KURUNGBUKA.com – (12/03/2024) Yang teringat sejak lama: sastra itu imajinasi. Kita mengartikan gubahan sastra itu dimulai dan digerakkan dengan imajinasi. Tumpuan terpenting adalah imajinasi. Namun, ada yang tidak lekas menerimanya dan memberi bantahan agar berubah pengertian.
Sastra tidak hanya imajinasi. Ada unsur-unsur lain yang menentukan mewujudnya teks sastra. Imajinasi memang penting tapi memerlukan “lain-lain”, yang para pengarang membuat daftar dan urutannya berbeda. Pada akhirnya, yang membaca teks sastra menyadari adanya imajinasi. Ia mungkin memuji: imajinasinya menantang atau mengesankan.
Sastra memang imajinasi. Budi Darma (1981) berpendapat: “Bagi saya, kekuatan imajinasi identik dengan kepekaan seorang pengarang. Makin tajam kepekaan seorang pengarang, makin berkelejatanlah imajinasinya. Dan makin tumpul kepekaannya, makin malas imajinasinya, kemudian mengantuk, kemudian tidur, dan bahkan mungkin mampus.”
Yang menghidupkan adalah imajinasi. Pengarang yang gagal berimajinasi menuju alam kubur. Kita mencatat masalah kepekaaan. Yang mau menulis sastra, yang mengerti keampuhan imajinasi meski mampu membedakan taraf-tarafnya dan berhitung bobotnya dalam kandungan sastra.
Kita beralih dari istilah imajinasi menuju istilah terpenting: kepekaan. “Kepekaan adalah kemampuan menembus apa yang tidak terlihat, tidak terasa, dan tidak terpikirkan,” penjelasan Budi Darma. Orang yang berimajinasi harus mengerahkan kemampuannya untuk “memiliki” dan “mengelola” agar imajinasi itu tidak sekadarnya.
Selanjutnya: “Bahkan, kepekaan adalah kemampuan untuk mengadakan sesuatu yang tidak terjangkau oleh orang lain.” Artinya, peka itu meraih dan menghendaki. Yang berhasil mengetahui beda dan unik untuk menjadi cerita atau puisi.
(Pamusuk Eneste (editor), 1982, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, Gramedia)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<