image by @ibespalogai

Sembari membawa sebilah celurit besar warisan kakeknya beserta sebuah tangga lipat, Nasri bergegas membelah jalanan kompleks perumahan tempat tinggalnya. Tatapannya fokus ke depan, tak mau terganggu oleh apa pun yang dilewatinya, entah itu pohon, kucing yang sedang berkejaran, atau tetangganya yang sedang duduk di teras.

            “Kau mau ke mana, kok bawa tangga dan celurit?” kata salah seorang tetangganya yang kebingungan melihat lagak Nasri.

            “Aku ingin mengiris malam,” jawab Nasri singkat tanpa mengurangi sedikit pun kecepatan langkahnya.

            Tanpa memedulikan wajah tetangganya yang melongo mendengar perkataannya, Nasri terus saja bergegas, bahkan kali ini langkahnya semakin cepat, seakan diburu waktu dan memang sang waktu sedang mengejarnya dengan sebilah pedang yang terhunus.

            Setibanya di tanah lapang depan kantor kecamatan, Nasri membuka tangga lipatnya, memasang kuncinya agar tangga tersebut mantap dan tidak labil. Kemudian, tanpa ragu lagi Nasri naik hingga pertengahan tangga untuk memotong malam yang angkuh bertahta di atas sana.

            Percobaan pertama gagal, dia coba naik lebih tinggi lagi. Percobaan kedua, hanya ujung celuritnya yang berhasil menjangkau malam. Nasri memutuskan untuk naik hingga pucuk tertinggi pada tangganya.

            Pada percobaan ketiga, dia berhasil menjangkau malam sepenuhnya. Setengah dari bilah celuritnya mampu menembus malam. Malam sedikit bergeliat, tak suka dengan apa yang dilakukan Nasri terhadap tubuhnya, tapi genggaman kuat Nasri menggagalkan percobaan melarikan diri itu.

            Diirisnya malam membentuk sebuah lembaran persegi panjang seukuran selimut orang dewasa. Lembaran malam yang telah diiris Nasri kembali berkibar-kibar gelisah, sekali lagi ingin melarikan diri dari manusia dengan sebilah celurit yang tiba-tiba saja datang itu.

            Dilihatnya lembaran malam yang masih berkibar-kibar dengan mimik wajah yang tampak puas. Tanpa banyak basa-basi, dia pun bergegas turun dan melipat lembaran malam itu hingga menjadi lipatan kecil. Saking kecilnya, bahkan benda itu cukup untuk dimasukkan ke dalam kantung kemejanya.

            Nasri kembali bergegas menuju rumah dengan perasaan lega dan semringah, sebentar lagi ibunya bisa tidur nyenyak berselimutkan lembaran malam yang dibawanya.

            Sudah bertahun-tahun ibunya mengeluh susah tidur. Pikirannya selalu terganggu sejak suaminya memilih untuk meminang janda kembang dari desa sebelah. Tubuh dan paras janda itu memang selalu membangkitkan berahi setiap lelaki yang memandang, berbeda dengan tubuhnya yang telah menua.

            Wajah puas sang suami saat meninggalkan rumah bersama wanita itu selalu terpatri dalam otak dan hati ibu Nasri. Membuat malam-malam yang dilaluinya selalu penuh rasa marah dan kecewa. Kondisinya terus melemah, hingga dia selalu terbaring di atas ranjang.

            Berbagai usaha telah dilakukan Nasri agar sang ibu bisa tidur pulas. Mulai dari pengobatan medis yang menelan banyak biaya, pengobatan herbal dengan berbagai rimpang dan rempah, hingga meminta saran pada “orang pintar”.

            Orang pintar itu dengan yakin mengatakan bahwa ibu Nasri diganggu oleh jin. Untuk mengusir jin itu, ibunya diharuskan makan terong mentah setiap hari selama sebulan penuh. Tak boleh ada benda lain yang masuk ke dalam tubuhnya kecuali air putih. Setelah sebulan, bukannya tidur pulas, ibunya malah trauma dan bersumpah tak akan makan terong lagi seumur hidupnya.

            Hampir putus asa dengan keadaan ibunya, Nasri hanya bisa pasrah dan berdoa. Sebelumnya, dia pun rajin berdoa dan berusaha, tapi kali ini hanya doa saja yang menjadi andalan.

            Hingga pada suatu malam Nasri bermimpi sedang berada di sebuah tempat gelap berwarna hitam pekat. Hanya diterangi kerlap-kerlip cahaya kecil berwarna merah, jingga, kuning, dan biru yang bertaburan seperti biji wijen pada onde-onde, biji buah naga, atau dosa manusia yang merasa suci.

            Sepasang mata bercahaya kuning dengan pupil hitam menatap tajam ke arahnya. Semakin lama, sepasang mata yang pupilnya semakin mengecil itu terus mendekat. Perlahan-lahan mulai terlihat wujud pemilik kedua mata berwarna kuning itu, seekor kucing hitam.

            “Selimuti ibumu dengan selembar malam, maka dia akan tidur pulas, sepulas bayi berumur lima bulan,” ucap kucing hitam itu tanpa aba-aba dalam mimpi Nasri.

