Pantai. Merupakan pusat inspirasi tiada henti. Satu bentuk geografis yang diciptakan Tuhan ketika sedang jatuh hati. Mengagumi keindahan pantai sambil duduk memangku buku dan menulis cerita adalah cara terbaik menyembuhkan luka. Banyak pantai di Pulau Jawa yang sudah saya jelajahi, namun saya benar-benar jatuh cinta pada yang satu ini; Ngobaran!
Pertama kali saya mendengar namanya dari kawan di Yogyakarta. Di awal perkenalan kami yang sama-sama penggila pantai, dia banyak memamerkan foto dan bercerita tentang perjalanannya ke sana—tentang senja telur mata sapi yang menakjubkan, yang bersembunyi di balik bukit penanda rotasi alam. Pun semilir angin tenang ditingkahi debur ombak membentur karang, seolah musik alam yang tidak tergantikan. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali belum membuat saya tergerak hingga saya nekat mengunjunginya dengan mengendarai motor matic sendirian.
Perjalanan dari Malioboro menuju Wonosari bukan sesuatu yang berat bagi saya yang sudah terbiasa menempuh perjalanan jauh dengan mengendarai roda dua. Ransel gunung berisi tripod, lensa tele, kamera SLR, serta logistik bertengger di punggung, menemani sepanjang perjalanan yang mengasyikkan. Selama tinggal di Yogyakarta, saya memang kurang akrab dengan wilayah Gunungkidul hingga saya menyadari, betapa kabupaten ini sangat menawan dengan udara yang masih segar.
Untuk mencapai Pantai Ngobaran, ternyata agak jauh jika dibandingkan dengan deretan Pantai Baron, Kukup, Krakal, dan sekitarnya. Memang, sepanjang perjalanan sudah dilengkapi dengan penunjuk arah hingga saya tak perlu kesulitan. Dari arah Playen, saya tinggal mengikuti jalan hingga sampai di Pasar Paliyan kemudian ambil kiri dan mengikuti papan penunjuk yang selanjutnya. Namun, saya harus berhati-hati melewati jalanan yang sangat memacu adrenalin. Menanjak, menurun, tikungan tajam, menanjak, menurun, tikungan tajam, begitu seterusnya seperti roller coaster yang membuat saya berkali-kali ingin memejamkan mata.
Jalanan yang sempit juga menuntut kesabaran saya bila sedang berpapasan dengan kendaran besar. Untung saja pemandangan yang disuguhkan sangat sayang untuk dilewatkan. Rumah-rumah penduduk yang masih sangat tradisional berjajar apik sepanjang jalan, pun deretan pohon melinjo yang sempat mencuri perhatian. Buahnya yang bulat lonjong berwarna merah segar berpadu dengan daun-daun hijau yang sedap dipandang. Saya membayangkan bila saja sedang musim rambutan, tentu warga sekitar sedang asyik memanen buah-buahan.
Terletak di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Pantai Ngobaran adalah surga tersembunyi yang sangat sayang bila dilewatkan. Saya menyebutnya sebagai Uluwatu milik Yogyakarta. Tak heran, sebab pantai eksotis bernuansa Bali ini dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi yang di bawahnya membentang garis pantai seluas mata memandang. Mengunjungi Pantai Ngobaran bukan saja memanjakan penglihatan, namun juga belajar tentang akulturasi kebudayaan. Terdapat sekitar empat tempat peribadatan yang berbeda di sini, yakni semacam pura dengan deretan patung berwarna putih yang konon dibangun pada tahun 2003 untuk menghormati Brawijaya V.
Pura tersebut adalah tempat beribadah untuk penganut Kejawan (berbeda dengan Kejawen). Bergeser ke arah kiri kita akan menemui sebuah joglo yang digunakan sebagai tempat beribadah penganut Kejawen. Dan tak jauh dari sana, kita bisa menjumpai pura untuk umat Hindu serta masjid untuk umat Islam. Yang menarik dari masjid di Pantai Ngobaran selain lantainya yang berupa pasir, juga letaknya yang menghadap barat. Sangat berbeda dengan masjid-masjid di Indonesia yang menghadap selatan. Selain itu, tempat imam memimpin shalat juga langsung menghadap pantai lepas seolah ingin menyatu dengan alam.
Meski tidak memiliki hamparan pasir putih seperti Pantai Pulangsawal yang amat masyhur, Pantai Ngobaran tentu memiliki kelebihan lain yang menjadi ciri khasnya. Tebing yang tinggi menjulang membuat kita merasakan kebesaran Tuhan. Belum lagi jika air sedang surut, maka kita bisa bermain-main di kolam-kolam mini yang terbentuk dari karang-karang yang tertutup alga berwarna hijau kecoklatan. Tak jarang, ikan-ikan kecil terjebak di dalamnya dan asyik bermain di sela-sela jari kita.
Jika lapar, kita tak perlu khawatir sebab pantai yang lokasinya tak jauh dari Pantai Ngrenehan ini pun memungkinkan kita menikmati ikan bakar segar yang baru dibeli dari nelayan. Harganya tak sampai membuat kantong jebol. Selain itu, kita bisa pula menikmati hidangan ala penduduk sekitar yakni landak laut yang diberi bumbu sederhana. Makanan tersebut sangat nikmat bila disandingkan dengan air kelapa segar yang baru dipetik dari pohon-pohon yang tumbuh tak jauh dari pantai membentang.
Sayang, terkadang saya lebih mencintai kesederhanaan. Semangkuk mie instan dengan telur rebus lebih menggairahkan untuk disantap. Aromanya yang sedap memanggil-manggil perut yang keroncongan setelah asyik bermain air seharian sambil tak henti membidikkan kamera.
Senja mulai turun menantang matahari agar tenggelam. Rasanya belum puas menikmati kebesaran Sang Penguasa Alam. Menghabiskan satu hari di Pantai Ngobaran adalah relaksasi batin yang tak terkira dengan nominal. Saya berjanji suatu hari akan kembali, dengan calon suami untuk mengambil foto pre-wedding kami; di Ngobaran—tempat Tuhan jatuh hati dan menjentikkan jari lalu menciptakan pantai semagis ini.