Di jagat wacana perkembangan ilmu terutama dunia keilmuan eksakta seperti halnya: matematika, fisika, biologi, kimia, kedokteran atau bahkan astronomi, daftar ilmuwan perempuan yang dijadikan rujukan sangatlah sedikit. Ini menjadikan persoalan tersendiri di tengah hingar-bingar progresivitas ilmu pengetahauan dalam waktu ke waktu yang semakin kompleks. Hal tidak kalah pentingnya adalah dengan memulai pertanyaan, bagaimana hal tersebut bisa terjadi?

Dalam karyanya berjudul Seratus Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia (Pustaka Jaya, 1982) Michael Hart menyusun siapa saja orang yang memiliki andil dalam peradaban di dunia. sosok paling teratas yang ia sebut adalah Nabi Muhammad SAW. Buku yang diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi itu kemudian juga menyita perhatian dan pertanyaan besar tentang sosok perempuan yang ada di sana. Sebab dari seratus daftar tokoh yang ada, hanya dua perempuan saja masuk dalam daftar.

Dua sosok itu masing-masing adalah Ratu Isabella I (1451–1504) dan Ratu Elizabeth I (1533–1603). Ratu Isabella I merupakan seorang penguasa yang memiliki kemampuan dan semangat besar—membuat serentetan keputusan yang kemudian membawa pengaruh besar untuk Spanyol dan Amerika Latin selama berabad-abad. Sementara Ratu Elizabeth I merupakan seorang raja paling terkemuka di Inggris yang selama empat puluh lima tahun pemerintahannya—membuat kemakmuran ekonomi, berkembangnya kesusastraan, hingga menjadikan Inggris disegani akan kekuatan armada lautnya.

Kendati demikian, banyak fakta maupun data yang berasal dari penelitian—masih menunjukkan bias gender dalam posisi ilmuwan perempuan di dunia. Seperti halnya pernah dikemukakan oleh dua orang ilmuwan terkemuka bernama Dr Susan Wilbraham, dosen senior di University of Cumbria serta Elizabeth Caldwell, dosen di University of Huddersfield. Keduanya melakukan penelitian pada buku-buku sains yang dikonsumsi oleh anak-anak di Inggris pada 2018 silam.

Hasilnya cukup mengagetkan. Studi itu menghasilkan kesimpulan yang salah satunya berupa: dalam buku sains anak-anak mengungkapkan bahwa perempuan secara signifikan kurang terwakili. Hipotesis lain yang didapatkan adalah bahwa dari pemeriksaan foto dan ilustrasi pada buku sains anak-anak yang mereka lakukan—dalam dunia fisika khususnya, gambar sering kali gagal mengomunikasikan kemampuan teknis atau pengetahuan perempuan.

Parahnya, ketika kemudian ditarik pada kemampuan bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM), kenyataan yang ada—sains sebatas pada subjek untuk laki-laki, sama sekali tidak memberikan penghargaan bagi perempuan. Mafhum, stereotip laki-laki dalam dunia sains kemudian sangatlah kuat. Padahal yang sedemikian rupa, implikasi maupun efek yang ada sangatlah kompleks dan berkepanjangan. Hal ini berkaitan mengenai role model, profesi, maupun faktor lain dalam habitus kehidupan yang ada.

Hiskia Achmad melalui bukunya berjudul Ilmuwan Harus Jujur (Nuansa Cendikia, 2016) menuliskan daftar beberapa ilmuwan ternama yang tidak bisa lepas dari sosok perempuan di antaranya adalah Marie Anne Pierette Paulze merupakan istri dari Antoine-Laurent Lavoisier (1743–1794), selain sering mendampingi saat Lavoisier eksperimen di laboratorium juga membuat sebelas ilustrasi untuk buku suaminya yang berjudul Traite de Chemie (1789).

Di luar itu ada Anna Bertha Ludwig, sosok yang sangat begitu mendukung dan membantu dalam kesuksesan dari penemu sinar-X, Wilhelm Conrad Rӧntgen (1845–1925). Istri dari Henri Moissan (1852–1907) yang mendorong suaminya untuk tekun dalam melakukan penelitian, bahkan menjadikannya sebagai ibu rumah tangga pertama di dunia yang menggunakan peralatan masak terbuat dari alumunium. Sebagian contoh tersebut hanyalah sedikit, tentu saja ketika menilik dari kesejarahan masih banyak lagi peran perempuan dalam dunia sains.

Kesetaraan Gender

Konsep terkait mengenai kesetaraan gender tentu saja merupakan hal paling intim dalam hal ini. Tidak lain adalah bagaimana perempuan mempunyai keberanian dalam peran di dunia sains. Perempuan mendapatkan perlakuan sama dan adil dalam masyarakat di segi dunia sains. Kehadiran perempuan dalam sains memiliki harapan besar berupa mendemonstrasikan bahwa seluruh bidang yang ada di dalamnya dapat dicapai oleh perempuan. Hal ini mengingat pada persentase jumlah perempuan yang ada. Harapan lain adalah mengurangi stereotip yang ada dan berkembang dalam sains itu sendiri.

Dalam upaya memberikan penghargaan pada ilmuwan, kita ketahui bersama bahwa setiap tahun sejak tahun 1901 dihelat pemberian penghargan Nobel di banyak bidang keilmuan. Tak terkecuali adalah dunia sains. Pada 2018 ada dua sosok perempuan yang mendapatkan penghargaan tersebut di bidang sains dasar atas jasa maupun perjuangan yang dilakukan untuk kehidupan dunia. Masing-masing adalah Donna Strickland (59) dari Universitas Waterloo Kanada di bidang fisika serta Frances H Arnold (62) dari Institut Teknologi California di bidang kimia.

Momentum tersebut menjadi peningkatan persentase keberadaan ilmuwan perempuan dalam memberikan kontribusi pengetahuan bagi perkembangan ilmu. Sebab tidak bisa dimungkiri, pada perhelatan penganugerahan hadiah Nobel tahun sebelumnya, pada bidang sains dari tiga kategori yang ada, tidak satu pun perempuan mendapatkannya. Kendati demikian, masih banyak tantangan dan pekerjaan besar ihwal keberadaan perempuan dalam dunia sains.

Sementara itu, tahun 2019 ada momentum yang menarik perhatian pada wacana perkembangan di dunia ilmu pengetahuan-sains. Hal tersebut terjadi tatkala seoranag ilmuwan komputer, Dr Katie Bouman, pada 12 April 2019 mengumumkan foto pertama tentang lubang hitam (black hole). Perempuan berusia 29 tahun tersebut kemudian mendapatkan pujian dari dunia atas kerja kerasnya dalam mengembangkan algoritma kemudian dapat mengeksplorasi ruang angkasa untuk kemudian bisa melakukan pemotretan lubang hitam. Usahanya dimulai sejak tiga tahun yang lalu saat ia masih menjadi mahasiswa pascasarjana di Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Ke depan, kehadiran perempuan dalam sektor sains sangatlah dinanti. Menilik rilis data UNESCO pada 2018 menunjukkan bahwa dari keseluruhan peneliti di dunia keterlibatan perempuan berada pada angka 29,8%. Upaya untuk terus mendorong dalam kesetaraan gender harus dilakukan oleh pelbagai pihak, baik dari kalangan lembaga formal maupun nonformal dalam setiap negara. Selain itu, upaya lain yang sering kali menjadikan stereotip dalam wacana keterlibatan perempuan di dunia sains juga perlu diperhatikan. Seperti halnya isu ras, umur, dan warna kulit—sebagaimana yang sering ditemukan dalam banyak acara perhelatan penghargaan di bidang sains.[]