Alunan musik merambat di antara dinding ruangan yang mulai diredupkan waktu. Jam di tembok yang temaram, menunjukan hampir pukul empat sore, tapi cuaca di luar seakan mengajak waktu untuk melupakan matahari. Mendung dan muram langit kala itu. Sementara, di antara pintu studio siaran radio, di seberang meja berukuran tiga kali satu setengah meter, seorang lelaki tengah asyik mendengarkan musik. Menggunakan headphone yang terpasang di antara kedua telinganya seraya menatap layar smartphone. Ia sendiri. Mengisi sore dengan musik yang ia putar dan sebungkus rokok di sisi tangan kanannya.
Lelaki itu masih khusyuk menggeser-geser layar smartphone-nya sebelum akhirnya tersadar, di hadapannya wartawan Kurungbuka.com telah hadir untuk bertemu mewawancarainya. Ia sedikit kaget, hingga akhirnya membuka percakapan. Mempersilakan duduk, dan dengan sigap mengambilkan air untuk disuguhkan. Perbincangan dimulai dengan berkenalan dan bertukar kabar lalu sebuah pertanyaan mencuat sebagai pintu gerbang obrolan mereka.
———
- Jadi, Martin tuh nama asli?
Kalau orang radio pasti nggak asing dengan istilah nama udara. Martin itu ya nama udara saya, cuma nama panggilan. Nama asli saya malah jauh dari nama itu. di KTP Agus Abdullah Ismail, jauh banget, kan? Saya lahir di Sukabumi 14 November 1973, udah tua ya. Haha. Jadi ceritanya, dulu pertama kali saya siaran di Cirebon Radio, sebagai penyiar harus punya nama udara. Tapi berhubung di sana itu kontennya harus lokalitas dikasih namalah saya ’Tarmin’. Sebagai anak baru ya nggak bisa nolak. Tapi dalam hati sih gimana gitu. Lama-kelamaan ya dipelesetinlah, jadi ‘Tin… Tin…’ jadilah Martin, sampai sekarang.
- Unik juga, ya. Kalau persinggungan Om Martin dengan radio, ceritanya gimana tuh?
Dulu, pertama kali saya dengar radio waktu kelas empat sekolah dasar. Kalau dulu itu kan ada sandiwara radio, dongeng, lagu-lagu sering diputerin di radio. Jadi saya tuh suka dan ngikutin banget sandiwara radio. Ya, kalau sekarang mungkin kayak sinetronlah. Tapi pernah dilarang tuh sama orangtua. Sampai saya nyolong-nyolong buat denger radio. Kalau diinget-inget sih, orangtua ada benernya juga, karena waktu mulai sandiwaranya itu deket sama jam ngaji dan belajar. Mengganggu belajarlah. Tapi dulu, kita anak akhir 80-an ‘kan haus sama hiburan. TV udah ada sih, meski belum banyak yang punya. Tapi saya seneng aja denger sandiwara radio. Bisa ngebangun imajinasi pendengar, Teater of Mind-lah. Tau sendiri, kalau ketinggalan beberapa episode sandiwara jadi susah ngikutinnya lagi.
- Setelah sering ngikutin sandiwara radio apa udah ada keinginan semisal: nanti pas gede pingin jadi penyiar?
Kalau keinginan jadi penyiar sih belum kepikiran waktu itu. Apalagi secara latar belakang pendidikan saya formal banget sampai kuliah pun di semi-militer, di pelayaran. Tapi ada masa di mana, waktu kecil saya sadar saya punya jiwa seni. Waktu saya SD ayah saya mengajak saya ke sekolahnya. Ayah saya dulu guru di SPG. Nah, di sana ada ruang seni gitulah. Banyak alat musik. Tapi ruangannya di kunci. Sampai saya bela-belain masuk dari jendela buat nabuh drum. Pake lidi waktu itu. Alat musik pertama yang bikin saya tertarik itu drum. Sampai kemudian di masa dewasa itu melekat di diri saya kalau saya suka sama musik. Malah masuk ke dunia penyiaran juga karena saya suka musik.
- Tahun berapa kira-kira pertama kali Om Martin masuk ke dunia penyiaran?
Pertama kali masuk ke radio resmi itu sekitar tahun 2000. Tapi kalau mulai siaran itu dari tahun ’92 di radio gelap. Diajak temen dulu bikin siaran musik. Tapi ya masih ngawur. Belum paham ilmu broadcast. Dan resiko radio gelap, modal sendiri. Kalau rusak ya patungan. Sebenernya waktu itu pernah nyoba masuk ke Radio Maritim. Jadi di Cirebon itu ‘kan ada 2 radio besar waktu itu, RRI dan Maritim. Tapi saya gagal masuk Maritim. Baru tahun 2000 saya bisa masuk ke Cirebon Radio yang masih Jaringan Etnikom. Di situlah pertama kali karier kepenyiaran saya dimulai. Belajar banyaklah dari situ. Ketemu orang kreatif yang menstimulus saya sampai seperti sekarang.
