Upacara Menyangkal Malapetaka
…………….. ….:Pandhâbâ
i/
bulan baru berangkat, anakku
angin mengirim asin laut ke halaman rumah kita
meniup kemenyan yang baru kunyalakan
mengusap mantra-tembang
yang kakekmu lontarkan
“kesedihan macam apa yang hendak
kita tanggalkan, ibu?”
hidup cuma sekedar belajar melupakan, anakku
sedetik yang lalu adalah masa lalu
sedetik yang akan datang siapa yang tahu
udara semakin runcing,
malam ikut menggigil
dengan seutas benang di tanganmu
bergegaslah meninggalkan empedu
sebab di ujung sana, sebuah rindu menantimu
ii/
bulan merah saga mengambang di atas kepala,
langit berwarna tembaga
kalian sepasang merah atas nama mawar
mencoba lepas dari kutukan bernama kesedihan
lewat tembang yang bergelayut di pipi malam
jiwa-jiwa dikultuskan
“kenapa kesedihan harus ditinggalkan, Ibu?
apakah dia lebih mengerikan dari sebutir peluru?”
tidak juga, anakku
karena hidup sudah berbalur kesedihan
jangan juga pelupukmu menyeka airmata
maka, di malam yang sedingin kapak ibrahim ini
kita mandikan tubuhmu
dengan tembang dan mantra-mantra
lewat asap dupa
yang harumnya melebihi cinta.
sebelum gugur embun-embun pada pipi daun
sebelum matahari mengirim mega
pada dadamu.
Kutub/Yogyakarta, 2023
Catatan: Puisi di atas merupakan adaptasi dari salah satu tradisi di Madura yang bertahan sampai sekarang. Tradisi Pandhâbâ tersebut dipercayai sebagai ritual menolak bala atau malapetaka. Menggunakan sebuah kitab yang katanya berasal dari Sunan Kalijaga, dan isinya berupa aksara-aksara jawa yang ditembangkan dari ba’da isya sampai subuh tiba.
***
Dua Lanskap Sederhana Yogya Selatan
1/
angin timpa-menimpa.
matahari memanjat ujung bukit
ketika embun bersujud di pipi daun.
seorang bocah meniti pantai
nyanyikan potongan sejarah
yang hampir mengetam
ombak semacam apologi
bagi gaung kebisuan sebuah laut
dan tiba-tiba pagi berkabut
gigil mengintai dari balik kemelut
“kelak, jika matahari merah saga
sampah memenuhi bibir segara
catatlah, bahwa di sini
pernah ada cinta
untuk sebuah kota bernama yogya.”
ucap seorang kakek tua renta
yang kemudian lenyap
bersama kencana bunga merah darah.
2/
dini hari,
matahari semacam menusukkan sengat
pada tubuh pemanggul cangkul
yang sedang memecah kesedihan
demi kesedihan
sungai mengalir di dadanya
remuk menggerogoti pinggangnya
dini hari,
angin menziarahi tubuhnya
membelai rimbun daun angsana
dan pada ranting mungilnya
sejumlah perkutut saling saut
tiba-tiba orang tua itu
menembang asmaradana
dengan siul-siul sederhana
dari dadanya tumbuh beragam puspa
dari sawahnya mekar beragam cinta
yang belum terjamah tangan siapa pun.
kecuali menjaga yogya seutuhnya.
kutub/yogyakarta, 2023
***
Distopia
…………….. ….-yogya
masa lalu disembunyikan
bulan kerap gosong di alun-alun
aksara-aksara kusut di dinding sepi
puisi-puisi hangus di dalam almari
seekor kuda delman lumpuh di pojok taman
dan seorang seniman terkutuk jadi patung zaman
mereka yang bertuhan pada layar kaca
melintas di sebuah benteng yang sudah jadi hotel mewah
sunyi sekeras tembaga. jawa hilang dari peta
airmata keringlah sudah?
kutub/yogyakarta, 2023
***
Simfoni Kota
……….. ………:yogyakarta
i/
setelah malam membuatkan rumah bagi terang lampu jalan,
seorang perantau menuliskan kerinduan juga kepedihan
pada koran-koran dengan hitam airmata. dan tiba-tiba
kata per kata menjadi peta nasib bagi deru lapar.
ii/
trotoar atau jalan panjang yang licin, selalu mencatat
jejak pejalan meski mereka bertubuhkan gelombang.
iii/
pada mega yang terciprat di ufuk barat, ada kisah
yang tak selesai dibacakan seorang juru bicara
ia beku sebelum rambu lalu lintas berkedip biru
hingga ia menjadi seonggok masa lalu
yang kemudian ditinggalkan.
Kutub, 2022
*) Image by istockphoto.com