Konon, puisi adalah mahkota bahasa. Maksudnya, cara pemanfaatan bahasa yang setinggi-tingginya dicapai dalam puisi. Rasanya saya lebih suka mengatakan dengan lebih lugas bahwa puisi adalah hasil yang dicapai jika seseorang mampu bermain-main dengan bahasa.

(Sapardi Djoko Damono, Bilang Begini, Maksudnya Begitu, 2014)

Pada 1968, terbit buku tipis berjudul dukaMu abadi, berisi puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono. Buku itu diulas panjang oleh Goenawan Mohamad (1968) dengan pujian dan penetapan bahwa dukaMu abadi pantas disebut “njanji sunji kedua”, setelah keagungan puisi-puisi gubahan Amir Hamzah masa 1930-an. Sapardi Djoko Damono menghampiri para pembaca dengan “duka”. Di situ, terasa kelembutan dan ketenangan. Puisi-puisi tanpa teriak meski Indonesia sedang guncang akibat malapetaka 1965. Pujangga itu memilih mencantumkan “duka”, sebelum ia terus memberi lirik-lirik berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia.

BACA JUGA:
Terobsesi Sapardi (Edisi Khusus)

Bulan lalu, orang-orang berduka. Minggu, 19 Juli 2020, mengartikan duka oleh kepergian Sapardi Djoko Damono. Kutipan puisi atau penghadiran puisi utuh di media sosial menandakan orang-orang berduka. Mereka menghormati dan memiliki Sapardi Djoko Damono. Duka pun milik mereka. Judul dari masa lalu terucap lagi: dukaMu abadi. Babak setelah “duka”, Sapardi Djoko Damono berani dalam kelucuan. Babak “lucumu (mungkin) abadi” tak teringat lagi oleh publik. Lucu mungkin “terlarang” untuk mengenang sosok kalem dengan tubuh kurus dan suka mesem. Orang-orang berduka, tapi kita sengaja memilih kelucuan saja sebagai penghormatan agar pengenalan terasa lengkap.

Pada masa 1970-an, Yudhistira ANM Massardi membuat onar dalam perpuisian Indonesia. Ia menggubah puisi-puisi lucu, mengejek, dan sembarangan. Ulah sembrono turut mengubah arah perpuisian meski sementara. Di majalah Astaga, nomor 3, 1976, Yudhistira ANM Massardi menggubah puisi tiruan, mencipta kelucuan bersumber dari puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono. Puisi itu berjudul “Lukamu Abadi Mr Jack Diamond”. Astaga adalah majalah lucu atau humor dengan penggerak Arwah Setiawan. Puisi itu wajib lucu.

Yudhistira ANM Massardi menulis: Hai, jangan kau patahkan bunga itu, bajinguk!/ Tapi si mister yang satu ini memang minta dijewer/ Dipatahkannya juga kuntum bunga itu/ dan syukur sekali, tangannya kena duri, berdarah, banyak/ sekali/ dan matahari memulasnya warna-warni sambil diam-diam/  mengeringkan darah dari lukanya// Sesampai di rumah, matahari itu mengeluarkan darah yang/ tadi dihisapnya/ ada tiga botol warna-warni/ lalu ia pergi ke seorang pelukis dan menjualnya dengan harga murah. Puisi terasa lucu, tapi tak terlalu.

Kita pun ingat bahwa dukaMu abadi terbit dari perjanjian saat nongkrong di kuburan antara Sapardi Djoko Damono (pujangga) dan Jeihan (pelukis). Dulu, mereka menikmati masa remaja di Solo. Berdua memberi janji saling membantu menempuhi jalan seni. Jeihan moncer duluan sebagai pelukis bertanggung jawab menerbitkan buku puisi Sapardi Djoko Damono. Di alam sana, mereka bertemu lagi setelah memberi persembahan terwariskan bagi Indonesia. Pada suatu masa, Sapardi Djoko Damono melukis dan Jeihan pun menggubah puisi.

Dulu, Sapardi Djoko Damono menulis puisi-puisi dimuat di majalah Konfrontasi, Mimbar Indonesia, Basis, Horison, dan lain-lain. Puisi-puisi serius, “mustahil” terbaca lucu bagi orang-orang sudah menekuni puisi-puisi dipublikasikan sejak masa 1950-an. Sapardi Djoko Damono telanjur sulit dituduh lucu oleh para pengagum dan para mahasiswa di pelbagai kota yang pernah mengikuti seri-seri kuliah. Mereka mungkin mengingat Sapardi Djoko Damono tertawa atau mesem. Lelaki kelahiran Solo, 20 Maret 1940, ingin lucu meski jarang dimunculkan dalam puisi-puisi yang sudah tersiar di majalah-majalah dan terbit menjadi buku-buku laris. Kelucuan teringat mengarah kepada Jeihan. Pada gubahan puisi-puisi, Jeihan memiliki selera humor. Kita tentu menduga dua orang itu sejak remaja telah bertukar lucu dalam biografi di jagat seni.

