Bubarnya Dewan Kesenian Banten menyisakan konflik di kalangan internal anggota yang diumbar ke medsos (FB dan WA) masing-masing. Akibatnya, tidak hanya terdengar publik seniman lokal saja tetapi kalangan politisi, tukang kopi, sampai orang awam pun tahu pertikaian yang terjadi.

Tak heran ketika saya melakukan perjalanan ke daerah Sulawesi beberapa bulan lalu, seorang kawan di acara santai minum kopi sore menyinggung hal ini, “Gimana, bro, kelanjutan kasus Dewan Kesenian Banten?” mendapati pertanyaan yang menohok, sontak saya kaget. “Wah, jauh juga bunyi ledakannya bisa sampai kemari. Lalu ia meneruskan, “Saya baca di facebook dan mendengar dari teman-teman sastrawan,” katanya sambil menyeruput kopi.

Baca juga: 
Bansos Yes, Rapid Test No

Saya tak bicara banyak soal itu dengannya, karena tak dekat dengan pengurusnya dan hanya sekali datang di acara DKB sejak pertama kali dibentuk, jadi “no comment-lah…” Teman saya tertawa sinis sambil berkata, “Tidak di mana-mana Bro, di tempat saya dewan keseniannya juga bermasalah.”

Obrolan itu tak pernah saya ingat lagi. Selain tak puitis apa yang dibicarakan, juga tak membuat saya tertarik menyimpannya dalam memori. Tetapi, beberapa waktu lalu, ketika seorang teman melempar sebuah esai di WA grup yang salah satu poin pentingnya secara tidak langsung menginginkan Banten memiliki taman budaya atau gedung kesenian—obrolan yang kurang penting di sebuah meja kopi dulu itu hadir kembali.

Esai yang diunggah di WA grup tersebut, saya sambut dengan tawa dan canda. Karena, seniman yang menulis esai itu sebelumnya pernah duduk di bagian penting Dewan Kesenian Banten. Artinya, secara pendek saya simpulkan esai itu tidak lahir dari kemerdekaan seniman, namun ada tendensi politis dari penulisnya. “Saya tak suka dengan tulisan ini.” Komentar saya di grup. Lalu, beberapa kawan merespons supaya saya tidak naïf. Katanya saya mesti bisa membedakan penulis dan hasil karyanya. Saya tak menanggapi lagi, walaupun komentar di bawahnya bermunculan.

Baca juga: 
Swab, Swab, Swab, Bikin Deg-degan!

Saya memercayai, jikapun tidak ada taman budaya atau gedung kesenian, seniman akan tetap tumbuh dan terus berlahiran. Bahkan kemerdekaan seniman semakin tampak. Contoh kecil, misalnya, pegiat seni di kampus. Mereka tanpa gedung kesenian terus berupaya melakukan pergelaran teater di ruang-ruang yang bisa dieksplorasi. Tetap bersinergi dengan komunitas yang memberi ruang ekspresi. Tidak hanya itu, seniman seni rupa, penulis, atau sastrawan pun hidup di ruang masing-masing tanpa harus berkumpul di taman budaya atau gedung kesenian. Terus, bagaimana dengan nasib seniman tradisi? Seniman tradisi juga begitu, ada dan tidak adanya DKB dan taman budaya mereka tetap berkegiatan. Tetap hidup.

Justru, selama megikuti dunia kesenian di Rumah Dunia, saya mendengar pertama kali DKB dan FKB di masa Gubernur Banten Ratu Atut Chosiah (2008-an) malah yang sering terjadi tak jauh beda dengan DKB yang baru bubar tahun lalu itu. Mereka, antar seniman selalu ribut. Keributan itu dipicu bukan atas produktivitas gagasan atau karya, lebih pada urusan proyek pemerintah yang tak terbuka antar anggota. Begitulah selentingan yang saya dengar waktu itu.

Jika saat ini seniman masih berkeinginan untuk memperjuangkan gedung kesenian, rasanya sudah basi dan sudah tidak relevan lagi. Bukan karena cita-cita tersebut sudah terwujud, melainkan pemerinah dalam hal ini Gubernur Banten sudah mengunci hatinya untuk tidak peduli pada dunia kesenian dan kebudayaan. Sekarang, seniman Banten harus banyak improvisasi dengan ruang apa pun, termasuk ruang teknologi.

Baca juga:
Bansos Yes, Rapid Test No

Banyak pelatihan, diskusi, pertunjukkan seni sudah mulai beralih ke dunia digital. Tak sedikit seniman pun yang sudah masuk ke YouTube dan memiliki channel pribadi. Bahkan, saya dengar dari salah seorang pelukis muda, ia mulai memanfaatkan media elektronik untuk mengikuti pameran di luar kota dan berjualan karyanya.

Keberadan teknologi ini harus menjadi medium untuk seniman Banten, karena jika harapannya tetap bertumpu pada kesadaran pemerintah untuk membuat gedung kesenian rasanya hanya akan mengulang sejarah buram. Kita tahu Gubernur Banten dari pertama, dari Banten dibentuk jadi provinsi sampai sekarang semunya abai dengan dunia kesenian.

Bukti konkretnya, lihat apa yang dilakukan gubernur Banten saat ini untuk seniman? Tidak terlihat. Tidak tampak! Nah, sudah waktunya seniman mencoba kembali ke awal pengertian kesenian dan kebudayaan itu sendiri. Bukankah kesenian dan kebudayaan tumbuh di masyarakat dengan alami, bukan dari  taman budaya, apalagi dari lembaga kesenian seperti halnya DKB?