Orang-orang pagi ini semringah. Senyum mereka lepas. Dua tahun lamanya penantian membuat mereka tahu persiapan terbaik yang harus dilakukan. Orang-orang masih sama. Satu-satunya yang mereka miliki hanyalah olahan-olahan ikan mereka. Tak ada daging, tak ada telur, dan bahkan beras pun mereka punya batasan.
Anak-anak kampung berlarian. Sarung-sarung mereka lusuh. Hanya beberapa kaos mereka terlihat baru. Mereka anak-anak hebat. Dunianya tak sesempit daratan, melainkan luas menantang seperti lautan. Mereka terbiasa lusuh dan kusut. Lusuh dalam batin mereka dan kusut dalam pakaian-pakaian mereka. Menjelang dini hari yang dingin, mereka sudah siap di atas perahu. Melebihi batas kantuk anak-anak seusia mereka di luar sana. Perahu-perahu mereka yang tua, mesin-mesin yang aus, terkadang membuat otot tangan-tangan mereka terkoyak lebih cepat.
Mesin-mesin perahu itu sudah berumur, karatan dan menyedihkan. Anak bertubuh kering itu terus memutar mesin perahunya. Tiga jenis tampar sudah ia coba, namun nyatanya mesin dieselnya tak menyala. Seperti bapaknya, ia selalu semangat menjalani hidupnya. Pagi ini ia tak libur. Baginya libur hanyalah penunda kemelaratan. Ia terlahir sebagai lelaki yang mendaras nasibnya seorang diri. Adik-adiknya, semuanya terlahir sebagai perempuan. Mereka terlahir untuk mengisi meja-meja penimbangan ikan di pelabuhan. Sedangkan ia, harus mengenal luasnya lautan. Ia terdidik keras oleh keadaan. Membuang kesempatan bermain masa kecilnya untuk menghabiskan waktu mengenal jenis-jenis angin dan ombak. Perahu itu buatan tangan mungilnya beberapa tahun silam. Setahun ia menemani kakek dan bapaknya melahirkan mahakarya perahu mesin itu. Saat lima tahun usianya, ia sudah hafal betul soal navigasi. Tujuh tahun usianya, ia sudah bekerja untuk kapal restoran. Ia tak butuh lagi pendidikan mendayung sekoci layaknya sekolah kelautan di luaran sana. Ia sudah benar-benat belajar dengan sendirinya dari tuntutan hidup.
Ia menyeringai, sembari meliukkan badannya. Kini mesinnya siap membawanya ke lautan lepas. Liukan-liukan tubuhnya adalah penggambaran kasurnya yang kasar. Ia tetap nyenyak dengan tidurnya walau badan keringnya tak bisa berbohong soal kenyamananya. Kasur kapuk di rumahnya hanya satu; adik-adiknya. Amben bambu dengan beberapa busa kursi mobil menjadi ranjang tidunya.
Banyak orang di luaran sana melihat sepanjang bantaran sungai ini menyesakkan. Gubung-gubung nelayan bertengger dengan bendera-bendera nama perahu mereka di atasnya. Perahu-perahu itu berjejer dari ujung selatan sampai utara mendekati pos penjagaan dermaga. Sebelah selatan adalah kasta perahu kecil, milik sekelompok orang atau bahkan hanya satu keluarga. Perahu-perahu itu saling bergesekan satu sama lain. Ujung hidungnya saling bersinggungan. Beberapa tali pengikat mereka saling terikat satu dan yang lain. Mereka sengaja begitu, guna mencari keamanan. Jikalau ombak besar datang dari arah utara, mereka terlindungi oleh perahu-perahu besar milik beberapa rumah produksi pengalengan ikan.
Bantaran ini memang menyesakkan, tapi masih menyimpan banyak kenyamanan bagi kaum-kaum pinggiran. Pagi ini, wanita-wanita berdaster sibuk dengan persiapan mereka. Gubug-gubug mereka bersahutan mengeluarkan asap. Kepulan asap hitam tumang-tumang mereka memberi isyarat kebahagiaan hati. Ketupat telah siap, sajian filosofis lambang pengakuan dosa dan kesalahan mereka. Orang-orang itu mungkin miskin jika diukur dari jumlah suapan nasi, tapi mereka adalah orang-orang yang kaya hati. Tahun yang pahit. Setahun ini lonjakan harga kebutuhan sandang pangan mereka terus terkoyak. Ikan-ikan di penimbangan-penimbangan tak mengubah sedikit pun nominal rupiah harian mereka.
