Siang itu, matahari bersinar terang dan sangat menyengat. Udara yang berembus pun terasa panas dan membuat gerah. Aku berjalan beriringan dengan kedua temanku, Nisa dan Asma. Seperti biasa, sepulang sekolah kami menyusuri jalan tepi danau. Jalan itu adalah jalanan paling cepat dan aman untuk dilewati. Karenanya, jalanan itu adalah jalan favorit kami. Meski kadang saat musim hujan, jalanan itu becek di beberapa bagian. Sebaliknya, saat musim kemarau jalanan kering dan berdebu. Ditambah lagi pepohonan dipinggir jalan banyak yang kering, sehingga tak ada tempat berteduh. Area perumahan kami memang di kelilingi danau buatan. Danau yang sengaja dibuat untuk pengairan. Sayangnya, air danau makin menipis karena kemarau panjang.

 “Hati-hati, debu terbaaang!” teriak Nisa tiba-tiba. Spontan aku dan Asma menutup hidung dan mulut, menghindari debu terhirup masuk.

“Wah, kalau begini besok kita harus pakai masker nih. Bahaya kalau debunya terhirup, bisa-bisa kita kena ISPA!” seru Asma dengan suara tertahan, sebab mulutnya tertutup tangan. Aku mengangguk tanda setuju.

Kami bergegas, mempercepat jalan pulang. Namun, baru sampai di ujung danau, sebuah beko menghadang perjalanan kami. Beko adalah kendaraan besar yang biasa digunakan untuk menguruk, mengangkat, dan meratakan tanah. Beko di depan kami sedang beroperasi dengan cepat.

“Hey, mengapa beko itu membuang tanah ke dalam Danau Segitiga kita?” tanyaku bingung.

“Iya ya. Mengapa ditimbun tanah? ‘Kan air Danau Segitiga kita jadi keruh,” Nisa menimpali.

“Ayo kita lihat lebih dekat!” ajak Asma setengah berlari mendekati beko.

“Hey, menjauh! Jangan dekat-dekat beko. Nanti terkena tumpahan tanah!” Sopir beko berteriak dari balik kemudi.

Aku, Asma, dan Nisa langsung lari menepi. Kami takut juga terkena senggolan beko yang super gede.

“Mau diapain danaunya, Pak?” tanyaku setengah berteriak, berusaha mengalahkan suara beko yang menderu. “Mau ditimbun!” jawab pak sopir lugas.

Aku, Nisa, dan Asma saling bertatapan. Kami bingung dan tak mengerti mengapa Danau Segitiga itu harus ditimbun, padahal Danau Segitiga itu adalah tempat kami bermain. Danau tempat kami biasa memancing, berenang, atau sekadar berkumpul untuk bercerita. Di tepi Danau Segitiga itu pula kami biasa bermain enggrang, kelereng, dan asinan.

Kami masih berdiri melihat beko bekerja, sampai pak sopir kembali meneriaki kami. “Hey, pulanglah segera, Nak. Ummi kalian sudah menunggu!” Kami pun tak menunggu diperintah lagi. Kami langsung berlari menuju rumah masing-masing.

Sampai di rumah, seperti biasa aku mengucap salam dan bergegas masuk ke dapur. “Assalamualaikum, Bunda…, Bunda…!” Aku sedikit berteriak.

Waalaikumsalam. Ada apa, Niyya? Kenapa berteriak?” Bunda keluar dari kamar sambil menggendong adik bayiku.

“Bunda tahu nggak? Danau Segitiga kami katanya akan ditimbun!” ujarku sambil meneguk segelas air dingin pelepas dahaga.

“Oya? Mungkin hanya dirapikan,” komentar Bunda, santai.

“Gak, bukan dirapikan, tapi ditimbun, Bunda. Aku dan teman-teman tadi melihat sebagian prosesnya. Pantas debunya jadi banyak banget.” Aku terus menjelaskan.

“Oo, ya nggak papa laah!” Bunda kembali mengomentari dengan santai.

“Eeh, kok Bunda santai banget sih. Gak keberatan ya kalau Danau Segitiga itu benar-benar ditutup? Terus kami mancing di mana? Berenang di mana? Main di mana?” cecarku dengan nada protes.

Kulihat Bunda hanya tersenyum dan berkata, “Ya udah, mungkin pengelola perumahan ini punya rencana lain untuk danau itu.”

“Rencana lain, tapi merugikan kita sebagai penghuni di area perumahan ini!” Aku mulai ketus.

“Eeh, jangan berprasangka buruk dulu dong! Bisa saja danau itu sengaja ditutup, kemudian nantinya dibuat taman bermain yang lebih bagus lagi.” Bunda mengingatkanku untuk tidak berburuk sangka.

Aku manyun. Bunda tersenyum dan merangkul pundakku. “Sudah, ayo segera ganti baju dan istirahat untuk bersiap salat asar, kemudian ke TPA!” Aku pun segera menuruti perintah Bunda, menuju kamar untuk berganti baju.

