Oleh semesta, kita pernah ditakdirkan menjadi dua keping logam yang dimasukkan dalam lubang celengan yang sama. Celengan takdir. Namun, oleh waktu, entah dari mana mulanya, celengan yang berisi campuran kepingan cinta, rindu, harapan, dan cita-cita itu kini telah hancur berkeping-keping. Menyisakan pecahan-pecahan berserak berhamburan yang sukar disatukan.
Kita pernah bertengkar seperti apa sebenarnya bentuk celengan takdir yang kita punya. Kamu bilang bulat memanjang, sedikit montok di dadanya. Mirip bebek. Tidak, kamu bilang dadanya lebih kempis, kita jarang mengisinya lagi setelah sesuatu telah terjadi di rumah ini. Ekornya jadi sedikit terangkat karena menahan lapar. Ia mirip angsa yang kurus. Lehernya dua kali lebih panjang dari badannya. Dan tentang bentuk celengan itu, kita pernah bertengkar karenanya.
“Lehernya panjang. Kakinya juga besar. Itu pasti angsa.”
“Lebih tepatnya bebek. Celengan itu tidak terlalu besar. Angsa bertubuh besar.”
“Kamu ngeyel!”
“Kamu tak pernah mau mengalah!”
Dua hari setelah pertengkaran itu dan kedua belah pihak merasa benar, suamimu memutuskan pergi tanpa pesan apa-apa yang seharusnya kamu terima. Padahal, ia seharusnya berpamitan dan mencium kening sebelum pergi seperti rutinitas dan gambaran pernikahan bahagia yang kamu idam-idamkan dahulu.
Dulu, lelakimu itu hampir-hampir pernah meninggalkanmu ketika selama tujuh tahun pernikahan, kamu belum menemukan tanda-tanda hadiah dari Tuhan yang tertanam di rahimmu. Sejujurnya kamu sudah berusaha sekuat tenaga. Takdir yang lebih kuat menjawabnya. Saat kalian dimasukkan dalam ruang celengan takdir yang sama, seharusnya kalian bisa menjalani hidup dalam kebahagiaan jika saling terbuka dan menghargai sesama. Saling menerima segala kekurangan dan saling melengkapi dengan kelebihan masing-masing yang kalian punya. Kamu malah menemukan deret huruf cinta dari perempuan lain dalam layar ponsel suamimu. Entah disengaja atau lupa menghapusnya, pesan itu membuat sudut matamu sedikit memerah. Seolah tak ada perasaan bersalah dalam diri suamimu. Membalas marahmu dengan sebuah ucapan jika ia ingin sekali punya anak. Dan mengikhlaskannya untuk menikah lagi adalah pilihan menyakitkan.
Setelah paham kemauan suamimu itu, kamu mengadu pada ibumu. Ada pesan unik dan nyeleneh ketika ibumu bilang jika ada satu benda yang bisa membuatmu cepat hamil. Barangkali memang semesta belum mengizinkanmu menimang dan merawat bayi. Namun, sebagai wanita dan seorang manusia, seharusnya kalian tidak perrnah patah semangat, kamu buru-buru ingin melaksanakan dua nasihat itu.
“Air hujan bisa menumbuhkan biji-bijan dari dalam tanah. Tetes air hujan telah ditakdirkan Tuhan sebagai penyubur semesta. Maka, kamu bisa melakukan hujan-hujanan bersama suamimu ketika air dari langit itu tercurah dari angkasa.”
“Aku tak yakin apakah suamiku mau melakukannya. Ini mirip takhayul.”
“Ini bukan lelucon. Kamu lahir juga karena dulu ibu melakukan nasihat ini, pesan dari nenekmu. Jika yang pertama belum berhasil. Seminggu lagi ibu akan membawakanmu sepotong daging yang akan membuatmu cepat hamil. Tentunya harus dengan kerja sama suamimu juga. Kamu paham maksudku ‘kan?”
Atas rayuanmu, seminggu setelah kalian hujan-hujanan dan memakan sepotong daging pemberian ibumu, kamu benar-benar merasakan mual dalam perut. Namun, rasa mual kali ini benar-benar berbeda. Kamu bahkan belum pernah merasakannya. Hingga rasa penasaranmu muncul, ada satu pertanyaan pada ibumu, daging apa yang pernah kamu masukkan lewat lubang mulutmu itu?
“Kucing selalu punya anak banyak. Seminggu kawin, dua bulan hamil. Aku hanya mengambil ari-arinya saja.”
