Semenjak itu aku membenci rumah sakit, terlebih rumah sakit untuk orang-orang miskin yang menyediakan sebuah ruangan besar berisikan enam hingga delapan ranjang. Hanya sehelai gorden yang memisahkan masing-masing ranjang. Cita-citaku semenjak itu berubah, semua-mua aku kerjakan agar bila suatu saat aku sakit, aku tidak harus tinggal di ruangan besar yang digunakan bersama di rumah sakit. Bersua dan menghabiskan 24 jam dengan orang-orang yang tidak kukenal. Aku enggan. Aku malas. Aku ketakutan.
Ibuku mengaduh suatu pagi, lututnya kesakitan. Dia, sebagaimana perempuan tua pada usianya, memang kerap mengeluhkan sendi entah itu di lutut atau di pergelangan kaki yang linu dan kesakitan setiap berdiri sehabis duduk mengupas bawang—ibuku petani bawang dan tidak mau mendelegasikan semua pekerjaan kepada orang lain, dia harus tetap terlibat dalam setiap proses. Kupikir dan berulang kali kusampaikan, dia perempuan yang sudah bau bawang ditambah bau minyak urut. “Mending bau wangi, Bu,” kataku yang kerap disambut dengan layangan tangan.
Sehabis sarapan, ibu meminta diantar ke rumah sakit terdekat. Dan aku, seperti biasa berhalangan, sebab aku tidak tinggal sekota dengan ibu. Munir, kemenakan ibu, yang mengantar. Cerita lengkap dan detail kejadiannya baru kuketahui dua hari kemudian, tetapi sore selepas jam kerja, Munir menelepon mengabarkan kalau ibu dirawat di rumah sakit.
“Sebab linu di lututnya?” aku takut bukan sebab perkara minyak sendi, tetapi sesuatu yang mematikan tumbuh di lutut ibu.
“Bukan. Lututnya baik-baik saja. Tetapi tangannya.”
“Tangannya juga linu?”
“Bukan. Ketika hendak pulang dari rumah sakit, bude mampir membeli rambutan dan mangga,” memang sedang musim rambutan dan mangga. Dan meski ibu tidak menggemari dua buah itu, sebab rambutan kerap jadi sarang semut dan mangga paling enak adalah ketika sudah dijus, tapi ibu kerap membeli buah dan semua jenis kudapan dalam jumlah banyak. Tiada lain untuk para pekerja di rumah yang dari pagi hingga Magrib membantu mengupas bawang. “Bude tidak mau dibantu mengangkat dua plastik besar mangga dan rambutan.”
“Dia keseleo, atau bagaimana?” suaraku mulai tidak sabar.
“Bukan. Bude terjatuh, kemudian tangan kirinya menjadi tumpuan.”
“Astaga….!” Mataku mengernyit, membayangkan luka yang dirasakan ibu.
“Tulang hastanya mencuat.”
“Sekarang bagaimana?” aku mulai khawatir.
“Bude sudah ketawa-ketiwi. Katanya besok sudah mau pulang.”
“Tidak boleh. Jangan sampai pulang, sebelum aku melihatnya langsung. Dan memastikan semua baik-baik saja.”
“Kan Jakarta jauh….”
Meski jauh, esok paginya aku sudah sarapan nasi pecel dalam pincuk daun jati di depan rumah sakit tempat ibu dirawat. Langit di kabupaten lebih biru dari langit Jakarta. Udara sama-sama penuh timbal dan karbon monoksida, hanya mungkin kadarnya yang lebih rendah dari jalanan Jakarta. Munir kuminta pulang, sekaligus menyampaikan pesan kepada semua orang yang bekerja mengupas bawang dan para tetangga untuk tidak perlu menjenguk ibu sendiri-sendiri apalagi berombongan. Selain itu akan menganggu istirahat ibu, kamar ibu juga tidak seorang diri seperti yang kupikirkan. Munir juga punya tugas tambahan; memastikan bawang-bawang sudah selesai dibersihkan sebelum lembap dan jamur merusak panen.
Perihal kamar, aku meminta ibu untuk pindah ke kamar yang lebih baik. Minimal ibu bisa istirahat dengan tenang tanpa harus terganggu oleh riuh pasien di ranjang sebelah. Ibu kan yang sakit cuma tangan, nggak usah buang-buang duit. Ibu memang demikian. Kamu kalau balik sarapan, bawa gorengan yang banyak. Bagi-bagi ke pasien sebelah, atau setidaknya yang jaga mereka.
Sebab kebaikan atau setidaknya keramahtamahan ibu ini, aku akhirnya berkenalan dengan Ranti Dewanti. Perempuan yang sudah menikah tiga kali dan diceraikan dua kali, sebab dari kelaminnya kerap keluar cairan busuk yang itu konon membuat dirinya tidak pernah hamil. Saat kutanya apa suami ketiganya tidak protes, Ranti Dewanti terkikik keras.
