Pukulan rebana bersahut tepuk-tepuk tangan kian riuh tatkala bunyi akordion masuk menimpali, dan laki-laki itu; tegap gagah dalam balutan teluk belanga hijau lumut, dengan kain kuning melingkari pinggangnya dan kopiah hitam yang begitu serasi di kepalanya, melangkah maju mundur mengikuti rentak irama. Setengah bersijengket menekuk lutut, ia lantas melompat-lompat kecil dan melakukan gerakan mengitari perempuan penari pasangannya yang cantik berbaju kurung.
Mereka saling mendekat, menjauh, mendekat lagi. Maju, mundur, berputar, dan sembari itu, melempar senyum malu-malu. Serampang Dua Belas yang indah. Konon, Guru Sauti, penciptanya, menggambarkan tiap gerakan sebagai tahapan hubungan percintaan, dari perkenalan sampai jenjang pernikahan.
Kasmirah ikut bertepuk tangan. Ia mengenal kedua penari itu. Munawar Tawakal dan Laila Habsah. Laila karibnya sejak mereka tumbuh remaja. Munawar?
Ah… Kasmirah menghempas napas. Pelan-pelan membalikkan badan. Hampir sepekan ia merasa kurang sehat. Punggungnya kaku dan nyeri dan ini membuatnya lebih banyak berbaring di ranjang. Perlahan dikatupkannya kelopak matanya yang mendadak hangat. Seiring itu, ada yang terasa tertusuk jauh di dadanya.
Sudah berlalu berapa lama? Kasmirah hanya samar mengingat angka di lembar penanggalan. Namun ia belum lupa adegan lanjutan di panggung itu. Munawar dan Laila menyelesaikan tarian dan turun panggung bergandengan tangan, dan tetap demikian sampai ia menghampiri mereka. Munawar buru-buru melepas genggaman, dan Laila, menyapanya dengan keramahan yang kelihatan sekali sangat dibikin-bikin.
Gelagat terang, tapi Kasmirah waktu itu masih mencoba berkeras. Pikirnya, Munawar mencintainya, dan akan terus mencintainya meski ayahnya telah berulang melesatkan hardikan sembari mengacungkan telunjuk tinggi-tinggi. Munawar bukan tak berupaya, bukan tak bersabar. Namun yang dihadapinya adalah batu karang yang bergeming diterjang pasang.
Selepas pertemuan yang serba canggung itu Munawar makin nyata menjauh darinya. Tak pernah lagi menemuinya. Sampai berpekan-pekan berselang, mereka tak sengaja berhadapan muka, dan Kasmirah tak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya gemetar dan matanya basah dan Munawar dengan gugup meraih tangannya, lalu melontar kalimat yang terus terngiang di telinganya sampai sekarang: ‘Habis kikis, segala cintaku hilang terbang pulang kembali aku padamu, seperti dahulu.’
Alamakjang!
Waktu itu, dalam kebingungan sekaligus kesedihan yang dalam, Kasmirah mengangguk saja walau sesungguhnya tak paham maksud Munawar. Selain menari laki-laki ini juga mahir bersyair. Kata dan kalimatnya kerap meliukkan seloka-seloka tak terduga. Kasmirah baru merasa sedikit mendapat gambaran bertahun-tahun kemudian. Bukan lantaran dia akhirnya tahu bahwa kalimat itu dicuplik dari sajak Amir Hamzah. Kasmirah awam sajak dan ketidakpahamannya tak membaik. Gambaran ini datang dari kesadarannya, betapa bertahun-tahun setelah menikah dengan Marjili Samsuri, lelaki pilihan ayahnya, segala sesuatu tentang Munawar justru tetap dan bahkan makin sering berkelebat dalam benak Kasmirah.
Padahal Marjili sungguh tiada kurang. Lelaki penyayang. Seberapa pun kesal dan marahnya, tak pernah Kasmirah disakitinya. Dia lelaki baik dan baik-baik yang selalu dielu-elukan ayahnya. Terpenting pula dari ini semua, Marjili pegawai negara, berseragam berpangkat yang saban bulan berpenghasilan pasti. Namun Kasmirah agaknya memang terlanjur hanya mencintai Munawar.
Kasmirah perlahan membuka mata. Jendela buram oleh titik-titik air. Langit dibungkus kelambu sewarna bubuk kopi. Suara ketukan menghentikan laju ingatannya.
“Siapa, ya?”
Tak ada sahutan. Tak lama ketukan terdengar lagi. Lebih keras dengan repetisi kian rapat. Kasmirah kembali melempar tanya. Kali ini ada sahutan tapi ternyata bukan untuknya. Ketukan di pintu kamar sebelah. Kamar seorang perempuan juga. Sendirian juga. Siapa yang datang berhujan-hujan menjelang tengah malam begini?
Sejak ia pindah, Kasmirah telah mendengar cerita-cerita tentang perempuan ini. Sudah tidak terlalu muda. Antara 30–35 tahun. Terbilang cantik bahkan untuk ukuran perempuan-perempuan cantik. Konon disebut dia pernah menikah tapi kemudian berpisah, tanpa anak. Banyak cerita, beragam kisah, tapi memang selalu sampai pada satu inti masalah: dia bukan perempuan baik-baik.
Ah…
Baik-baik tak baik, apa sebenarnya artinya? Ayahnya dulu juga selalu bilang Munawar bukan laki-laki baik. Bukan laki-laki bertanggung jawab. Bilang ayahnya, lelaki seperti Munawar akan selalu lebih mementingkan dan mengedepankan prinsip dan idealisme dan kesenangannya sendiri ketimbang perut anak dan istrinya. Makan tak makan asalkan bisa menari, bisa bersyair dan mendapat tepuk tangan dan pujian-pujian semu, cukuplah. Laki-laki macam dia, kata ayahnya dengan nada penekanan lebih keras, hidup dalam angan-angan tanpa masa depan.
