Tanda bersilang merah di pintu atau dinding adalah pesan kematian kepada para penghuninya. Malaikat pencabut nyawa tidak ada hubungannya dengan tanda itu, tetapi bisa dipastikan malaikat Israil akan bekerja setelah pintu atau dinding depan rumah bersilang merah. Kematian sudah dekat. Mungkin hanya dalam hitungan jam atau bahkan menit. Hanya Tuhan yang tahu.
Tidak ada tawar-menawar lagi kalau rumah sudah bertanda. Pada malam hari, sekelompok anak muda akan datang—biasanya mengendarai sepeda motor tanpa plat polisi—dengan beberapa kantung plastik berisi bensin. Mereka melempari rumah bersilang merah dengan kantung-kantung bensin dari berbagai sudut ketika penghuninya sedang terlelap. Lalu hanya dengan sebatang korek api—whuzzz—kematian membayangi penghuni rumah. Tak peduli di dalamnya terdapat bayi merah yang baru dua hari hadir di dunia. Tak peduli ada anak-anak tak berdosa yang tak mengerti urusan politik. Kalau beruntung, mereka selamat karena terbangun ketika api belum membara. Banyak di antaranya yang terjaga ketika api sudah membesar dan mereka terpanggang di dalamnya. Satu atau dua anggota keluarga yang selamat, menyesali kehidupan karena penderitaan ternyata lebih ganas dari kobaran api.
Jangan berharap ada bantuan ketika kobaran api muncul akibat dari silang merah. Pemadam kebakaran pun tidak berani mendekat meski telepon di meja piket sudah meraung-raung. Pernah ada dua armada yang nekat melaju ke rumah yang terbakar atas dasar kemanusiaan. Petugas berhasil memadamkan api dan tanpa korban jiwa. Namun, dalam perjalanan pulang, kedua armada itu dicegat dan dibakar beberapa pemuda. Mobil merah itu berhasil memadamkan api yang berkobar di rumah warga, tetapi tak mampu memadamkan api yang berkobar di mesinnya sendiri hingga kemudian teronggok tinggal kerangka. Seorang petugas nyaris meregang nyawa karena ditembak pelaku.
Sejak itu, petugas pemadam harus memastikan dahulu kebakaran disebabkan oleh silang merah atau ada sebab lain. Sering juga mereka salah, atau mendapatkan informasi keliru dari warga. Kebakaran akibat hubungan pendek arus listrik misalnya, dikira karena silang merah. Atau kebakaran karena silang merah, dikira karena hubungan pendek arus listrik atau tabung gas elpiji meledak. Pemadam kebakaran sangat berhati-hati kalau tak ingin mereka sendiri yang menjadi korban.
Setelah berbilang rumah membara, warga sudah mendapatkan gambaran rumah mana saja yang berpotensi bersilang merah. Rumah keluarga polisi dan tentara, rumah orang kaya yang menolak menyumbang bagi anak-anak muda pemeras yang mengaku pejuang, atau rumah orang yang dianggap pengkhianat. Nah, inilah yang kadang menjadi bias. Masalah pribadi kadang merembes menjadi persoalan politik. Ada yang menagih utang yang sudah berbilang tahun tak dibayar, tiba-tiba rumahnya bersilang merah. Rumah yang tak memenuhi semua kriteria di atas, mendadak bersilang merah seperti yang terjadi pada rumah Pak Musanna.
Semua penghuni rumah, bahkan warga, terkejut. Bukan hanya satu silang merah seperti kebanyakan rumah selama ini yang ditemukan pada rumah Pak Musanna. Ada tiga silang merah. Satu di pintu depan, satu di dinding kiri, dan satu lagi di tembok pagar. Belum pernah ada kejadian seperti itu sehingga wajar banyak yang tersentak kaget. Tiga silang merah, di rumah Pak Musanna pula!
Tiga silang merah adalah misteri. Mungkin pesannya, tingkat aksi di rumah itu sangat tinggi, harus dibakar sampai musnah jadi abu atau ada tujuan lain, hanya mereka yang tahu.
Anehnya, justru Pak Musanna kalem meski seluruh keluarga dan tetangga panik. Seperti biasa, ia tak banyak bicara meski rumahnya sudah bersilang merah tiga. Ia sepertinya tidak ambil pusing, tetap berkegiatan seperti biasa. Salat selalu di masjid, termasuk salat subuh yang membuat siapa pun yang tidak menyukai Pak Musanna bisa mencelakainya setiap saat tanpa saksi yang melihat.
Sejak banyak kasus penembakan oleh orang tak dikenal, warga mengurangi kegiatan di luar rumah pada malam sampai matahari muncul, termasuk kegiatan ibadah. Orang tak ingin menjadi korban hanya karena berada di tempat salah pada waktu salah. Kegelapan memang bukan sebuah kesalahan, tetapi di dalamnya kejahatan memamerkan taringnya yang berdarah-darah.
Pak Musanna bisa tenang, tetapi tidak dengan anggota keluarganya yang lain. Ia gagal menularkan ketenangannya kepada anggota keluarganya, anak-anak dan satu menantu, bahkan istrinya sendiri.
