Judul : Tanah Para Pendekar: Petualangan Elio Modigliani di Nias Selatan Tahun 1886
Pengarang : Vanni Puccioni
Penerjemah : Nurcahyani Evi, Guespinna Monaco, Antonia Soriente, dan Roberto Zollo
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, November 2016
Tebal : 352 halaman
ISBN : 978-602-03-3164-5
Kolonialisasi bangsa barat, khususnya Belanda, berimbas pada kecurigaan dan sikap antipati masyarakat Nias Selatan atas bangsa kulit putih pada umumnya di masa itu. Sebagai suku yang meyakini bahwa dirinya merupakan keturunan para dewa, masyarakat Nias Selatan menolak penjajahan dan menentang pendudukan Belanda dengan tegas. Di bawah tangan Fata Gheo, kurang lebih 150 tentara Belanda dipukul-mundur dengan menanggung malu luar biasa.
Belanda tidak kehabisan akal. Dengan membawa dekrit dari Raja, alh-alih mengirim tentara, Belanda justru mengirim Nieuwenhuisen (seorang naturalis-antropolog) dan Rosenberg (ahli geografi) untuk mengelilingi Nias Selatan selama setahun dari September 1854-September 1855. (hal. 43). Masyarakat di Nias Selatan yang terbagi dalam beberapa desa dan selalu terjadi peperangan dan perburuan kepala, dan kecondongan dua penjelajah Belanda itu pada Desa Fadoro mengakibatkan kecemburuan sosial. Akibatnya, dua desa besar (Desa Orahili dan Fadoro) mengalami peperangan yang bertambah runcing setelah Raja Fata Gheo dibunuh oleh prajurit Orahili. Dalam pusaran konflik antar desa, Belanda mencoba mengambil peran sebagai penengah, namun hal itu sia-sia, mengingat kekuasaan Belanda hanya di atas kertas.
Vanni Puccioni dalam bukunya, Tanah Para Pendekar, seolah mencipta sebuah mesin waktu dan menghidupkan kembali Elio Modigliani ke tengah-tengah pembaca untuk mengajak pembaca bertualang ke Nias Selatan pada tahun 1886. Dengan hanya bermodal pedirian yang teguh, pengalaman dan pengetahuan tentang Nias Selatan yang sangat sedikit, pemerintah Belanda menganggap petualangan Modigliani ke Nias Selatan—untuk mengeksplorasi dan keperluan antropologi—hanya “mencari masalah” dengan para pemburu kepala yang paling ganas.
Modigliani tiba di Nias Selatan pada 22 April 1886 ketika dua desa besar (Orahili dan Fadoro) sedang berperang dan perdagangan budak dan bajak laut yang didominasi oleh bangsa Aceh sedang ramai-ramainya. Satu-satunya pedoman yang menjadi acuan Modigliani adalah peta Rosenberg. Sementara itu, kekuasaan Belanda yang hanya di atas kertas, tak berani menjamin keselamatan duta dari Italia ini.
Dibantu oleh empat orang pembantu dari Jawa, dalam perjalanannya, ekspedisi Modigliani sempat beberapa kali mendapat kendala. Anak buahnya, Mairun, bahkan sempat sakit hebat ketika mereka tiba di Orahili. Namun cukup beruntung, Raja Faosi Aro dari Orahili memberikan sambutan hangat kepada tim ekspedisi Modigliani dan bantuan ere (dukun) untuk menyembuhkan Mairun, meski pada saat itu desanya sedang berperang dengan desa lain yang telah mencuri ternak mereka.
Faosi Aro meminta maaf karena telah menyambut kedatangan saya tanpa mengenakan baju kebesaran dan diiringi para prajurit, karena tidak mengetahui kunjungan ini sabelumnya. Saya menjelaskan bahwa saya tidak memerlukan hal-hal seperti itu karena saya bukan perwakilan pemerintah Belanda. “Saya meninggalkan tanah air saya, kerajaan besar teman Belanda, untuk menyaksikan Tano Niha, mengumpulkan hewan yang hidup di pulau dan benda-benda yang dipakai penduduk Nias, untuk kemudian diperlihatkan kepada orang-orang di negara saya.” (hal. 143).
