Nama pena atau nama samaran seorang penulis adalah lumrah dalam dunia kekaryaan. Namun, apa jadinya jika setiap penulis memiliki nama pena pada setiap karya yang diterbitkannya? Tentu itu menjadi hal prinsip bagi seorang penulis yang bersangkutan. Seperti yang dialami oleh Reza Nufa. Penulis kelahiran 18 November 1989 ini kerap menggunakan nama pena pada setiap buku yang diterbitkannya.
“Nama pena berbeda digunakan agar bisa mewakili pasarnya masing-masing. Satu nama tidak memadai untuk menulis lintas genre dan tema,” katanya saat dihubungi Kurungbuka melalui WhatsApp beberapa waktu lalu.
Menurutnya, nama pena semacam alat marketing. Dia menganggap tidak mungkin pakai nama Reza Nufa untuk naskah tip dan trik beternak bebek, misalnya, “jika nama itu sudah lebih dulu dipakai untuk naskah filsafat,” kata penulis yang gemar berolahraga, menggambar, menulis, melamun, makan, dan tertawa itu.
Mengganti nama pena, menurutnya, juga merupakan cara agar seorang penulis perlu lebih rileks. Salah satu cara dalam menghadapi tantangan utama penulis guna mengendurkan sedikit idealisme atau romantisme penulis terhadap bentuk-bentuk lama.
“Kita bisa memakai sebanyak mungkin atribut zaman ini sebagai alat kreativitas yang lebih mumpuni. Misal, banyak kemungkinan yang lahir dari mudahnya mengakses karya-karya lintas bahasa, lintas kebudayaan, dan kemudahan dalam berinteraksi dengan penulis-penulis berpengalaman, dan lain-lain.”

Pria yang sempat mendapatkan pendidikan Teknik Mesin Perkakas di SMK Setia Budhi, Rangkasbitung dan kini bermukim di Yogyakarta itu juga menambahkan banyak hal yang bisa dieksplorasi oleh penulis zaman now ini, baik dalam hal tema atau bentuk penyajiannya, sayangnya kita kerap terjebak dalam pola-pola lama.
Meski demikian, Reza memberi pemahaman bahwa setiap penulis memiliki caranya masing-masing dalam berkarya. Cara ia dalam berkarya tentu berbeda dengan penulis lainnya. Maka dari itu, Reza pun tidak menuntut seseorang untuk mengikuti proses kreatifnya.
“Tulis sesuatu yang kamu sukai. Mulai dari titik itu. Dan usahakan untuk mengalami lebih banyak realitas. Maksud saya, penulis yang baik pasti tumbuh dari kenangan-kenangan yang kaya, atau pengalaman-pengalaman yang berlapis, atau pengejaran cita-cita yang dramatik. Kata-kata, bagi seorang sastrawan, perlu dialami. Tidak bisa hanya dengan riset kepustakaan,” tutupnya.(red)