Belakangan riset tentang minat baca masyarakat Indonesia menjadi isu yang paling sering digaungkan di jagat pendidikan kita. Baik media massa maupun kalangan akademis tak jarang mengangkatnya sebagai topik sentral dalam wacana atau misi mengembalikan jati diri dan memajukan peradaban bangsa. Saya tak perlu memaparkan hasil-hasil riset yang sudah acap kali digunakan sebagai latar belakang makalah atau seminar para akademisi. Saya hanya ingin bertanya: dapatkah kita mempercayai hasil penelitian itu?
Bukan skeptis. Saya pribadi, apabila pertanyaannya mandek di ‘minat baca’ saja, jujur saya ragu. Namun, apabila dilanjutkan menjadi ‘minat baca buku’ atau (lebih luas lagi di era digital) ‘minat baca ilmu’, saya percaya-percaya saja.
***
Saya punya teman. Dia salah seorang yang memiliki semangat dalam beribadah. Pendek kata dia orang yang religius. Pada bulan puasa kemarin, saya heran, di waktu yang semestinya digunakan untuk melaksanakan salat isya dan tarawih, pada beberapa kesempatan ia malah membuat status di Whatsapp. Ketika saya benar-benar salat di sampingnya pada waktu isya dan tarawih kemudian hari, saya menemukan jawabannya. Ia rajin sekali membuka gawai selepas salam, tanda salat telah usai.
Saya perhatikan dengan cermat. Usut punya usut, ia langsung membuka aplikasi pesan instan itu dan membuka menu status. Ya, dia membuka status-status itu dan membacanya satu per satu. Berapa banyak status WA yang muncul setiap hari di gawainya? Berapa banyak kata, baik dalam captions maupun gambar yang ia baca di sana? Entahlah.
Teman yang lain. Saya tahu, dia tekun sekali mengamati komentar-komentar warganet di setiap unggahan yang dikirimkan akun-akun berita, politik, maupun influencer di media-media sosial, khususnya Instagram. Ketika saya tanya mengapa? “Buat hiburan,” jawabnya yakin. Berapa banyak unggahan sekaligus komentar dapat ia baca dalam sehari?
***
Dari dua fenomena di atas, apa yang dapat kita simpulkan? Apakah kita malas membaca? Barang kali kita keliru besar. Kita tidak malas membaca. Kita hidup di zaman ketika orang-orang membaca jauh lebih banyak dibanding generasi-generasi sebelumnya. Kita bisa membaca ratusan atau bahkan ribuan status dan unggahan di media sosial setiap hari. Sesuatu yang barang kali setara dengan membaca beratus-ratus lembar buku. Apakah sepuluh atau dua puluh tahun lalu, kita mampu membaca dalam jumlah yang sedemikian banyak itu? Jawabannya tidak!
Dan lihatlah, kita baru saja membaca hingga 350 kata! Selamat, kita bukan bagian dari orang-orang yang malas membaca!
Sepuluh-dua puluh tahun yang lalu barang kali kita tak pernah membayangkan akan ada perangkat atau unit yang bisa menguarkan daya tarik sedemikian rupa kepada kita dalam soal membaca. Wajar saja, kita hidup di negara ini dengan sistem pendidikan memprioritaskan pada nilai dan citra, baik melalui pelbagai prestasi ketimbang pada ketekunan dan kecintaan terhadap kegiatan paling dasar dalam menuntut ilmu: membaca.
Lihatlah, gawai itu, perangkat ajaib itu telah meningkatkan kemampuan kita dalam membaca. Sebuah situasi yang memungkinkan diri kita menyerap banyak pengetahuan tak peduli batas ruang dan waktu. Orang-orang dulu mungkin perlu ‘usaha’ lebih keras dalam memanfaatkan waktu agar lebih berguna dengan membawa buku-buku. Usaha bertambah sulit lantaran buku tak bisa dijangkau secara ekonomi mayoritas masyarakat kita. Tetapi hari ini, balok kecil yang hanya berdimensi sekian inci itu bisa membantu kita untuk mengakses sekian ribu informasi dalam satu waktu hanya dengan modal internet. Bukankah internet juga perpustakaan? Bukankah mayoritas masyarakat kita memiliki gawai?
Namun, itu semua tidak seperti yang kita harapkan seperti dalam paragraf di atas. Maraknya penggunaan media sosial yang berimplikasi pada minat baca yang tinggi ternyata tidak menjanjikan seperti yang kita bayangkan. Kita justru dihadapkan pada paradoks baru. Media sosial membuat segala perkara menjadi runyam dan setiap diri bisa berubah menjadi kurang ajar.
