Sudah hampir lima menit Yosi memelototi layar laptop. Berkali-kali ia arahkan kursor pada file yang sedang terpampang, ke atas lalu ke bawah. File bertuliskan “Law Firm Bangun Tarigan, S.H & Partners” itu intinya ingin meminta waktu untuk berbicara. Buat apa? Mungkinkah masalah plagiasi? Sebuah attachment juga terselip di dalamnya, berisi artikel online berjudul “Seorang Ibu Rumah Tangga di Malang Tega Menghabisi Nyawa Sang Suami,” Yosi menutup mulut, ia ingat betul kejadian ini, sebab dia lah yang menulis artikel tersebut semasa masih bekerja sebagai wartawan lepas.

Cepat-cepat ia sambar ponselnya, tergeletak di atas tumpukan tulisan-tulisannya yang gagal terbit. Entah artikel, opini, esai, cerpen maupun novel. Yosi menghubungi nomor telepon yang dicantumkan oleh sang pengirim email. Ia masih menerka-nerka apa yang ingin mereka bicarakan dengannya.

Seorang perempuan mengangkat telepon dari Yosi.

“Dengan Law Firm Bangun Tarigan, S.H & Partners, ada yang bisa saya bantu?”

“Halo Mbak, saya ingin berbicara dengan Bapak Bangun Tarigan”

“Dengan Bapak siapa saya berbicara?”

“Yosi Yovendra.”

Perempuan tersebut bertanya apakah Yosi memiliki janji dengan Bangun Tarigan yang dijawabnya dengan tidak. Namun, Yosi berkata bahwa ia telah menerima email dari Bangun Tarigan yang isinya sangat penting.

“Baik, Bapak Yosi mohon tunggu sebentar akan saya sambungkan.”

Yosi menunggu sambungan telepon itu sambil terus memainkan kursor laptopnya. Hingga terdengar suara serak di seberang sana menyapa Yosi.

Bangun Tarigan, pengacara yang memiliki firma hukum di Malang ini sudah cukup terkenal kiprahnya. Banyak kasus yang telah ia selesaikan berkaitan dengan tindak pidana. Salah satu yang mencuri perhatian masyarakat kala itu adalah, kasus seorang ibu rumah tangga yang menghabisi nyawa suaminya dengan sadis. Banyak yang mempertanyakan mengapa Bangun Tarigan sampai harus turun tangan atas kasus ini. Bahkan, siap menerima laknat orang-orang. Wajar saja, masyarakat sangat murka atas meledaknya kasus tersebut. Bangun Tarigan dianggap hanya sekadar mencari sensasi belaka, dan ikut mencoreng nama baik Kota Malang.

Pengacara itu mengabarkan maksud dan tujuan ia mengontak Yosi. Semua hal ini ternyata berkaitan dengan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Royanti, juga kondisi kliennya saat ini. Bangun Tarigan memberikan rincian, semata-mata jikalau Yosi sudah tidak mengikuti kasus tersebut. Ia juga menyebut-nyebut artikel online hasil tulisan Yosi yang duhulu sempat terbit, dahi Yosi mengerut,

“Terus kenapa? Royanti tidak suka dan ingin menuntut saya?” tanya Yosi.

“Oh, tentu tidak bukan itu maksud klien saya Pak Yosi,” Bangun Tarigan segera mengoreksi diri. Ia tidak ingin Yosi salah paham terhadapnya dan Royanti.

Ia lalu menjelaskan kepada Yosi perihal apa yang sebetulnya diinginkan Royanti. Walaupun hal itu disampaikan secara perlahan oleh Bangun Tarigan, Yosi tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya yang membuat ia membisu untuk beberapa saat.

“Halo Pak Yosi?” suara Bangun Tarigan terdengar dari seberang.

“Ya, Pak,” jawab Yosi.

“Sepertinya hanya Anda yang mampu melakukannya.”

“Terlebih lagi, tidak ada penulis lain yang harganya cukup terjangkau.”

Bangun Tarigan tertawa basa-basi. Tawa yang hampir saja membuat Yosi tersinggung.

“Jangan khawatir, nama Anda tidak akan dicantumkan,” jelas Bangun Tarigan.

“Saya bukan wartawan lagi pak, hanya penulis freelance,” ucap Yosi.

“Kami tahu Pak Yosi, tetapi anda memahami kasus itu kan? Anggap saja ini permintaan terakhir Ibu Royanti,” tutup pengacara itu.