- Pertama kali berkarier kan di Cirebon, nah bisa ke Banten gimana ceritanya Om?
Setelah saya keluar dari Cirebon Radio, saya lebih banyak mengurus event. Ya, bisa dibilang jadi EO-lah. Sama ngeband juga, from café to café. Suatu waktu, temen saya yang dulu kerja bareng di Radio ngontak saya. Nawarin mau nggak garap Radio di Banten. Dikasih waktu buat mikir waktu itu satu hari. Tapi karena saya merasa punya kemampuan di situ, lagsung saya ambil tawaran itu. walaupun awal-awal ya sebatang kara. Keluarga ‘kan di Cirebon. Tahun 2006 waktu itu pertama kali saya ngurus Dirgi FM yang sekarang jadi X-Channel. Di luar itu juga bantu-bantu di Polaris FM, Megaswara FM sampe sekarang akhirnya di Serang gawe FM.
- Kenapa Om Martin memilih radio untuk berkarier?
Pertama saya merasa punya kemampuan di bidang itu. Punya kompetensilah. Karena saya cukup kenyang hidup di radio waktu masih di Cirebon. Nggak ada alasan buat pergi dari radio. Kemudian radio itu media yang bisa membuka ragam disiplin kreativitas. Bagi saya ini sebuah ranah kebebasan untuk berekspresi, berpikir soal ide kreatif. Radio membuat otak saya nggak beku. Merawat kreativitas sayalah. Apalagi, pertama kali saya ngelola Serang Gawe FM sama teman-teman itu PR-nya banyak banget. Ini kan masuk ke RSPD (Radio Siaran Pemerintah Daerah). Ada stigma bahwa “Hidup enggan mati tak mau”. Saya sama teman-teman bekerja keraslah membangun stigma baru. Sambil saya mengabdikan diri atas kemampuan yang saya miliki.
- Melihat geliat media sekarang, apa nggak takut kalau radio terlupakan bahkan mati?
Banyak yang nanya begitu ke saya. Tapi melihat fenomena digitalisasi yang semakin cepat, media sosial yang selalu up date, malah ini jadi peluang buat radio bangkit. Ketika orang-orang mulai sibuk dengan segala aktivitas modern sekarang, nggak lagi ada waktu buat mereka untuk melakukan satu pekerjaan bahkan mengakses satu media sosial tapi audio bisa menjangkau mereka. Contoh, waktu saat mereka di mobil, mungkin untuk aktivitas lain susah buat mereka akses tapi audio, radio masih bisa. Di samping itu, buat menghadapi iklim media sosial yang terus berkembang, konvergensi medialah kuncinya. Kita memasuki kultur media hari ini. Makanya sekarang kita siaran sambil live instagram atau yang lainnya. Memanfaatkan media yang ada buat mengingatkan lagi ke publik radio masih ada, lho. Dan saya pikir itu adalah cara terbaik untuk menjawab kegelisahan kalau radio bakal mati.
- Selain melakukan konvergensi media, hal apa lagi yang Om Martin tempuh untuk menghidupkan spirit radio kayak dulu lagi?
Tentu kita buat program untuk publik. Program yang bisa mereka jangkau dengan basic yang mereka suka. Kayak musik, Dj, dll. Dan yang sekarang lagi in itu “Pansos”. Itu program kita buat untuk memfasilitasi publik yang suka curhat tapi pake puisi. Mungkin kalau siaran curhat dulu udah ada, tapi kesannya kalau pake puisi dan mereka sendiri yang membuat monolognya jadi lebih eleganlah. Di samping itu, kita juga mengajak teman-teman komunitas untuk terlibat dalam segala aktivitas kreatif di sini. Tentu saya ingin membagikan iklim kreativitas secara maksimal di Serang. Ketika tempat sudah ada, media ada, kenapa nggak sekalian membangun rumah buat menaungi ekspresi setiap orang yang punya potensi kreatif.
- Sebagai penutup, apa yang ingin Om Martin bagikan?
Kalau dulu Bung Karno mengatakan, ’Beri saya sepuluh pemuda maka akan saya guncang dunia’ sekarang, dengan iklim digitalisasi modern setiap orang, siapa saja bisa mengguncang dunia dengan ’jempol’ mereka. Sekarang, dunia akan digerakan dengan jempol. Tinggal kita lihat jempol untuk hal positif atau sebaliknya. Maka gunakanlah sebaik mungkin jempol Anda untuk mengguncang dunia. (Baehaqi)