KURUNGBUKA.com – (16/03/2024) Yang mengenang Rendra, yang membaca puisi-puisinya. Ada pembaca yang selalu terpikat dengan puisi-puisi masa awal. Rendra itu balada. Ada pula yang mengagumi Rendra saat menggubah puisi-puisi berlatar kota di Indonesia dan Amerika Serikat.
Puisinya membuka kesadaran atas molek dan bobrok dalam peradaban kota. Namun, puisi-puisi yang masih sering teringat adalah asmara. Rendra, sosok yang matang dan cemerlang dalam berpuisi, selain ia sibuk dalam teater dan berceramah. Ia menjadi penulis tangguh, yang tidak henti-hentinya mendapat perhatian.
Berpuisi itu awalnya berpusat alam. Rendra (1982) mengisahkan: “Pada waktu remaja, rohani dan pikiran saya asyik melebur ke dalam alam. Hukum alam dan gejala-gejala alam mengisap minat saya. Sejajar dengan itu, saya tertarik kepada penghayatan alam dongeng, legenda, dan mitologi.”
Ia memulainya dengan alam. Pada pembentukan biografi, ia yang menulis puisi-puisi mengerti segala yang berkah dan berubah. Ia melihat segala yang tidak selalu harus diungkapkan dengan bahasa lama. Keberanian dalam kata dan kejaran makna.
Rendra itu seni, sejak awal dan akhirnya. Maka, yang ditulisnya dalam puisi, cerita pendek, lakon-teater, atau esai adalah perwujudan seni. Ia memiliki referensi. Yang ditulis tidak semuanya mengacu teks.
Rendra mengingat: “Saya senang sekali menonton wayang kulit, mendalami suluk-suluk dalang, dan juga dekat dengan teknik dan bentuk tembang dolanan anak-anak Jawa yang penuh dengan imajinasi….” Berpuisi bukan dari bacaan ke bacaan saja. Ia dalam pengembaraan dan perwujudan. Puisi itu laku hidup.
(Pamusuk Eneste (editor), 2009, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang 3, Gramedia Pustaka Utama)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<