“Kita harus mengungsi, Pak,” Nyak Nah, istri Pak Musanna, berkata cemas ketika melihat silang merah di tembok sepulang dari salat Subuh berjamaah di masjid.
“Kenapa harus?”
“Rumah kita akan dibakar. Cucu kita, anak-anak, sedikit harta….” Nyak Nah tak bisa melanjutkan karena tangisnya hampir pecah. Ketika melihat Pak Musanna tenang saja, perempuan itu tidak ikutan tenang. Kecemasannya bercampur kemarahan, tetapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sorot mata suaminya seperti berkata, “Semuanya milik Allah, termasuk nyawa kita.”
“Benar, semuanya memang milik Allah,” sambung Nyak Nah, yakin ucapannya merupakan kelanjutan dari makna sorot mata suaminya, “tapi kita juga wajib menyelamatkan milik Allah. Kita bukan Nabi Ibrahim yang tak hangus dibakar.”
Pak Musanna diam saja dan terus melangkah ke dalam. Setelah mengganti kain sarung dengan celana, ia bersiap ke pasar untuk membuka toko kelontongnya. Istrinya yang cemas membangunkan semua penghuni rumah, kecuali cucu mereka yang masih berumur sembilan bulan. Mereka sepakat mengungsi untuk menyelamatkan diri. Anak-anak diminta memaksa ayah mereka untuk ikut mengungsi. Diam-diam, menantu Pak Musanna melaporkan kejadian itu ke polisi dan minta perlindungan tanpa terlalu kentara. Bila ketahuan, dampaknya bisa lebih buruk. Para pembakar rumah sangat membenci polisi. Keluarga polisi termasuk dalam urutan pertama yang rumahnya disilang merah. Bersekutu dengan polisi dan tentara bisa dianggap sebagai bentuk pengkhianatan.
Tiga silang merah mampu menggerakkan penghuni rumah Pak Musanna untuk mengungsi. Istrinya, anak-anak, menantu, dan cucu pindah ke rumah saudara. Nyak Nah juga memaksa suaminya ikut serta. Namun seperti biasa, Pak Musanna hanya tersenyum tipis dan memandang istrinya seperti berkata, “Allah yang akan menjaga kita.” Tidak ada jawaban dari Nyak Nah selain kecemasan di wajahnya yang tak bisa dilenyapkan.
Hanya Pak Musanna yang bergeming. Tiga silang merah tidak memengaruhi kehidupannya. Ia tidak merasa terusik, pun tidak berusaha menimpa dengan cat warna lain agar silang merah itu tak terlihat. Kehidupannya berjalan normal. Pagi ia salat di masjid, kemudian pulang ke rumah untuk sarapan yang ternyata sudah disiapkan istrinya yang sengaja pulang untuk memenuhi kebutuhan Pak Musanna. Ketika melihat istrinya di rumah, Pak Musanna tersenyum tipis seolah berkata, “Lihatlah, tidak terjadi apa-apa.”
“Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa, Pak, tapi ini baru malam pertama. Mereka masih menunggu kita lengah, seperti yang sering terjadi.”
Pak Musanna menjawabnya dengan senyum tipis seraya mengangkat kedua tangannya. Istrinya mengerti maksudnya, “Serahkan semuanya kepada Allah.”
Kemudian Pak Musanna berangkat ke pasar untuk membuka toko kelontong. Di tokonya, ketika melayani pembeli, Pak Musanna juga hanya bicara seperlunya dalam tempo yang tenang sambil tersenyum tipis. Kalau ada yang meminta penjelasan tentang suatu barang, ia pun menjelaskan dengan ringkas dan memberi ruang bagi pembeli untuk berpikir dan membuat perbandingan. Kalau ada pelanggan cerewet dan sok tahu, Pak Musanna juga melayani dengan senyum, mendengarkan setiap celotehan seolah itu adalah pesan penuh makna. Dengan cara seperti itu, Pak Musanna mempertahankan kesetiaan pelanggan meski beberapa pembeli menganggapnya menyebalkan dan naif.
Istrinya juga menganggapnya naif ketika masih bertahan di rumah pada malam kedua. Setelah menyiapkan semua kebutuhan suaminya, Nyak Nah mengungsi ke rumah saudara ketika gelap mulai turun. Ia memaksa suaminya untuk ikut meski yakin akan ditolak, dan memang seperti itu kenyataannya. Maka hari berikutnya, Nyak Nah tidak mengajak suaminya lagi. Bahkan ketika berada di rumah sampai suaminya berangkat ke pasar, ia sama sekali tidak menyinggung soal ancaman pembakaran rumah. Ia seolah mengharapkan bencana itu tidak terjadi dengan tidak membicarakannya.
Keesokan paginya, warga dikejutkan dengan penemuan tiga mayat anak muda di mulut jalan. Ada lubang dengan darah yang sudah mengering di jidat mereka, persis di antara pertemuan garis bersilang merah. Kalau tidak teliti, orang akan mengira goresan berbentuk huruf X di dahi ketiga pemuda itu darah yang sudah mengering, padahal sesungguhnya adalah silang merah dari cat minyak berukuran selebaran dahi, jauh lebih kecil dibandingkan dengan silang merah di rumah Pak Musanna.[]