Sore hari, aku telah mandi dan bersiap pergi mengaji ke TPA. Tak sabar aku menunggu Nisa dan Asma. Aku ingin mengajak mereka ke Danau Segitiga lagi. Aku ingin memastikan apakah danau itu benar-benar ditimbun.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya kedua sahabatku datang. Kami segera menuju ke TPA. Sepulang dari TPA, sesuai rencana, kami menuju ke Danau Segitiga.

Burm… glek… burm… glek…!

Suara beko sayup terdengar. Kami mempercepat langkah, tak sabar ingin sampai ke Danau Segitiga.

“Lihat, Danau Segitiga kita tinggal setengah!” seru Asma sambil menunjuk ke arah danau. Aku melongok, berdiri di atas batu untuk memudahkanku melihat dengan jelas.

“Benar, sebagian besar danau sudah mulai tertimbun tanah,” tambah Nisa memastikan.

Kami pulang dengan hati sedih. Bukan hanya kami bertiga yang merasa kehilangan danau itu, melainkan semua anak di area perumahan tempat kami tinggal juga. Kami merasa tak punya lagi tempat bermain yang nyaman. Kami tak punya lagi tempat berenang yang menyenangkan.

Berita tentang ditimbunnya Danau Segitiga makin menyebar. Tiap hari, kami membicarakan tentangnya. Hingga akhirnya kami lelah untuk membahasnya lagi. Kami mulai merelakan Danau Segitiga tertimbun, tetapi kami tetap tidak bisa melupakan kenangan di sana.

Sebulan berlalu, tiba-tiba beberapa mobil truk terlihat lalu lalang di sekitar bekas Danau Segitiga. Truk-truk itu membawa beberapa sak semen, batu kerikil, pasir, dan bata paving. Terlihat pula beberapa tukang yang dengan sigap langsung mengolah semen dengan mesin molen. Sayangnya, kami tak bisa melihat aktivitas mereka karena sekeliling bekas danau itu telah dipasangi seng yang tinggi. Seperti ada proyek besar yang sedang dikerjakan di dalamnya.

“Huh, kenapa sih bekas danau itu harus ditutup! Sebenarnya apa sih yang sedang mereka lakukan!” Aku menggerutu kesal.

Kuhampiri Bunda yang sedang menyuapi adik di beranda. “Eh, kok tiba-tiba ngomel gitu?” tanya Bunda penuh selidik.

“Gimana nggak ngomel, Bunda. Kami ‘kan pingin tahu untuk apa bekas danau itu! Kenapa juga harus ditimbun kalau nggak jelas mau dijadikan apa. Lagian kenapa juga dulu digali jadi danau buatan kalau pada akhirnya di timbun lagi!” Aku masih saja bersungut, meluapkan rasa penasaran sekaligus kecewa.

 “Mm…, sudahlah. Mungkin mau dijadikan lapangan olah raga, atau… bisa juga jadi tempat bermain,” sahut Bunda turut menerka.

“Ooo… betul… betul… betul…! Semoga jadi tempat bermain deh. Agar kami bisa bebas bermain lagi di sana. Meski tanpa pemandangan danau lagi.” Aku dan Bunda saling tersenyum. Selanjutnya, aku pamit pada Bunda untuk menyelesaikan tugas sekolah.

Sepekan kemudian, beberapa truk kembali lalu-lalang. Truk-truk itu tidak lagi memuat bahan bangunan, tetapi membawa pohon-pohon besar dan tanaman hias. Aku dan anak-anak lainnya segera mendekat ke area bekas danau. Kami melihat para sopir dan kernet truk menurunkan muatan.

“Tanaman-tanaman ini nanti letakkan sebelah sini ya! Yang besar-besaar di tanam berjejer di tepi!” Instruksi Pak RT jelas dan tegas.

Aku mulai menerka-nerka kembali akan dibuat apa bekas danau kami. Aku masih terus berharap bisa bermain di tempat itu. Aku pun pulang dan menceritakan kembali pada Bunda tentang apa yang kulihat. Bunda cukup antusias, “Kita lihat saja jadi apa nantinya!”

Hingga pada suatu pagi di hari Minggu, semua anak-anak berlarian. Mereka berteriak kegirangan. “Horeee! Kita punya taman bermain baru!”

Aku buru-buru keluar rumah dan mengikuti arah lari mereka. Aku penasaran. Ternyata mereka menuju ke arah bekas danau. Dan, aku pun terkejut. Bekas Danau Segitiga berubah menjadi taman cantik. Namanya Taman Ceria. Tidak hanya banyak bunga, tetapi juga ada sarana bermain seperti seluncuran, ayunan, jungkat-jungkit, trampolin, halang-rintang, dll. Aku pun langsung merasa girang. Aku segera berlari pulang. Tak sabar mengabarkan pada Bunda bahwa harapan kami menjadi nyata.

“Bundaaaa, ternyata Danau Segitiga berubah menjadi Taman Ceria. Cantiiik… banget!” teriakku dari beranda.

Bunda pun tak kalah bahagia. “Nah ‘kan, akhirnya kalian mendapat tempat bermain yang lebih indah. Jadi, lain kali hindari berpikir negatif yaa, Sayang!” ucap Bunda seraya mencubit lembut pipiku. Aku pun tersenyum.[]