Sebenarnya saya sedang jenuh. Tidak sebebas dulu. Tidak bisa ke mana-mana. Bahkan harus di rumah saja. Banyak kebiasaan lama yang dilakukan, baik sendiri maupun bersama-sama, tiba-tiba harus terhenti dan berubah. Penyebabnya, tak lain karena wabah virus corona yang masuk ke Indonesia pada awal Maret di Depok (atau merujuk pemberitaan dunia bahwa virus ini mulai merebak sejak awal tahun di Wuhan, Beijing, China) membuat kondisi di negeri ini menjadi was-was, takut, antisipatif, hingga waspada. Kenyamanan sosial pun ikut terancam dengan kedatangan corona ini. Karena masyarakat, terutama saya, merasa terteror sehingga harus menjaga diri dan juga menjaga orang-orang yang disayangi dari wabah “mematikan” ini.
Ditambah lagi, pusat episentrum wabah corona dimulai dari ibu kota negara, yakni DKI Jakarta. Sejak itu DKI Jakarta menjadi pusat perhatian negara bahkan dunia. Setiap orang yang pulang dari Jakarta atau keluar-masuk Jakarta menjadi ancaman untuk orang-orang daerah. Sebab, disadari atau tidak, virus ini bakal ikut ke mana orang itu pergi. Apalagi kalau orang tersebut sepulang dari pelesiran ke luar negeri. Tentu ia juga menjadi oknum yang berbahaya.
Baca juga: Bansos Yes, Rapid Test No
Dengan demikian, DKI Jakarta mulai memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sekitar pertengahan Maret lalu. Melihat data korban corona yang terus meningkat setiap harinya, membuat saya mulai jarang berangkat ke kantor. Pihak kantor juga gercap mengantisipasi serta mewaspadai (berharap para pegawainya tidak mengalami atau tertular wabah corona) dengan mengeluarkan “surat sakti” untuk bekerja dari rumah alias work from home bagi para pegawainya.
Bekerja dari rumah tidak serta-merta menjadi kabar gembira bagi saya, tapi ada juga tidak enaknya:
- Enaknya, saya jadi sering bersama anak-istri (biasanya seminggu sekali pulang ke rumah mertua hanya untuk jenguk anak-istri, karena sejak punya anak kedua, istri pulang ke rumah ibunya), memantau perkembangan anak, mengajak anak bermain, dan membantu istri.
- Tidak enaknya, saya jadi lebih sering nimbrung saat mertua nonton sinetron di televisi sampai hafal jadwal tayangnya, menjadi bapak rumah tangga karena tiap pagi sampai sore yang dilihat tetangga kerja saya hanya gendong anak saja, mengurung diri di kamar kalau sudah masuk jadwal tugas WFH dari kantor (biasanya si sulung sering menyergap saya mengerjakan tugas kantor, ponsel/laptop jadi sasarannya), dan tiap hari berasa piknik di kebun binatang (karena anak pertama dan anak kedua saling cemburu minta perhatian bapaknya dengan cara merengek).
Sejak wabah corona mulai merebak, selama kurang lebih tiga bulan ini, saat itu pula saya dirumahkan, dalam arti bekerja dari rumah. Namun, ketika melihat pemberitaan, baik di media elektronik (daring) maupun media massa cetak, saya termasuk beruntung. Sebab, wabah corona ini telah melumpuhkan sendi-sendi vital bernegara dan berbangsa, terutama sektor krusial yang menjadi hajat hidup orang banyak, yakni industri, pariwisata, perdagangan, dan pendidikan. Banyak orang diberhentikan dari pekerjaannya (PHK) hanya karena tempat kerjanya tidak bisa berproduksi, dibatasi jam operasionalnya, hingga dilarang melakukan kumpul-kumpul, demi memutus mata rantai virus corona.
Berdasarkan data Gugus Tugas Covid-19 Nasional, hampir 50 ribu orang terinfeksi, 19 ribuan dinyatakan sembuh, dan 2000-an meninggal dunia. Dengan kondisi saat ini yang belum stabil, apalagi setelah tiga bulan, daerah yang termasuk zona merah dan kuning melonggarkan isolasi wilayah, kini muncul kebiasaan baru. Konon New Normal mulai diberlakukan meskipun wabah virus belum mereda. Selama tiga bulan di rumah, bukan berarti saya tidak pergi ke Jakarta. Pada awal DKI Jakarta memberlakukan PSBB, saya masih sempat berkantor, tapi memasuki bulan Ramadan mulai jarang.