“Suamiku yang ketiga ini tua. Tua sekali. Bahkan lebih tua dari bapakku,” jawab Ranti Dewanti. Kuperhatikan lelaki tua yang mengorok di ranjang. Kutaksir usianya 60-an awal, sebaya dengan ibu.
“Tapi kan, lelaki punya hasrat yang abadi,” jawabku.
“Aaah, aku punya cara sendiri untuk itu.”
Aku menyodorkan mendoan dan sepincuk nasi pecel kepada Ranti Dewanti. Dia hendak menolak, yang kutahu memang demikianlah pakem basa-basi ketika ditawari makanan dari orang asing. Ibuku dari ranjangnya menyuruh, bahkan akan marah kalau Ranti Dewanti menolak. Ranti Dewanti menerima kemudian gantian mengulurkan dua buah pisang rebus yang montok dan masih hangat.
Pagi itu kami berdua bercakap-cakap. Ranti Dewanti sudah seminggu menjaga ayahnya yang entah sakit apa. Setiap diperiksa dokter, hanya ditemukan gula dan tekanan darah tinggi yang mencuat. Sisanya baik-baik saja. Jantungnya apik. Paru-parunya meski aus, bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Pun ginjal, pankreas, hati, usus, dan bagian-bagian dalam lainnya. Namun, ayahnya kerap mengeluhkan sakit menusuk di dekat pusarnya.
“Seperti ada pisau yang menyayat-nyayat,” imbuh Ranti Dewanti.
“Apa nggak dibawa ke rumah sakit yang lebih besar saja,” usulku. Sebab rumah sakit kabupaten, pikirku tidak memiliki fasilitas selengkap, misalnya, rumah sakit di provinsi.
“Ayah dibawa ke sini, sebab sudah seminggu juga di rumah sakit Semarang. Dan tidak membuahkan apa-apa, selain dua ekor sapi jantan harus kami jual.”
“Lantas, kata dokter apa?”
“Mungkin sejenis penyakit tua yang ajaib.”
Frasa ajaib ini kemudian aku simpan sampai berhari-hari kemudian. Yang entah mengapa kuyakini menjadi biang segala yang muncul di malam harinya. Ranti Dewanti minta undur diri untuk mandi dan memintaku menjaga kalau-kalau lelaki tua di ranjang terbangun. Untung sampai dia selesai mandi dan tubuhnya wangi sabun murahan, lelaki tua itu masih ngorok cukup keras.
***
Lelaki tua di samping ranjang ibuku, tepat pukul sepuluh malam, ketika aku sedang membuka laptop untuk memeriksa surel, berteriak sekencang-kencangnya. Benar-benar kencang, seolah tenaganya dicurahkan semuanya. Ranti Dewanti sedang rakaat terakhir solat Isya di tengah ruangan. Aku terhenyak dan menyaksikan ibu juga terhenyak kaget. Enam orang lain dan para penjaga masing-masing juga terhenyak. Gorden tipis warna biru tidak cukup kedap menyerap teriakan lelaki tua itu.
“Inggih… Kanjeng Ratu! Saya siap. Saya siap mengabdikan jiwa raga saya!” lelaki tua itu cukup keras berteriak.
Aku menutup laptop, kemudian berbisik kepada ibu. Ada apa ini, ibu? Ibu menggeleng. Tapi lekas meraih tasbih. Telunjuk kanannya memutar-mutar biji tasbih. Kupikir semua orang di ruangan itu sama takutnya denganku. Apakah ini tanda lelaki tua sedang di tubir kematian? Ataukah dia hanya terbangun sebab mengigau atau mimpi buruk?
Ranti Dewanti tanpa membuka mukena apalagi melipat sajadah, gegas menghampiri tubuh bapaknya. Aku pun membuka lebar-lebar kain pembatas ranjang ibu dan ranjang lelaki tua itu. Dia tidak seperti pagi tadi yang begitu layu, lemas. Lelaki tua itu kini sudah berdiri tegak menjulang, tangannya sedekap di dada. Matanya melotot, hanya tampak bagian yang berwarna putih. Ranti Dewanti mengelus-ngelus dan melafazkan kalimat-kalimat doa.
“Pak….. Istigfar, Pak…. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Laaa Ilaha Illallah!” wajah Ranti Dewanti tidak berubah. Tetap tenang. Bibirnya bergerak-gerak. Sedang lelaki tua itu benar-benar tidak menggubris apa-apa yang dilakukan oleh Ranti Dewanti.
“Kanjeng Ratu, kehadiran Kanjeng Ratu sungguh hamba rindukan. Kanjeng Ratu… Kanjeng Ratu…”
“Pak… Pak… Istigfar, Pak.”