Satu kali Munawar berkeliling Eropa dan Amerika Utara selama hampir tiga bulan untuk menari. Ia tergabung dalam kelompok yang dipimpin seorang seniman besar yang juga putra proklamator. Pendek kata, orang-orang pilihan dan terbaik di tiap disiplin bidangnya. Namun ayah Kasmirah sama sekali tak terkesan. Dia melengos saja, memamerkan cibir dan melontar pertanyaan yang tidak dapat dijawab Kasmirah: apa yang didapat Munawar selain pemberitaan koran dua setengah kolom yang tersuruk kesepian di lipatan halaman dalam?
Laju ingatan Kasmirah terhenti lagi. Dari kamar sebelah terdengar suara saling bersahut. Kadang pendek kadang panjang, kadang bagai memburu. Saat pertama kali mendengarnya Kasmirah merasa malu sendiri. Namun memasuki tahun kedua dia jadi terbiasa dan makin terbiasa di tahun berikutnya. Benar kata orang. Kekerapan yang berulang, rutinitas, terlepas dari perkara baik dan buruk, pada akhirnya memang membentuk perasaan lapang. Bukan kemakluman, tapi sebangsa sikap lebih terbuka dan menerima. Seperti sikap Kasmirah terhadap Marjili Samsuri, laki-laki yang menjadi suaminya sampai lima tahun lalu.
Walau tak pernah ingin mengenang, Kasmirah justru selalu ingat bagaimana pertemuan pertama mereka─dalam acara makan malam di rumahnya─berlangsung sangat canggung. Ia dan Marjili lebih banyak diam. Bahkan segera mengalihkan pandang jika tak sengaja bertatapan. Kasmirah merasa risih dan tak nyaman. Berbeda dibanding kebersamaannya dengan Munawar yang lepas dan intim tanpa sungkan. Namun berselang enam bulan pesta pernikahannya dengan Marjili digelar juga, dan begitulah anak-anak mereka kemudian lahir satu per satu. Anak pertama tepat setahun setelah pernikahan. Anak kedua menyusul dua setengah tahun setelahnya. Anak ketiga agak berjarak. Lahir pada tahun ketujuh ketika mereka sebenarnya sudah bersepakat untuk tak lagi punya anak. Ketiga-tiganya perempuan dan berwajah lembut seperti bapaknya.
Marjili sendiri disadari Kasmirah selalu berusaha untuk menyenangkan dan membahagiakannya, dan ia memang merasa demikian. Namun tahun demi tahun, terutama setelah pernikahannya memasuki tahun ketujuh (pascakelahiran anak ketiga), nyaris tak pernah telinganya sepi dari kalimat Munawar Tawakal. Segala cintaku hilang terbang pulang kembali aku padamu, seperti dahulu.
Hmmm… Kasmirah tidak pernah bisa melupakan Munawar.
Tidak sedetik pun!
“Di mana kau sekarang, Bang?” tanya Kasmirah dalam desah. Pipinya mulai basah. “Apakah kau masih hidup? Apakah setelah perpisahan kita kau mendapatkan hidup yang berbahagia bersama Laila?”
Untuk kali kesekian Kasmirah menghempas napas, menyeka air mata lantas bangkit dengan malas. Ditebarnya tatap ke sekeliling kamar. Sumpek meski tak banyak barang. Hanya beberapa perabot, termos air panas, tumpukan piring dan gelas, baju-baju di gantungan, vas bunga, televisi yang hampir-hampir tidak pernah dinyalakan, dan potret Marjili Samsuri dalam bingkai kayu yang kelihatan makin kusam seperti cahaya petang yang redup.
Lima tahun lalu, hanya berselang tiga bulan setelah Marjili meninggal, anak-anaknya yang sudah menikah dan memberinya tujuh cucu, sepakat mengirimnya ke panti jompo. Sebelumnya, masing-masing satu bulan, mereka bergantian menampungnya, dan ini dirasakannya sebagai bulan-bulan terburuk dalam hidupnya. Di hadapannya, anak-anaknya itu, juga menantu dan cucu-cucunya, memang berupaya bersikap baik. Bahkan sangat baik. Namun Kasmirah tahu betul sikap ini gombal belaka. Serba diatur dan berjarak. Kaku, dingin, tidak ada keakraban. Tidak ada keintiman.
Kasmirah tak pernah menanyakan alasan mereka memperlakukannya demikian. Ia diam saja meski dalam hatinya menjerit. Tiga anak perempuan yang dibesarkannya dengan segenap kasih sayang. Ah… Mereka bahkan tidak sekali pun menjenguknya di panti jompo. Hanya masing-masing dua kali menelepon di bulan pertama dan satu kali di bulan kedua, berbasa-basi menanyakan kabar.
Bulan kelima, dengan bantuan juru masak dan petugas binatu yang sering diberinya hadiah, Kasmirah kabur. Ia pindah dari satu kota ke kota lain, dari kamar apartemen yang satu ke yang lain, sampai terdampar di sini. Kasmirah merasa betah meski nyaris tiap malam harus mendengar suara-suara bersahutan dari kamar sebelah. Dengan uang bagiannya dari warisan suaminya, Kasmirah berhitung ia bisa bertahan di sini sampai waktu yang lama. Barangkali sampai akhir hayatnya.
Medan, 2022-2023
*) Image by istockphoto.com