Apa yang telah diberikan revolusi? Entahlah. Orang-orang pada umumnya tak merasa mendapat apa-apa dari bergantinya sebuah orde. Yang diberikan revolusi, mungkin, hanyalah kesenduan yang baru. Toh, setidaknya kita tahu ada yang berubah. Ada alasan untuk bersyukur karena sebuah masa suram sudah berakhir. Dan kesuraman lain telah menanti di depan pintu. Yang kekal, pada akhirnya, adalah pencarian.
Ini adalah catatan yang berantakan dan berserakan tentang negeri-negeri sendu yang saya jumpai di Eropa yang bukan barat, mencakup sebagian besar Semenanjung Balkan serta tanah-tanah lain di dekatnya. Negeri-negeri ini memberi saya berbagai hal yang melankolis dan puitis: ingatan tentang rumah, pelarian dari kemonotonan Barat, dan sejarah/mimpi yang tak mudah. Saya memulainya di Slovenia, lalu Romania, dan akhirnya Bosnia.
Suara dari Bawah Permukaan
Yang menuntun saya ke Slovenia adalah monumen France Preseren di pusat kota Ljubljana. “Bagaimana sebuah negara menaruh patung seorang penyair di tengah-tengah pusat kota ibukotanya?” pikir saya. Pertanyaan semacam itu berujung pada perjalanan bus selama 22 jam, sebelum tiba pada pagi yang baru merekah di Ljubljana. Sepekan lamanya saya habiskan di negara pecahan Yugoslavia itu.
Slovenia menulis sendiri kemerdekaannya pada Juni 1991. Tapi tidak dengan mulus, seperti Indonesia, negeri kecil di selatan Austria ini harus melewati perang pasca deklarasi kemerdekaan. Sejarah mencatatnya sebagai Perang Sepuluh Hari. Inilah perang yang mengawali perang-perang lain di (bekas) wilayah Yugoslavia, seperti Kroasia dan Bosnia. Setelah menuntaskan revolusi yang berdarah itu, Slovenia beranjak meninggalkan sosialisme. Pada 2004, mereka resmi menjadi anggota Uni Eropa.
Apakah setelah itu keadaan membaik? Bisa iya, bisa tidak. Tapi, setidaknya menurut seorang ibu paruh baya asal Koper, situasi justru semakin payah. Saya menemuinya di stasiun kereta saat hendak bertolak dari Koper menuju Bled. Ia menuntun saya dalam rute yang rumit itu, karena ternyata saya harus naik bus dulu ke Divaca, lalu menyambung kereta ke Ljubljana, sebelum melompat ke bus tujuan Bled. Fyuh.
Kami duduk berseberangan di gerbong kereta dan saling bercerita. Pada satu titik, kami membahas politik. Suaranya adalah suara orang-orang kebanyakan. Nada bicaranya terdengar sangat akrab. “Bagi orang-orang normal seperti saya, Uni Eropa itu omong kosong,” ujarnya ketus. Suaranya juga suara orang-orang yang telah dikecewakan revolusi. Katanya, ekonomi justru runtuh ketika Slovenia merdeka. Saat itu, ia kehilangan pekerjaan di sebuah perusahaan ekspor asal Prancis dan terpaksa menganggur selama tiga tahun.
Menurutnya, narasi tentang Slovenia sebagai negara hijau dan tenang cuma di permukaan. Di bawahnya, orang-orang bergelut dengan hidup yang tak mudah. Ceritanya melabrak persepsi saya tentang Slovenia yang asyik. Setelah bicara panjang lebar, saya dan ibu itu saling diam. Kami terbuai lamunan masing-masing. Saya menatap ke luar jendela dan kota-kota kecil yang terlewat. Perlahan, kereta tiba di Ljubljana. Saya dan ibu itu berpisah di sana.
Yang Tersisa dari Revolusi
Saya selalu mengingat Bukares lewat punggung seorang gadis di 21 Desember 1989 Square dan penggalan puisi Rene Char: “gadis itu berjalan gegas//matahari terbenam di punggungnya” (diterjemahkan Mikael Johani).
Waktu itu, hari kian tua di sana. Free walking tour hampir usai dan pemandu berambut pink terus bicara tanpa jeda tentang revolusi. Saya membayangkan tank, demonstrasi, dan mahasiswa yang jengah oleh bajingan yang duduk di kursi penguasa. Di hari Natal 1989, diktator Nicolae Ceausescu ditembak mati oleh regu penembak. Romania selesai menulis revolusinya. Dan alun-alun di depan Universitas Bukares jadi pengingat.
