Menjadi mahasiswa semester akhir bisa dibilang sangat membosankan dan melelahkan. Harus berkutat dengan tugas-tugas akhir yang banyak menguras pikiran dan energi. Sembari menunggu jadwal sidang seminar proposal yang tak jelas kapan keluarnya, akhirnya aku putuskan menerima tawaran Asih, teman sekelas untuk mendaki Gunung Arjuno.

Setelah bernegosiasi alot di telepon dengan orang tua, akhirnya aku diizinkan untuk berangkat. Rombongan kami berjumlah 12 orang, di antaranya Rizal, Ari, Lila, Asih, Zahid, Muis, Ubai, Aisah, Pipit, Haris, Fahri, dan aku-Ayu. Kami berangkat dari Pulau Garam, Madura, menuju Pasuruan sekitar pukul 14.00 yang mundur satu jam dari awal keberangkatan. Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam setengah karena sempat kesasar, kami akhirnya tiba di basecamp pendakian Gunung Arjuno jalur Purwosari, di Dusun Tambakwatu, Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan.

Memilih mendaki Gunung Arjuno jalur Purwosari sebelumnya telah kami pertimbangkan matang-matang baik buruknya karena dari rombongan kami masih banyak yang pemula. Setelah perdebatan semalam suntuk, kami memilih jalur Purwosari. Selain medannya tidak terlalu menanjak seperti jalur yang lain, melalui jalur ini kami nantinya sekaligus belajar sejarah, karena sepanjang jalur pendakian terdapat situs-situs peninggalan kerajaan Majapahit. Banyak yang mengatakan jika mendaki lewat jalur ini, syarat akan kejadian-kejadian mistis, namun itulah daya tarik tersendiri jalur Purwosari.

Setiba di basecamp, kami istirahat sejenak dan makan bersama untuk memulihkan energi. Kami tidur beberapa jam setelah memutuskan untuk mulai mendaki pukul 23.30. Langit Purwosari lengkap dengan taburan bintangnya, seperti menyaksikan keletihan kami. Kami terbangun sebelum pukul 23.30. Sebelum berangkat, kami mendapatkan banyak arahan dan wejangan dari bapak Badri, dari pihak basecamp.

“Sebelum kalian berangkat, ada beberapa hal yang harus saya sampaikan terkait pantangan-pantangan mendaki Gunung Arjuno ini. Karena memang jalur Purwosari ini adalah jalur spiritual, dan relatif lama daripada jalur yang lain,” terang Pak Badri.

Kemudian ia melanjutkan
”Kalian dalam jumlah genap?”
“Iya, Pak.” Kami menjawab serentak.
Pak Badri bertanya lagi, “Ada yang haid?”
“Ada pak, saya.” Sontak Asih menjawab.

“Aduh ini yang jadi masalah. Jadi di Gunung Arjuno ini tidak disarankan bagi perempuan yang haid untuk mendaki gunung, mendaki dalam jumlah ganjil, dan membawa atribut berwarna merah. Ada kejadian-kejadian yang tidak diinginkan ketika melanggar pantangan-pantangan itu. Itu adalah mitos yang dipercaya masyarakat setempat dan sudah ada kejadiannya, jadi kita harus menghargainya. Tapi nanti misal mbaknya ini tetap ikut naik, tidak apa-apa, asal selalu berdoa, berdzikir dan bersholawat, serta pikiran tidak kosong.

Misalkan nanti hanya bisa sampai di pos 5 Mangkutoromo ya jangan dipaksakan, keselamatan tetap yang utama. Terakhir pesan saya, jaga sopan santun, jaga sikap ketika di sana, jangan berkata kotor, bagaimanapun kita adalah tamu. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jangan buang sampah sembarangan, bawa turun sampah kalian. Karena gunung bukan tempat sampah. Sebelum berangkat, mari kita berdoa terlebih dahulu!” Tutup Pak Badri.