Sapardi Djoko Damono, pujangga dan pengajar sastra. Ia memiliki pengetahuan sastra Nusantara dan dunia diajarkan kepada para mahasiswa dan pembaca. Di majalah Astaga, nomor 11, 1976, ia mengajak pembaca tertawa dengan seri “peribahasa salah eja”. Kita mengutip untuk mengenang masa kelucuan. Sapardi Djoko Damono menulis peribahasa sengaja salah eja: “Air ketiak tanda tak dalam” berarti “soalnya bukan dalam atau tak dalam, kalau nyatanya bau kecut mau apa!” Peribahasa lucu dan tragis: “Sedia dayung sebelum hujan”. Sapardi Djoko Damono prihatin: “Hanya berlaku di daerah banjir seperti Jakarta”. Ada lagi peribahasa salah eja, tapi unik: “Orang haus diberi air, orang lapar diberi dasi”, diartikan “supaya bisa ikut pesta dan makan gratis.” Peribahasa-peribaha itu diberi gambar bertambah lucu oleh Ade. Para penggemar Sapardi Djoko Damono mungkin tak mengetahui masa 1970-an, pujangga itu berusaha nakal dan lucu.

Pada 1974, para pengarang mengadakan “Pengadilan Puisi” di Bandung. Sapardi Djoko Damono tak bisa mengikuti acara dengan alasan kesehatan. Kegagalan hadir dalam acara ditebus penulisan esai memuat penjelasan: “Lebih-lebih lagi tampaknya para penyair adalah jenis manusia yang gemar bertengkar. Saya menganggap Pengadilan Puisi di Bandung itu suatu cara bertengkar yang unik, meskipun bisa juga dianggap sebagai puncak perkembangan sastra mulut. Tetapi, mengapa mesti dalam bentuk dagelan?” Dampak dari gugatan atas peran majalah dan penerbit mapan dalam perpuisian mengena pula ke Sapardi Djoko Damono.

Di majalah Astaga, nomor 1, 1976, Sapardi Djoko Damono memberi sajak-sajak rusak. Ia tak “murni” menggubah puisi. Pujangga kalem itu menggunakan teks gubahan Odgen Nash dan Lewis Caroll untuk membuat dua saja rusak berjudul “Balada Airin dalam Hutan: dan “Balada Yulia yang Setia”. Dua puisi tak pernah ditampilkan lagi dalam buku-buku Sapardi Djoko Damono. Dua puisi nakal dan iseng menanggapi “Pengadilan Puisi” di Bandung, 1974. Kita mengutip sebait dari “Balada Airin dalam Hutan” untuk mengetahui kelucuan: Airin seorang cewek yang ha-ha/ Di hutan ketemu serigala yang sudah seminggu puasa:/ Binatang itu kehamnya sih beken/ Pamer giginya yang tak pernah kesamper pepsoden./ “Hello, Airin darling,” katanya sinis./ “Sekarang tiba saatnya kau kumakan habis.”/ Airin tak gentar/ Airin tak ngacir/ Dengan tenang diambilnya pisau dan garpu/ Lalu disantapnya serigala yang terhidang itu. Kita bisa menganggap itu lucu dan sadis.

Sapardi Djoko Damono pamitan dari dunia dan kita. Ia mewariskan buku-buku belum semua memuat tulisan-tulisan pernah disajikan di pelbagai media dan makalah-makalah untuk seminar. Kita ingin memiliki pengenalan dan ingatan utuh mengenai Sapardi Djoko Damono. Sejenak, kita mengingat kelucuan meski itu bukan keutamaan dalam biografi bersastra Sapardi Djoko Damono sejak masa 1950-an.

Ia gagal dalam kelucuan, tapi sempat memberi pendapat atas kemeriahan puisi-puisi mbeling masa 1970-an. Sapardi Djoko Damono (1978) menjelaskan: “Kelakar yang pernah menjadi unsur penting dalam sastra tradisional kita, dan yang kemudian tampak jelas jejaknya dalam karya para penyair penting kita, tampaknya akan menjadi bagian penting dalam proses kreatif orang-orang muda itu.” Ikhtiar menjadi lucu dibuktikan oleh Sapardi Djoko Damono tanpa pengakuan resmi dari para penggemar. Tahun demi tahun, orang-orang tetap saja memberi cap Sapardi Djoko Damono adalah penggubah puisi-puisi romantis. Ingatlah, ia dulu pernah lucu. Begitu.