Tim ekspedisi Modigliani mengalami pesinggungan dengan masyarakat Nias Selatan ketika berkunjung ke Fadoro (Hilisimaetano) karena melanggar tabu dengan berdiam di osale—sebuah bangunan dengan hiasan tengkorak manusia dan digunakan sebagai tempat berkumpul prajurit. Raja Hilisimaetano yang menerimanya setengah hati, dan Siwa Sahilu yang berambisi mendapatkan Winchester milik Modigliani bahkan berencana memburu tim ekspedisi Modigliani ketika mereka ‘diusir’ dari desa dan bertolak ke Kepulauan Hinako.
Judul asli catatan Modigliani adalah “Un Viaggio a Nias” yang berarti Perjalanan ke Nias. Catatan perjalan Modigliani ini memberikan sumbangsih besar terhadap bidang antropologi dan etnografi, dan menorehkan namanya dengan tinta sejarah sebagai salah satu rujukan utama penelitian tentang masyarakat Nias Selatan, yang merupakan salah satu etnis dengan situs megalitik dan tradisi yang masih terawat. Catatan ini pertama kali ditemukan oleh Pastor Johannes, seorang pastor asal Jerman, yang selama bertahun-tahun menyimpannya dalam almari dan kemudian memberikan catatan ini kepada Vanni.
Berangkat dari ide menapak tilas Elio Modigliani, Vanni Pucioni menulis catatan ini sebagai sebuah representasinya atas perjalanan itu sendiri. Nias Selatan pada tahun 1886 bukanlah tempat yang aman untuk bangsa kulit putih seperti Modigliani, mengingat pada tahun-tahun itu Belanda sedang gencar melakukan ekspansi untuk menduduki Nias Selatan walau selalu berakhir dengan kegagalan.
Buku Tanah Para Pendekar ini secara detail mencoba menceritakan petualangan Elio Modigliani pada tahun 1886 dengan perbandingan catatan petualangan yang dilakukan Vanni Pucioni pada tahun 2005. Dalam petualangannya di salah satu daerah paling berbahaya di dunia pada tahun 1886, keselamatan dan keberhasilan Modigliani dalam mengumpulkan data etnografi Nias Selatan mengundang tanda tanya besar dari Belanda maupun bangsa barat lainnya: Apa yang membuat ekspedisi Modigliani berhasil? Mengapa Modigliani tidak dibunuh? Faktor paling penting keberhasilan ekspedisi Modigliani adalah rasa empati yang alami Elio Modiglini terhadap orang-orang Nias. Ia datang bukan untuk menjadi penjajah atau misionaris. Bagaimanapun menariknya dunia Elio yang penuh dengan hal-hal baru, ia tidak menindihkannya pada dunia Nias, ia dengan empatinya yang alami, menggarisbawahi persamaan budayanya dengan budaya Nias (hal.338). Elio Modigliani menanamkan dalam dirinya sikap menghormati dan menjaga agar dirinya tidak tampak menakutkan bagi orang-orang Nias: “bagaimana pun caranya saya meyakinkan mereka bahwa saya tidak akan menyakiti mereka, bahkan tidak akan menyentuh mereka untuk sekadar meminta mereka duduk.” (hal. 168).
Ekspedisi Modigliani pada akhirnya menunjukkan kenyataan yang berbeda dari harapan para pengikut teori Cesare Lambrosi yang ingin menemukan bukti-bukti kecenderungan genetik orang Nias yang menyebabkan tindakan mereka yang tidak manusiawi. Membantah teori Biological Determinism yang percaya bahwa semua tingkah laku manusia dipengaruhi gen, ukuran otak, dan unsur biologis lainnya, juga membantah asumsi awal Modigliani yang rasis. Nias yang semula dianggap barbar oleh Elio, kenyataannya tak jauh beda dengan bangsa timur lainnya yang memiliki peradaban luhur dan beradab, terlepas apakah mereka pemburu kepala atau bukan.
Sekarang naskah asli Elio Modigliani serta hasil penelitiannya di Nias Selatan (termasuk tengkorak buruan yang ia barter dari orang Nias dengan emas maupun senjata) tersimpan baik di Museum Etnografi di Jalan Proconsolo, Italia, museum yang mempertemukan penulis dengan Elio Modigliani dan Nias. Di balik semua sumbangan etnografi luar biasa itu, terungkap kisah hebat penulisnya dan hasil sebuah peradaban besar di muka bumi Nias Selatan.
Tuban, 2018