Yosi melempar begitu saja ponselnya ke atas meja. Benar-benar tidak habis pikir, ia mendapatkan tawaran untuk menyunting sebuah naskah kumpulan cerpen. Namun, bukan bayarannya yang membuat Yosi susah. Melainkan si pemilik naskah tersebut adalah seorang wanita, dengan predikat narapidana hukuman mati di lapas wanita Kota Malang. Ibu bernama Royanti itu menggorok leher sang suami saat sedang tidur, ia sudah merencanakan aksinya jauh-jauh hari. Pengadilan menjatuhi Royanti hukuman mati atas tindakannya, ia sedang menunggu eksekusi selama 10 tahun ini.

Sebelum ajalnya datang, Royanti memiliki satu keinginan, ibu rumah tangga itu ingin kumpulan cerpennya diterbitkan. Bukan memoar ataupun biografi, yang bisa saja malah dianggap sebuah pembelaan sia-sia nantinya. Napi 52 tahun itu hanya ingin karyanya bisa dibaca orang lain, ia butuh seseorang yang mampu menyampaikan tulisannya. Nama Yosi menarik perhatian Royanti, artikel Yosi tentang dirinya dibaca ratusan ribu orang. Bangun Tarigan sempat menunjukkan artikelnya saat berusaha menyusun pembelaan.

Dengan enggan, Yosi akhirnya terpaksa menerima pekerjaan tersebut. Mau bagaimana lagi, sebagai penulis ia juga butuh makan. Walau tidak terbesit sedikitpun rezeki itu hadir dengan cara seperti ini. Yosi menyunting seluruh kesalahan dalam cerpen, mulai dari tanda baca, ejaan, efektivitas kalimat, pemilihan kata sampai keterkaitan antar paragraf. Tidak terlalu sulit sebetulnya, karena tulisan Royanti terbilang rapi untuk ukuran ibu rumah tangga. Apalagi Royanti juga sudah memberikan judul ke semua cerpennya. Terdapat 15 judul cerpen, diantaranya adalah “Janji”, “Buah Hati”, “Kudus”, “Amuk” hingga “Penghakiman.”

Dua ratus lembar, tidak kurang tidak lebih, cerpen itu selesai. Yosi berniat mengirim naskah itu ke Bangun Tarigan untuk diterbitkan. Sebelum dikirim, Yosi sempat membaca ulang seluruhnya dan mendadak jantungnya hampir berhenti. Semua isi cerpen itu menggambarkan kehidupan Royanti. Yosi cukup yakin karena dahulu ia pernah menguliti sosok tersebut, dari mulai asal-usulnya, keluarganya, sampai tempat tinggalnya. Hal ini menjadi lazim saat itu, karena pembaca sangat ingin tahu siapa sebenarnya Royanti. Yosi tidak menyia-nyiakan ketertarikan masyarakat, itulah ladang penghasilannya. Walaupun dalam hati ia juga risih jika harus menyajikan data pribadi seorang narapidana. Dan di cerpen yang terakhir, terungkaplah alasan mengapa Royanti sampai membunuh. Hal itu ia lakukan demi menyelamatkan putrinya, karena Royanti tahu bahwa suaminya sudah beberapa kali melecehkan sang buah hati.

Di paragraf akhir, Royanti menjelaskan jika ia ikhlas menerima hukuman. Saat di persidangan ia tidak menceritakan motif mengapa membunuh. Semata menjaga nama baik sang suami yang adalah seorang pemuka agama. Yosi ingat betul kata-kata Bangun Tarigan tentang Royanti, jangankan grasi, banding pun tidak ia lakukan.

“Pak Yosi, Bu Royanti berterima kasih atas bantuan Anda,” ucap Bangun Tarigan di telepon, beberapa minggu kemudian.

“Sudah saya kirimkan hasil cetaknya beserta fee, maaf hanya itu uang Bu Royanti,”

“Doakan beliau, lusa adalah waktu eksekusi,” pengacara itu mengakhiri pembicaraan.

Yosi membuka amplop cokelat tersebut, isinya sebuah buku dan sejumlah uang. Di halaman awal cerpen ada pesan dari Royanti,

“Kepada Y,  simpanlah kisah ini untuk dirimu sendiri, cukup kenanglah saya dalam doa.”

Yosi tercenung menatap buku kumpulan cerpen Royanti, entah untuk apa uang sebesar lima juta rupiah itu ia akan gunakan. 

*) Image by istockphoto.com