Lelaki tua itu berhenti sejenak. Tangannya lunglai di sisi tubuh. Aku berusaha memencet-mencet tombol panggilan suster. Dan entah tombol itu tidak berfungsi atau bagaimana, tidak ada yang muncul dari pintu. Suster dan dokter seperti budeg, tidak mendengar apa pun malam itu. Seharusnya teriakan lelaki tua ini sudah cukup mengguncang rumah sakit.
Ranti Dewanti kembali tenang, ketika lelaki tua itu tidak lagi meracau aneh-aneh. Tetapi beberapa jenak kemudian lelaki tua itu menangis kencang sekali.
“Hiiiihiiihiiihiii…. Kanjeng Ratu, jangan tinggalkan hamba. Kanjeng Ratu….”
Sunyi sejenak. Kipas angin di empat pojok ruangan menampar-nampar dingin di tengkukku. Menyapu-nyapu seperti embusan napas seseorang. Ranti Dewanti masih tak henti melafazkan kalimat-kalimat suci. Aku memeluk ibu. Ibuku pun membaca hafalan-hafalan surat alquran. Aku hanya berpikir, adegan apa ini? Mungkinkah lelaki tua itu kesurupan sesuatu di ujung usianya?
Berkali-kali, bergantian. Dia teriak-teriak. Kemudian menangis tergugu seperti anak kecil. Semua orang terjaga, meski tidak semua membuka pembatas kain birunya. Aku yang menyaksikan Ranti Dewanti menangisi dan melantunkan kalimat zikir pun tak bisa berbuat apa-apa. Setengah jam kemudian, dokter dan suster jaga datang menyuntikkan obat penenang atau obat tidur tidak kupahami. Hanya saja, sejenak kemudian lelaki itu terduduk kemudian terbaring. Lantas tertidur. Entah kelelahan atau memang efek dari obat yang disuntikkan.
“Maafkan, Bapakku, ya.”
Aku menggeleng, sambil menyodorkan sebotol teh kemasan dingin. Kupikir dia pasti butuh sesuatu yang menenangkan diri dan mendinginkan kepala.
“Apa dia sering begitu?”
“Sejak sakit, baru seminggu terakhir ini. Setiap malam. Suster dan dokter sampai bosan,” jawab Ranti Dewanti. Ah, pantas panggilanku tidak dihiraukan. “Mereka bilang ini semua efek demensia. Penyakit tua.”
Aku masih mengangguk-angguk. “Tapi, orang di kamar ini berpikir Bapakku kena teluh atau setidaknya ada tangan-tangan tidak terlihat yang membuatnya demikian.”
“Kamu yang kuat….”
Aku tertidur di sleeping bag tidak jauh dari ranjang ibu. Selimut tipis aku kemulkan rapat ke tubuhku. Samar mataku menangkap jam dinding di atas pintu, pukul setengah dua belas malam. Ibuku sudah lelap, tangannya masih diperban. Mataku diayun kantuk. Aroma obat, wangi pengharum ruangan, dan lotion anti nyamuk menyerbu hidung. Di batas tidur, mendadak aku mencium aroma bawang. Aku tersenyum. Ini adalah aroma masa kecilku, aroma rumahku, aroma hangat hasil sublimasi keringat ibu. Aroma bawang yang membuatku bisa kuliah dan bekerja di Jakarta. Juga aroma yang membuat ibuku sekarang harus dirawat. Aroma itu semakin pekat menyerbu. Seolah sedompol bawang kupas diletakkan di depan mukaku. Dadaku mulai sesak. Aku menggapai-gapai sesuatu yang tidak nyata. Aku membuka mata. Tepat di mukaku, wajah lelaki tua itu menyeringai. Hanya warna putih yang memenuhi liang matanya, hidungnya kembang kempis. Aku menghidu dari aroma bawang yang kuat dari rongga mulut dan liur yang menetesiku.
“Kanjeng Ratu, ini anakmu. Ini anak yang selama ini kamu nantikan… Kanjeng Ratu….”
Aku berteriak sekencang yang kubisa. Semua orang terbangun kecuali Ranti Dewanti.
***
“Seharusnya kamu membenci aroma bawang,” timpal Sukhi.
“Mana mungkin. Bawang itu sumber rejeki keluarga. Aku hanya bersumpah tidak akan mau tinggal di kamar ramai-ramai seperti itu lagi.”
“Kamar campur seperti itu memang kadang ajaib.”
“Dan menyeramkan. Aku membencinya, nomor satu sekarang. Bikin runyam ketemu orang-orang aneh seperti itu.”
Sukhi mengelus rambutku, kemudian mencium keningku. “Tenang kamu aman. Meski itu buruk dan runyam. Tapi seluruh hidupmu tetaplah tidak seburuk hidup eksil.”
Aku terhenyak. Untung bukan sebab aroma bawang. []
*) Image by istockphoto.com