Melalui jalur Purwosari, kami akan melewati  7 Pos. Pos 1 Tampuono, Pos 2 Oento Boego, Pos 3 Eyang Sakri, Pos 4 Eyang Semar, Pos 5 Mangkutoromo, Pos 6 Candi Sepilar, Pos 7 Djawa Dwipa, dan terakhir Pelawangan hingga menuju puncak. Gerbang masuk tanpa tulisan, benar-benar mencekam. Gelap-gelap kami memulai pendakian. Aku adalah yang paling penakut dari yang lain. Sepanjang perjalanan aku tak berani menengok ke arah manapun. Serasa ada yang mengawasi dari setiap sudut yang kami lalui.

Perjalanan menuju Pos 1 bisa dibilang belum begitu berat, karena jalannya masih landai dan terdapat ladang kopi di sekitar jalur pendakian. Medan yang masih landai dan cukup bersahabat untuk betis kami. Setelah satu jam berjalan dari basecamp, kami tiba di Pos 1 Tampuono. Tampuono adalah situs pemujaan spiritual yang kami temui pertama kali. Di sini, kami harus benar-benar menjaga sikap dan perilaku, karena kami sejatinya adalah tamu. Satu-satunya penerangan hanya dari senter yang kami bawa, malam itu benar-benar gelap dan begitu mencekam dilengkapi suhu dingin yang kian erat memeluk tubuh. Kami memutuskan untuk istirahat sejenak kemudian melanjutkan perjalanan.

Medan yang kami tempuh untuk menuju Pos 2 masih berupa tanah, yang berkelok dan menanjak. Selain itu, sudah memasuki hutan lebat yang didominasi dengan pepohonan besar. Sepanjang jalur pendakian, kami tidak menemui satu pendaki pun. Rupanya jalur ini masih terbilang sepi dan menenangkan.  Hingga sampai di Pos 2 Oento Boego, kami baru menemui satu pendaki. Kami memutuskan untuk berhenti dan menunaikan salat subuh. Aku hampir tak berani berwudhu, karena air benar-benar seperti es dari kulkas.

Namun, walaupun dalam sebuah perjalanan, kewajiban tetaplah kewajiban, tidak ada tawaran. Mengagumi ciptaannya tanpa harus melupakan penciptanya adalah esensi perjalanan versi diriku. Di dekat pondokan, tempat kami beristirahat, terdapat Goa Oento Boego. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami mengisi perbekalan air secukupnya. Sumber air di gunung Arjuno bisa dikatakan melimpah daripada gunung-gunung yang lain. Jadi pendaki tidak perlu khawatir kehabisan air di gunung yang satu ini.

Setelah di rasa cukup untuk beristirahat, kami melanjutkan perjalanan ke Pos 3 Eyang Sakri. Kami mendapatkan sunrise di tengah perjalanan menuju pos 3. Lentera dari timur adalah energi tersendiri bagi pendaki selain dari logistik yang kami bawa. Pemandangan sekitar benar-benar membuat kami takjub, lanskap alam detail dengan keindahannya, terlihat kabupaten Pasuruan, Malang, dan Kota Batu di ketinggian yang kami pijak sekarang. Kami memutuskan untuk tidak istirahat setelah sampai di Pos 3 Eyang Sakri karena energi kami masih cukup untuk melanjutkan perjalanan hingga Pos 4 Eyang Semar.

Sesampainya di Pos 4 Eyang Semar, lagi-lagi Sang Khalik tiada henti tunjukkan kebesarannya. Gugusan pegunungan Tengger terlihat jelas. Tak kalah eksotis Gunung Semeru lengkap dengan kawah Jonggring Saloko yang sedang batuk. Generasi Z seperti kami tak akan melewatkannya begitu saja. Kami sejenak mengambil gambar untuk arsip perjalanan. Di atas terlihat patung Eyang Semar yang lengkap dibalut dengan kain putih, aku tidak tahu itu kain mori atau yang lainnya. Kebetulan saat itu ada beberapa orang melakukan ritual dan Mas Fahri sudah di atas ikut menyaksikan ritual tersebut.