Mereka tetap hidup. Tak pernah surut dan redup. Anak-anak mereka tak lagi bersekolah tinggi dan berseragam. Sedari kecil mereka sudah terlatih menjadi nelayan tanpa seragam. Kesabaran, ketangguhan dan kulit legam itulah seragam mereka.
Dari kejauhan anak bertubuh kering tadi melambai. Diikuti beberapa bocah tengil di belakangnya menyiapkan jala. Bocah-bocah di bawah umurnya itu sengaja ia ajak. Mereka juga butuh belajar tentang laut seperti yang ia lakukan sepuluh tahun silam dengan bapaknya. Perahunya berjalan dengan tenang. Ia berdiri di ujung perahu sembari membetulkan sarungnya.
Jujur ia lebih gagah dari Jack Dawnson di ujung hidung Titanic. Ia beradu cepat dengan singsingan matahari dari timur, walau ia tahu hari ini ia kesiangan. Orang-orang sering berangkat malam untuk hasil tangkapan air pasang. Namun, ia masih menghargai adat orang-orang di sekitarnya untuk libur berlayar saat hari raya. Pagi ini ia sengaja mengadu nasib, dengan solar seadanya, ia tetap nekat berangkat. Karena esok, orang-orang sudah menutup jalur-jalur pelayaran guna perayaan suci. Ia berharap, malam nanti setidaknya ada tambahan ikan asap yang bisa ia suguhkan.
Jauh di seberang sana, orang-orang memikul pisang bertandan-tandan. Anak-anak mereka hanya bercelana pendek tak berbaju. Mereka mengangkat tempeh berisi salak ranggeh. Tak ada yang diam, mereka terus bergerak menyiapkan perayaan akbar esok. Yang ditunggu pun hadir. Para pria paruh baya menenteng kaleng-kaleng cat dan beberapa bendera. Sama seperti anak-anak mereka, hanya celana pendek dan topi melengkapi tubuh kering mereka pagi ini. Sore nanti, semua harus rampung. Esok adalah perayaan akbar dengan rona warni perahu-perahu mereka. Gunungan-gunungan pisang, salak, ketupat, dan sajian-sajian sedekah mereka benar-benar harus mereka lakukan sepenuh hati.
Dua Idulfitri mereka lewatkan dengan penderitaan. Mereka tak mengenal penyakit. Bahkan wabah gatal banjir yang datang setiap penghujung tahun pun sudah bisa mereka atasi sendiri. Kebijakan-kebijakan represif pemerintah membuat pasar-pasar mereka sepi. Tak ada tempat lagi untuk mengadu. Tak punya lagi mereka tempat mengundi nasib selain lautan lepas yang berulang kali dilewati hilir mudik kapal patroli. Pandemi, pembatasan skala sosial, penutupan pasar, tempat sosial, hiburan, kesemuanya benar-benar mengancam bagi orang di luaran sana.
Esok hari adalah perayaan fitrah mereka. Mereka mengamini setiap nasib baik mereka selama ini pada esok hari. Tak lupa mereka pun mengimani, bahwa nasib mereka akan berubah dimulai dari esok hari. Tak banyak bermunculan orang-orang bersarung dan bersongkok di tempat ibadah. Di sini, langgar dusun ini hanya satu, dan tak terlalu ramai di kala waktu sembahyang lima waktu. Namun, mereka adalah hamba merdeka. Mengenal Tuhannya dari gempuran ombak, angin pasang, terik matahari pukul dua belas siang, hingga nasib tarikan jala mereka. Mereka itu relijius, mengingat tuhannya dalam setiap deru mesin diesel yang membawa mereka saat rembulan pasang hingga terik matahari surut. Perahu-perahu mereka tak luput dari penghambaan mereka. Hikmah, sarat makna, hingga kalam ulama pun mereka lukiskan di sana.
Mereka tak banyak menuntut, karena tahu jumlah takaran ikan hari itu yang mereka dapatkan tak akan pernah berkurang dan bertambah dari jatah. Rupiah mereka kembang kempis, tapi rezeki mereka setiap saat selalu bertambah berlapis-lapis. Esok adalah penumpahan syukur. Tak ada rasa kekurangan. Semua mereka relakan untuk perayaan akbar itu.
“Baliho depan jangan lupa, Mat!” teriak salah seorang pria pada Maturip di depan gardu masuk pasar pelabuhan.
Esok orang-orang kota dan orang-orang besar akan datang!
Pelabuhan Pasuruan.
Memorabilia menjelang Praonan, Syawal 1443 H