Baca juga: Bansos Yes, Rapid Test No
Terkadang ada kekhawatiran dalam diri ini, apalagi punya anak usia batita dan satu lagi berusia 8 bulan. Istri yang masih menyusui dan juga mertua berusia lanjut. Saya selalu berupaya melakukan protokol kesehatan mandiri; sering cuci tangan, pakai masker jika keluar rumah, pulang dari tempat zona merah langsung bersih-bersih/mandi, jaga jarak sosial dan fisik. Belum lama ini memasuki normal baru, saya kembali berkantor di Jakarta. Kekhawatiran tentang kesehatan diri dan orang-orang yang disayangi terus terngiang di kepala. Berharap tidak terjadi apa-apa.
Pekan lalu, dapat informasi dari mertua (kebetulan mertua juga merupakan kader posyandu setempat) bahwa akan ada tes swab gratis untuk mencegah merebaknya wabah corona. Terkhusus tes diadakan untuk risiko tinggi (risti) ibu hamil dan orang-orang bepergian ke daerah zona merah Covid-19, seperti saya ini. Dua hari sebelum pelaksanaan tes, saya berbincang dengan istri. Meyakinkan diri kalau saya baik-baik saja. Lalu meminta pendapat sekaligus motivasi istri bahwa apa yang saya lakukan dengan mengikuti tes adalah untuk kesehatan dan kebaikan bersama. Ada kekhawatiran kalau saya bolak-balik ke daerah zona merah menjadi pembawa virus itu. Maka itu, saya harus siap mental dan berani ambil risiko demi kesehatan.
Hari pelaksanaan tes swab diadakan di terminal bus berdampingan dengan pasar tradisional Cikampek, Kabupaten Karawang, dengan tim pelaksanaan dari Gugus Tugas Covid-19 Kabupaten Kawarang, petugas kepolisian, Dinkes, dan UPTD Puskesmas Cikampek. Saya pagi-pagi mengajak anak-istri jalan menggunakan motor sekaligus mampir sejenak melihat tempat pelaksanaan tes. Ternyata pesertanya membeludak, terutama ibu hamil. Para kader posyandu pun, baik dari Cikampek Timur, Barat, Utara, dan Selatan, mulai mendata nama-nama yang bersedia di-swab. Jadwal tes dimulai pukul 08.00—12.00 WIB.

Melihat jarak sosial di tempat pelaksanaan jauh dari protokol kesehatan, membuat saya ragu. Saya pulang ke rumah dan kembali lagi ke tempat tes tanpa didampingi anak-istri. Namun, yang membuat saya miris adalah minimnya antuasiasme warga sekitar, terutama para pedagang dan orang-orang yang tinggal tidak jauh dari tempat pelaksanaan tes swab tersebut. Bahkan, ketika saya mengobrol dengan tetangga rumah, ada ketakutan pada diri mereka, kalau-kalau dinyatakan positif Covid-19.
Baca juga: Bansos Yes, Rapid Test No
Saya mendapat nomor antrean 183, setelah berdesak-desak untuk menyerahkan fotokopi e-KTP dan KK. Usai azan zuhur, meja pendaftaran ditutup. Peserta yang mengikuti tes swab berjumlah 203 orang, dengan 80-an ibu hamil dan sisanya umum. Saya datang mulai dari pukul 10.00, mendapat nomor atrean pukul 11-an, dan pukul 12-an giliran dites swab. Ternyata di-swab tidak memerlukan waktu lama. Petugas Covid-19 hanya menyuruh kita membuka mulut dan menengadahkan muka. Karena petugas Covid-19 akan mengambil liur dan ingus kita menggunakan cutton bud panjang. Namun, yang membuat pedih dan hampir air mata ini berlinang ketika cutton bud masuk ke hidung. Setelah itu, mendapat pertanyaan dari petugas lainnya terkait riwayat penyakit, gejala sakit, kemana saja kita pernah pergi, dan terakhir mendapat edukasi tentang Covid-19.
Setelah menjalani tes swab, saya merasa lega sekaligus khawatir. Lega karena ternyata tes swab gratis itu tidak menakutkan, tapi saya khawatir dengan hasil swab-nya. Saya sedang menanti hasil tes swab sepekan berikutnya. Semoga mendapatkan hasil yang baik. Harus kuat! (*)
Trackback/Pingback