Tanpa pikir panjang aku pun menyusulnya karena penasaran dengan tata caranya. Ternyata mereka, para peziarah tidak keberatan jika kami turut menyaksikan. Bau wewangian sangat menyengat di sekitar patung Eyang Semar. Peziarah banyak membawa bunga-bunga dan air yang kemudian disiramkan di bawah patung Eyang Semar. Biasanya orang-orang yang datang adalah yang masih memiliki kepercayaan Kejawen dan orang-orang yang hanya sekadar berziarah atau berdoa dengan maksud tertentu. hal ini menambah pengetahuan bagiku, selain belajar sejarah, ternyata masih ada kepercayaan-kepercayaan dahulu yang masih lestari hingga sekarang. Begitu banyak keberagaman yang aku temukan dari perjalanan ini.

Tak jauh dari Pos Eyang Semar, sekitar 15 menit kami sampai di Pos 5 Mangkutoromo. Di Pos 5 ini, terdapat candi besar yang di bawahnya berupa punden berundak. Itulah yang dinamakan Petilasan Mangkutoromo. Biasanya di tempat tersebut terdapat orang yang melakukan ritual, sehingga sudah bukan hal aneh lagi jika mencium bau dupa yang sangat menyengat. Pos 5 adalah area ideal untuk mendirikan tenda dan beristirahat. Areanya luas, namun Pos 5 adalah batas akhir adanya sumber air.

Di Pos 5 ini, bisa dibilang fasilitasnya lengkap untuk standar di gunung. Sudah ada tempat MCK. Kami beristirahat cukup lama dan memasak ala kadarnya. Setelah kami makan bersama-sama, kami mulai pendakian lagi pukul 15.00, tepatnya setelah semua salat asar. Tak jauh dari Pos 5, lebih ke atas sedikit kami melalui jalan berupa punden berundak yang tidak ramah di betis, cukup membuat nafasku ngap-ngapan. Sepanjang punden berundak, kanan-kiri terdapat patung-patung. Aku merasa merinding ketika sampai di candi ini. Di atas terdapat candi bernama Candi Sepilar. Ukurannya lebih kecil dari petilasan Mangkutoromo.

Perjalanan setelah melewati Candi Sepilar kian berat. Tanpa ampun dan minim bonus (trek landai). Vegetasi cukup rapat didominasi dengan pohon besar dan rumput ilalang yang sesekali menutupi jalur.  Kali ini rombongan kami bertambah menjadi 15 orang, 3 orang ikut bergabung dari Ikamapas (Ikatan Mahasiswa Pasuruan). Kami berhenti sejenak di dekat pohon yang tumbang. Menyaksikan panorama hamparan lautan awan yang tampak menawan sebelum gelap malam menerkam.

Tak lama kemudian kami tiba di Djawa Dwipa dan beristirahat. Membuat perapian, menyeduh kopi, dan bernyanyi bersama. Malam yang romantik di bawah taburan gemintang. Sekitar pukul 21.00 kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di Pelawangan, di mana Pelawangan adalah pos terakhir dari jalur ini. Sesampainya di Pelawangan kami langsung bergegas untuk tidur agar sepagi mungkin dapat melanjutkan perjalanan ke puncak. Namun ekspektasi di luar realita, kami bangun kesiangan. Lentera terbit dari timur dan langit telah berwarna jingga kami baru bangun dan bergegas menunaikan salat subuh.

Sejenak kami berjemur di atas mentari yang tidak cukup menyengat, pagi yang indah, bersama kabut lembut. Perjalanan menuju puncak semakin berat, minim bonus. Medan pendakian didominasi tanah dan batu. Jalur Purwosari bisa dibilang sepi, hanya beberapa pendaki saja yang kami temui.  Dengan susah payah dan kaki seperti tak bertulang, kami menuju puncak Ogal Agil. Kali ini aku telah bersujud di atas salah satu batu besar yang berada di puncak, cukup lama, lalu mendongakkan kepala ke langit. Seolah tak percaya tangan Tuhan telah dengan sabar menuntunku hingga ketinggian 3.339 MDPL.  Dari puncak Arjuno, dapat melihat pemandangan gunung lain, di antaranya Gunung Welirang, Gunung Kembar 1 dan 2, Gunung Semeru, Gunung Kawi, Gunung Buthak, dan Gunung Penanggungan.