Hari itu, hari pertama Agustus, matahari tampak sedang ganas-ganasnya di Balkan. Saya baru saja menyeberang dari Varna di Bulgaria, melintasi pos perbatasan yang sedih, dan tiba di Bukares pada siang yang super terik. Teduh pohon membuat kota tersingkir. Dan sepotong puisi menguar begitu saja: pada Bukares 31 derajat//aku menjelma Jakarta//yang pucat dan merambat//mencari jeda. Kemudian matahari redup sedikit.
Romania mungkin semacam hibrida. Italia dan Prancis bercampur, lebur jadi bahasa. “Merci,” ucap saya setelah menukar leva dengan leu. Di sana, identitas dan kebudayaan tak pernah hitam-putih. Terbentur, terbentur, terbentuk. Mungkin Tan benar. Atau, mungkin memang seperti itulah realitas di dunia yang bukan Eropa Barat dan Amerika Utara. Kita terpaksa menelan semuanya utuh-utuh, lalu memilih/milahnya secara organik.
Di kota, orang-orang Romania terus menekuk bibirnya. Seperti ada yang dirahasiakan. Juga gadis pemandu berambut merah muda. Ia tak banyak tersenyum. Gerombolan manusia memenuhi pusat kota dengan es krim di tangan, atau cocktail di atas meja, tapi tanpa senyum. Apa yang telah diberikan Ceausescu yang lekang hingga hari ini?
Dan, seperti itulah Bukares. Saya hanya singgah sementara di sana. Jadi, catatan ini mungkin gegabah. Mengutip kawan dari seorang kawan: “Pejalan yang baik selalu bercerita dari mata kaki, dan dia memberikan definisi tentang tempat yang disinggahi dengan sembrono.” Esok harinya, saya menuju barat dengan kereta. Di Gara de Nord, perut saya merintih, entah karena croissant, atau kisah revolusi, atau orang-orang murung.
Sebelum Azan Berkumandang
Malam tiba-tiba memanjang di Sarajevo. Kami bercengkerama di dapur hostel, menghabiskan spaghetti yang tersisa, dan akhirnya menyadari keragaman itu. Enam pejalan dari enam negara yang berbeda datang sendirian ke Sarajevo dan dipertemukan ruang-waktu yang sama. Kami merayakan impromptu itu dengan bir. Memulainya di hostel, beranjak ke Irish Pub, lalu bergerak ke pub lain yang lebih lokal dan artisanal.
Di pub lokal itulah kami bertemu seorang pria paruh baya yang mengelola tempat itu. Dari belakang meja bar, ia bicara banyak hal tentang kota yang dicintainya: Sarajevo yang malang. Kota ini dicatat di buku-buku sejarah sebagai pelatuk yang memicu Perang Dunia I. Pada suatu siang musim panas 1914, Franz Ferdinand ditembak mati di dekat Latin Bridge. Perang berkecamuk setelahnya. Sejak itu, Sarajevo seperti lekat dengan tragedi.
Pria itu menuturkan ulang kisah-kisah dari masa lalu. Ia bicara tentang Perang Bosnia, Olimpiade Musim Dingin 1984, Bono, Festival Film Sarajevo, dan hal-hal lain. Rupanya, ia tampil di Olimpiade sebagai atlet bobsleigh. Itu jauh sebelum perang meletus di Bosnia dan menelan ratusan ribu nyawa. Jauh sebelum Bono tiba di Sarajevo pada masa perang, menyanyikan lagunya di sebuah bar, lalu kembali ke sana setelah perang untuk berkonser. Jauh sebelum Festival Film Sarajevo dihelat pertama kali pada 1995, saat perang masih melanda.
Yang membuat saya takjub, pria itu baru saja membagi cerita pribadinya tentang perang tapi dengan senyum di bibir. Kata-katanya keluar tanpa bergetar. Ia seperti menceritakan hal yang sehari-hari tentang sesuatu yang di media disebut sebagai “genosida”. “Apakah ada trauma atau dendam yang tersisa?” tanya saya memberanikan diri. Saya tak akan lupa kata-katanya. “Perang sudah berakhir dan kita harus terus melanjutkan hidup. Dan kita hanya bisa melakukannya jika kita memaafkan. Saya telah memaafkan perang itu,” tukasnya.
Kepala saya pening, entah karena Sarajevsko atau kata-kata bapak tadi. Bagaimana caranya seseorang memaafkan perang? Entahlah. Kami berpamitan dengan pelukan. Setelah itu malam menutup dirinya sendiri di Sarajevo. Ketika saya melompat ke kasur, azan subuh berkumandang dan memenuhi udara. Membuat saya rindu rumah. (*)
Keren 👍👍