Ini bukan paranoia semata. Ini terjadi di hadapan kita setiap hari. Kebebasan berpendapat di media sosial yang tidak diimbangi dengan nalar kritis membuat fungsinya justru menjadi bumerang. Kita mengira adanya Facebook sepuluh tahun yang lalu bakal menjadi ‘hadiah reformasi’ setelah di tahun-tahun ‘Pembangunan’, kita mesti berdarah-darah dalam menyampaikan aspirasi, kejenuhan, dan keputusasaan dengan kemudahan akses dalam berinteraksi dengan publik figur atau pejabat pemerintahan. Nyatanya, hari ini, dalam kancah politik khususnya, media sosial menjadi alat propaganda politik dan pemecah belah paling ampuh dengan wacana-wacana manipulatif dalam bentuk hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian demi kepentingan politik tertentu.
Pada situasi manusia mabuk digital saat ini, kita wajar saja melihat praktik persekusi terjadi setiap hari bahkan setiap detik dapat kita saksikan praktik antikemanusiaan itu. Brutalisme dan kekerasan verbal terjadi di mana-mana. Terekam jejaknya di kolom komentar dan kita berada di situasi di mana ketidakberadaban dianggap biasa saja. Kekeliruan dianggap hal lumrah dilakukan sebagaimana diistilahkan oleh Cak Nun sebagai ‘imunitas kultural’. Kita telanjur sering menghadapi kekeliruan dan menganggap semua kekeliruan itu adalah wajar. Kita kian kebal menghadapi itu sehingga kian lama semua bakal kita anggap sebagai kebenaran.
Lantas, apa sih juntrungan tulisan saya ini?
Saya hanya ingin menyampaikan betapa diri kita sebenarnya bukanlah pemalas dalam soal membaca. Pertanyaannya: mengapa praktik anti-intelektual justru semakin sering terjadi ketika praktik membaca yang notabene berafiliasi pada nalar intelektual merebak?
Penyebabnya adalah objek material yang kita baca bukanlah ilmu pengetahuan. Menu sehari-hari kita baca bukanlah sastra yang menghibur sekaligus bermanfaat, tetapi informasi sepotong-potong diujarkan oleh personal yang tidak absah keilmuannya. ‘Makanan yang kita santap’ bukanlah karya jurnalistik yang terverifikasi sesuai kaidah pengolahan informasi dan penyampaian berita yang baik, tetapi opini serampangan akun media sosial yang barang kali tak membekali diri dengan kemampuan dasar dan etika dalam menyerap serta memperlakukan suatu informasi.
Kita tidak membaca buku-buku, kita hanya membaca pikiran-perasaan pribadi yang memiliki egoisitas dan subjektifitasnya masing-masing. Kita menolak pemikiran komprehensif, misalnya dari tokoh-tokoh nasional mutakhir semacam Mahfudh MD seorang pakar hukum tata negara, hanya karena preferensi politiknya. Atau menafikan nasihat ulama yang hampir dalam benak kita ‘tidak seagama’ lantaran tidak memiliki pilihan sama dalam memilih pemimpin.
Kita terpenjara oleh media sosial. Kita berpikir bahwa setiap hari kita menambah pengetahuan ke dalam tempurung kepala ini. Kita tertipu oleh kemolekan dan kekenesan media sosial. Kita menganggap diri telah menggenggam ‘dunia’, tetapi justru diri kitalah yang terperdaya.
Ingatlah. Kita bukan orang yang malas membaca. Singkirkan gawai ajaib itu dan ambilah buku-buku. Perdamaian, keadaban, dan kemajuan menunggu untuk kita jemput!
Tulisan ini Kurang membahas mengenai ontologi membaca; atau lebih jauh lagi lIterasi. Membaca serta merta dikaitkan langsung dengan ‘aktifitas intelektual’. Saya kira ini menjadi faktor ke-kuranglengkap-an tulisan ini.
Saya kira penulis ini keliru dalam mengatakan bahwa ia tidak skeptis. Padahal sikap tulisannya jelas merupakan sikap skeptis, di mana penulis ‘mencoba meragukan’ data yang telah mapan.
Dan… bilamana penulis mencoba meragukan, menganggap adanya sikap ‘anti-intelektual’ mengapa penulis tidak mencoba menyajikan data saja ikhwal penggunaan media sosial yang penulis katakan bahwa mereka sedang membaca? 🙂 Misalnya saja menyajikan fenomena ikhwal hasil resepsi pengguna medsos dalam bentuk reproduksi wacana.