            Beragam pertanyaan berkelindan di kepala Nasri, siapa kucing ini, apa tujuannya, dan yang paling membuat penasaran, mengapa seekor kucing hitam yang tampak normal ini bisa berbicara dalam bahasa manusia. Sebelum Nasri menemukan jawaban dari segala pertanyaan di kepalanya, kucing hitam itu kembali memberi petuah tanpa diminta.

            “Namun, tak sembarang malam bisa kau ambil dan gunakan. Tunggulah hingga malam cerah tanpa awan sedikit pun, saat semua hewan malam enggan untuk berburu mangsa, dan saat bintang memenuhinya bersamaan dengan bulan sabit yang baru saja terbit. Ambil selembar malam beserta beberapa bintang, namun jangan usik bulan sabit itu. Biarlah rembulan tetap menemani sisa malam yang tak kau ambil.”

            Nasri belum sepenuhnya sadar dari rasa herannya, kucing hitam itu menambah lagi daftar pertanyaan dalam benaknya, mengapa dia tahu ibunya tidak bisa tidur, lagi pula apa untungnya bagi kucing hitam itu memberi wejangan kepadanya.

            Seingatnya dia tidak pernah memelihara hewan, apalagi kucing hitam. Nasri yang tidak senang merawat hewan memilih untuk tidak memelihara hewan satu pun, walaupun itu hanya seekor kucing.

            Namun, sebelum Nasri sempat bertanya, kucing hitam itu terlanjur berbalik dan pergi semakin menjauh ke cakrawala. Membuat tubuh kucing itu semakin lama semakin memudar, hanya ekornya yang berdiri tegak yang terlihat oleh Nasri sebelum pada akhirnya kucing hitam itu menghilang sepenuhnya.

            Nasri kemudian terbangun dengan napas tersenggal-senggal dan keringat dingin membasahi dahinya. Segala pertanyaan masih memenuhi kepalanya yang sedikit pusing. Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk tak ambil pusing dengan mimpi aneh itu.

            Nasri awalnya menganggap mimpi itu hanya sebatas bunga tidur saja. Namun, selama lima hari berturut-turut, sosok itu selalu datang ke dalam mimpinya. Terkadang dalam wujud burung gagak, burung hantu, serigala, dan dua wujud pada hari lainnya tak dapat diterka, abstrak. Tapi wejangan yang diberikan selalu sama “Selimuti ibumu dengan selembar malam.”

            Merasa mendapat Ilham dan jalan keluar, Nasri lalu dengan tekun mengamati setiap malam yang dilaluinya. Selang sebulan, malam dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh sosok dalam mimpi Nasri akhirnya datang. Dia putuskan untuk mengiris malam saat itu juga.

***

            Tangga lipat yang dibawanya langsung Nasri senderkan ke tembok ruang tamu, celuritnya juga diletakkan di atas meja. Dia lalu bergegas menuju kamar ibunya.

            Didapatinya sang ibu sedang rebah dan terus mencoba untuk pulas tapi tak pernah berhasil. Dikeluarkannya lembaran malam dari kantung kemejanya. Direntangkan hingga terbuka sempurna, lalu diselimutkan ke sekujur tubuh ibunya.

            “Pakailah lembaran malam ini sebagai selimut, Bu. Semoga bisa membuat ibu tertidur pulas.”

            “Dari mana kau dapatkan ini, Nak?” ucap sang ibu sambil menatap Nasri heran.

            “Nasri ambil dari langit di atas tanah lapang depan kantor kecamatan, Bu. Nasri pernah bermimpi, sesosok makhluk dengan berbagai rupa datang dan berkata bahwa selimut yang terbuat dari lembaran malam sangat manjur bagi orang yang susah tidur.”

            “Tapi, apakah kau sudah izin kepada Sang Pemilik malam?”

            “Tuhan menciptakan malam sebagai waktu bagi makhluknya untuk beristirahat, Tuhan tidak akan keberatan jika Nasri ambil secuil supaya ibu bisa tidur. Sekarang ibu coba pejamkan mata.”

            Ibunya menuruti permintaan Nasri. Sepasang tangan kemudian muncul dari lembaran malam itu, memberi ibu Nasri pelukan hangat, kehangatan yang pernah dirasakan berpuluh tahun yang lalu. Juga muncul wajah seorang perempuan dengan paras lembut penuh aura keibuan. Sebuah kecupan lembut lalu mendarat di kening ibu Nasri, mengusir semua laba-laba kekecewaan yang selama ini bersarang di kepalanya.

            Pikiran ibu Nasri kemudian terbang ke masa lalu, saat dia masih kecil. Dia ingat wajah yang muncul itu, wajah ibunya sendiri dan kehangatan itu adalah kehangatan khas tubuh ibunya. Saat masih kecil, ibunya selalu menyanyikan senandung merdu setiap malam hingga dia terlelap.

            Sayup-sayup suara dan kehangatan dari ingatan yang dihadirkan oleh selimut malam itu membuat ibu Nasri sangat mengantuk. Semakin lama semakin dalam, jiwanya terbang menuju gelapnya malam yang bertabur bintang-bintang kecil dengan cahaya lembut berwarna merah, jingga, kuning, dan biru.

            Hingga ibu Nasri benar-benar tertidur pulas, layaknya bayi berusia lima bulan. Meringkuk dalam pelukan malam yang dibawa oleh anaknya.

                                                                                                Lamongan, 8 Desember 2022