Hari-hari ini masyarakat di kampung saya sedang ramai dengan pembagian Bansos Corona. Mereka yang mendapatkan Bansos Corona senang bukan main. Bagi masyarakat di kampung saya, uang Rp 600 ribu tentu sangat berguna apalagi di tengah sulitnya mencari kerja dan banyaknya PHK, ditambah dengan merangkaknya bahan-bahan pokok di pasaran. Bahkan, akibat tidak mendapatkan Bansos seorang warga harus sakit-sakitan selama tiga hari dan bertengkar dengan suaminya. Menurut pengakuan sang istri, perlakuan pemerintah tidak adil, yang lain dapat bantuan sedangkan keluarganya yang justu perlu Bansos Corona itu tidak mendapatkannya. Kemarahan itu ia luapkan di depan kantor desa, sehingga kantor desa pagi itu seperti panggung drama.

Keberadaan Bansos Corona ini memang sangat-sangat membantu. Maka tak heran, jika masyarakat di kampung saya pagi-pagi sekali sudah berkumpul di depan kantor desa untuk mengantre. Masyarakat di kampung saya yang sebagian besar bekerja jadi buruh tani, buruh bangunan, dan buruh pabrik di Kota Cilegon, rela untuk meninggalkan sejenak pekerjaannya. Mereka dengan berbagai cara rela mendatangi kantor desa. Melihat orang-orang berkumpul dan ramai, saya jadi teringat dengan acara Agustusan yang setiap tahun digelar di kampung saya. Kondisinya tak jauh berbeda; padat dan meriah banget.

Tetapi, meskipun masyarakat memadati depan pintu gerbang kantor desa pagi itu, mereka tak lupa untuk mengenakan masker. Kesadaran mengenakan masker inilah yang membuat saya lumayan senang pagi itu. Walaupun selama mencuatnya wabah Covid-19, masyarakat di kampung saya menganggap remeh. “Ini mah akal-akalannya orang Cina aja sama Partai Komunis,” begitulah tutur orang di kampung saya.

Memang, sampai saat ini belum ada korban di kampung saya—tingbating! Jangan sampai. Jadi, keberadaan wabah Corona dianggap antara penipuan dan akal-akalan. Walaupun di beberapa kampung tetangga sudah ada pemberitaan yang terjangkit virus Corona, tetapi itu masih ditampik katanya isu semata. Maka, setiap hari masyarakat berkumpul seperti biasa baik di depan warung maupun di pos gardu. Namun, di pagi itu benar-benar membuat saya merasa senang melihat masyarakat kampung saya nurut pakai masker—atau karena ada maunya saja?

Sekarang, tim medis dan pemerintah tinggal terjun ke masyarakat untuk menguatkan dan memberikan edukasi ke masyarakat bagaimana seharusnya menghadapi virus Corona ini. Hanya mengenakan masker saja tentu tindakan ini belum cukup, walaupun itu sudah keren banget untuk ukuran kampung saya. Selama ini, di kampung saya belum terlihat adanya tim medis atau pihak dari pemerintah turun untuk mensosialisasikannya. Entah, caranya bagaimana? Padahal, saya sebagai masyarakat akan patuh dan ikut. Jadi, Dinsos tak sekadar semprat-semprot jalanan sedangkan masyarakatnya sendiri tidak paham apa yang pemerintah lakukan itu.

Di tengah rasa senang saya akan masyarakat kampung sendiri, ternyata di kampung lain, masih di Banten, itikad baik pemerintah ditolak. Hal itu terjadi ketika pemerintah akan mengadakan rapid test. Penolakan muncul dari kalangan kiai dan santri yang mengatasnamakan Forum Silaturahmi Pondok Pesantren Kota Serang (FSPP). Dalam sebuah video yang berdurasi empat puluh tiga detik Pak Kiai dan jajaran santri mengatakan menolak adanya rapid test untuk kiai dan para santri yang dilakukan pemerintah. Kurang lebih, begitulah bunyi salah satu butir petisi yang dibuat oleh FSPP.  

Saya sebagai masyarakat biasa mendapat sebaran video itu merasa sedikit bingung. Dalam hati saya bertanya: kok, ditolak, ya? Padahal pelayanan ini dibuat untuk memberikan keselamatan pada kita semua supaya jika ada masyarakat yang terinfeksi bisa dilakukan tindakan dan penanganan cepat. Namun karena hal ini, saya sebagai masyarakat biasa yang hormat pada pemerintah dan manut pada Pak Kiai dibuat bingung harus bagaimana.

Setelah saya menonton video tersebut, besoknya saya membaca pemberitaan di surat kabar lokal bahwa satu kampung di daerah Kasemen—yang tak jauh dari tempat tinggal saya, masyarakat memilih kabur ketika akan diadakan rapid test oleh pemerintah. Menurut salah seorang warga, dalam pemeberitaan tersebut, katanya masyarakat takut dibawa ke Jakarta kalau benar terinfeksi virus Corona.

Waduh, saya tambah bingung. Tapi, mudah-mudahan rasa bingung ini terjadi hanya pada saya. Masyarakat di kampung saya, jika akan dilakukan rapid test bakal tetap ramai, seramai pengambilan  Bansos Corona. Mudah-mudahan.(*)