri kalau sudah tinggal adu kekuatan benang!” Wakhid tampak geram.

Layang-layang itu tidak juga menjauh. Oleh Wakhid, aku sendiri berusaha didekatkan pada layang-layang itu.

***

Aku semakin menjauh, benang yang menghubungkanku dengan Wakhid tidak kunjung menegang. Tubuhku terus diterbangkan angin. Aku semakin jauh dari Wakhid dan semakin rendah mendekati tanah. Wakhid tidak lagi tampak. Beberapa anak kecil berlari searah angin, seperti mengikutiku. Ada seorang anak kecil yang berteriak, “Wei, ada layang-layang tatas[5]! Kalah ulur!”

Ya, aku kalah. Benang yang digunakan untuk mengendalikanku kalah ulur.

Tubuhku berhenti bergerak manakala aku tersangkut di sebuah pohon. Anak-anak kecil yang tadi berlari searah denganku, berteriak-teriak. Dari sela-sela daun, aku melihat ada yang berusaha memanjat. Ada pula yang mengambil bambu panjang dan mencoba meraihku dengan benda itu.

Pada akhirnya aku berhasil diraih oleh seorang anak kecil. Namun, yang terjadi kemudian membuatku kaget. Seorang anak kecil tiba-tiba berlari ke arahku, tangannya mencabik-cabik tubuhku. Tubuhku tergeletak di tanah. Aku tidak lagi berbentuk. Aku masih mendengar teriakan-teriakan. Dua anak kecil terlibat baku hantam. Seorang anak kecil berkulit sawo matang, seorang lainnya berkulit terang.

“Kamu curang!” kata si kulit terang.

“Yang curang itu kamu. Aku sudah dapat benangnya, kamu malah meraih layang-layangnya dengan bambu.”

“Dari dulu aturannya tidak seperti itu. Siapa yang menyentuh layang-layang terlebih dahulu, dialah pemiliknya. Walaupun kamu sudah mendapat benangnya, kamu belum menyentuh layang-layangnya.”

Mereka kembali saling melancarkan serangan. Brutal. Salah satu dari mereka menangis, sementara aku diabaikan.

***

Malam telah tiba. Aku teronggok di atas tanah, di dekat pohon di mana aku mendarat. Aku tentu tidak tahu, apa yang akan terjadi denganku esok hari. Udara begitu dingin. Angin malam menggugurkan daun-daun kering. Sedari tadi tidak kudapati layang-layang di tempat kotor yang penuh semak belukar ini.

Pada tengah malam, dua orang tampak menuju ke tempat ini. Seorang mengenakan pakaian hitam, seorang lagi berpakaian kumal. Tunggu, tunggu, bukankah orang yang berpakaian kumal itu Sarmin, orang yang menciptakan diriku? Kuamati lebih teliti lagi. Memang tidak salah lagi, orang berpakaian kumal itu ialah Sarmin. Sekarang, jarak mereka denganku begitu dekat.

Tiba-tiba saja aku mendengar jeritan. Orang yang berpakaian hitam menghantam perut Sarmin berkali-kali. Pada suatu kesempatan, Sarmin tergeletak. Kepalanya lemas. Kemudian orang berpakaian hitam menarik bagian leher baju Sarmin. Aku menangkap kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Kalau tiga hari lagi tidak juga bisa melunasi utangmu, kamu akan tahu sendiri akibatnya!”[]

Bantul, 2019


[1] Menerbangkan layang-layang.

[2] Kerangka layang-layang berupa bambu yang bentuknya melengkung.

[3] Kerangka layang-layang berupa bambu yang letaknya vertikal dan digunakan sebagai tumpuan bapangan.

[4] Adu kekuatan benang atau menarungkan layang-layang.

[5] Putus.