Judul : Omong Kosong yang Menyenangkan
Penulis : Robby Julianda
Penerbit: Buku Mojok, 2019
Tebal : viii + 98 halaman
ISBN : 978-602-1318-82-9
Sepanjang tahun 2019 ini saya mencatat ada beberapa buku menarik terbit. Tiga di antaranya berupa novela (semacam novel dalam bentuk mini) dengan tema yang segar. Artinya, tema tidak melulu berkukung soal realisme magis atau meromantisasi kemiskinan dan sejarah sebagaimana yang belakangan lazim terjadi. Tiga novela tersebut adalah Dekat dan Nyaring karya Sabda Armandio, Arapaima karya Ruhaeni Intan, dan Omong Kosong yang Menyenangkan karya Robby Julianda.
Omong Kosong yang Menyenangkan adalah sejenis buku fiksi yang tak banyak muncul di Indonesia. Temanya ringan dan dekat—soal kehidupan manusia modern—dengan narasi yang mengalir lancar dan lincah. Pembahasannya boleh dikatakan tidak berat, kendati klaim semacam itu juga terkesan menyepelekan kandungan buku.
Novela ini berporos pada tokoh lelaki muda bernama Sal. Ia seorang penata letak di sebuah portal media abal-abal yang kurang berhasrat terhadap pekerjaannya. Lantaran ketidaksukaannya itu, ia pun berniat untuk resign dan mencari pekerjaan baru.
Pada bagian ini, potret kehidupan manusia muda modern mulai tercuplik. Perihal orang-orang yang ingin mencari tantangan baru dan tak betah hanya dalam satu hal, termasuk soal pekerjaan. Namun, Sal dalam novela ini, selalu mendapati kendala tiap kehendak untuk lepas dari pekerjaan lama menderanya. “Setiap kali berniat untuk berhenti dari pekerjaan, yang ia dapati adalah langit cerah dan biru sekali, yang membuatnya berpikir—dengan naifnya—kehidupan ini ternyata indah.” (hlm. 24) Bukankah hal semacam itu kerap melanda manusia modern, yang terjebak di antara keinginan untuk menempuh yang baru dan keraguan meninggalkan yang silam?
Tahun 2018 lalu, terbit novel Resign-nya Almira Bastari yang membahas secara asyik dan pop mengenai topik ini, yaitu peristiwa resign seorang pekerja di era modern. Adapun, pada novela Arapaima pekerjaan juga menjadi hal sentral yang dibahas, tentang seorang perempuan muda yang tidak terlalu bersemangat dengan pekerjaannya terutama karena kelakuan bos yang kurang ajar.
Bagian lain yang menegaskan potret manusia modern dalam Omong Kosong yang Menyenangkan adalah mengenai pertemuan-pertemuan yang sebentar. Pertemuan-pertemuan yang lekas berlalu dan dilupakan. Di antaranya ketika Sal berjumpa dengan Laurell—seorang bule Selandia Baru yang rupa-rupanya seorang penipu—di suatu kedai kopi, Lani—seorang guru TK yang misterius dan menjadi tokoh utama kedua setelah Sal—, dan Malano—seorang lelaki aneh yang Sal jumpai di dalam bus.
Pertemuan-pertemuan di kedai kopi, tempat-tempat asing, dan kendaraan bukan hal asing bagi manusia modern. Dalam cerita Sal, pada pertemuan-pertemuan tersebut terbangun percakapan-percakapan yang cukup menarik. Misalnya ketika ia berjumpa Laurell. Dalam pertemuan dan percakapan yang sebentar itu, keduanya sempat berbicara tentang kebahagiaan. Lalu, saat percakapan bersama Lani, Sal dan Lani berbincang tentang identitas diri dan bagaimana orang-orang jarang menerima perbedaan atau hal yang menurut mereka tak wajar. Sementara pertemuan dengan Malano—pertemuan yang sangat tak terduga—menghasilkan perbincangan soal kehidupan.
“Jika dipikir-pikir, hidup ini sungguh getir, bukan?” tanya Malano retoris. Ia mengibas abu rokok yang kadung jatuh ke pesak celana, lalu meneguk kopi. “Kau bekerja dan bekerja, tahu-tahu kehidupan sudah menyedotmu bulat-bulat.”
“Seperti vacuum cleaner,” ucap Sal melanjutkan.
“Persis seperti itu. Macam vacuum cleaner,” ucap Malano sepakat. “Yang pasti, Tuhan benar-benar tidak adil—benar-benar tak adil—andai nantinya tak ada kehidupan kedua.” (hlm. 93)
Satu lagi yang mencolok adalah soal budaya pop yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia muda modern. Semacam telah menyatu dalam denyut kehidupan kontemporer. Budaya itu adalah keterkaitan manusia modern—dalam hal ini Sal—dengan musik dan film. Sepanjang buku kurang dari seratus halaman ini, lebih dari sepuluh judul lagu dan film terkutip. Itu menunjukkan bahwa keduanya telah menjadi bagian hidup dari manusia muda modern. “Sal bahagia saat ia menonton film kesukaannya atau mendengarkan musik atau memandang langit biru, tapi perasaan itu hanya sesaat. Perasaan itu habis bersamaan dengan berakhirnya film atau lagu atau pandangannya terhalang bangunan.” (hlm. 38)
Dengan segala bangunan yang menggambarkan potret manusia muda modern, novela ini menjadi terasa dekat ketika dibaca oleh orang-orang yang merasa senasib dengan sang tokoh—anak muda yang bertarung dengan berbagai kehendak, pencarian identitas, dan masalah pekerjaan.
Telah saya katakan di awal bahwa novela ini tidaklah begitu berat. Tapi, apa itu sesungguhnya berat dan ringan? Ketika saya perhatikan lebih lanjut, novela ini justru membentangkan potret hidup kekinian, utamanya anak-anak muda saat ini. Orang-orang yang diliputi berbagai pertanyaan dan kegelisahan-kegelisahan soal hidup. Barangkali semua hal tentang hidup, seperti judul novela ini, adalah Omong Kosong yang Menyenangkan. (*)