Kamu sangat kaget. Wajahnmu mengisut dengan raut aneh. Di rumah ibumu, kamu gegas berlari ke kamar mandi ketika jawaban itu mampu membuatmu lebih bertambah mual dan benar-benar ingin muntah. Di depan wastafel, bunyi hoek-hoek nyaring terdengar hingga ke sudut ruang tamu. Walau sejujurnya, ada rona bahagia yang tergambar di sudut bibirmu dan berusaha kamu simpan dalam-dalam. Bayangan suamimu yang akan meninggalkanmu seolah akan menggagalkan rencananya dan ia akan sepenuh hati mencintaimu lagi.
***
Kamu memandang penuh benci boneka di genggaman. Kamu banting ia ke kiri, banting ke kanan. Kamu cekik leher boneka itu kuat-kuat dengan kedua tangan, lalu dengan mata menyala, sebuah umpatan bernada panas menyembur ke arah wajah boneka yang tak tahu dosa. Kamu meludahi wajah boneka itu tanpa balas.
Kamu masih saja menggeleng-geleng. Sesekali menyanyikan lagu potong bebek angsa yang pernah kamu ajarkan kepada boneka di depanmu. Namun, boneka di depannya seakan tak pernah mau menyahut segala ucapanmu. Diam. Kaku. Bisu. Membuatmu makin marah dan ganas menyiksa benda sepanjang empat puluh delapan senti itu. Dengan rambut halus nan lembut dan kulit kenyal menggemaskan.
“Kau tak bisa bicara hah! Bukankah kemarin ibu sudah ajarkan kau lagu potong bebek angsa? Bernyanyilah. Bicaralah. Agar bapakmu tak marah padamu lalu membentakku. Menganggapku tak becus merawatmu. Ayo, bicararalah. Menyanyilah!”
***
Polisi berdatangan tepat saat ibumu datang bersama rombongan tim dari forensik. Ada bau menyengat yang menguar dari pintu rumahmu dan membuat geger warga sekitar. Bapak-bapak yang kamu anggap pengganggu itu sejatinya ingin kamu usir. Namun, ibumu lembut memijit pundakmu ketika bau menyengat terus saja menusuk-nusuk hidung.
“Sudah berapa lama anak ibu tidak memberi kabar?”
“Sekitar seminggu. Aku dan suamiku kebetulan tinggal beda kecamatan. Terkadang aku menginap di rumah suami jika ia belum selesai menyadapmayang kelapa untuk pembuatan gula. Agak jauh juga kalau setiap hari harus menengok cucuku di sini. Setelah ia melahirkan, anakku dan suaminya bilang ingin berusaha mandiri mengurus bayi mereka sendiri. Aku hanya datang ketika hari kelahiran saja dan semalam menginap. Setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi.”
Polisi itu mencatat di buku kecil sambil manggut-manggut. Ia melihat sekeliling. Gegas masuk pintu kamar utama. Melihat tembok di dalamnya penuh bercak darah yang mengering. Bantal dan seprai berantakan saling tumpang tindih. Seolah saling berpelukan dalam ketakutan. Ia kemudian keluar lagi lalu buru-buru mencari keberadaan tetangga sekitar yang barangkali bisa dijadikan saksi.
Dari pengakuan beberapa warga, mereka pernah mendengar di malam kedua setelah kelahiran bayi itu, ada suara teriakan perempuan dari rumah ini. Warga sebenarnya ingin membantu dan melihat apa yang terjadi. Namun, karena memang sudah menganggap jika dua penghuni di rumah ini acapkali bertengkar, warga akhirnya menganggap biasa saja. Wajar dalam rumah tangga jika sering beda pendapat dan terjadi cek-cok. Nanti kalau masalahnya selesai juga akur lagi. Nyatanya, rasa tidak peduli itu malah membuat warga kaget bukan kepalang ketika menyadari polisi berdatangan di pagi hari demi melihat sesuatu yang aneh telah terjadi di rumah ini. Rasa penasaran itu bertambah ketika warga terus mencium aroma busuk dari dalam.
“Apakah ibu tahu, kapan terakhir kali bertemu menantu ibu? Maksudku entah di rumah ini, di rumahnya, atau di rumah ibu?”
“Aku tak begitu paham dan jelas batas waktunya. Namun, ketika semalam aku menginap di rumah ini sebenarnya aku melihat raut wajah yang aneh. Bukankah kelahiran seorang bayi akan membuat bahagia kedua orangtuanya. Aku merasakan hal berbeda. Sungguh.”
Polisi di depannya mengangguk-angguk paham. Ia gegas berdiri dari sofa ruang tamu. Tim forensik sedari tadi masih terus mengecek mayat bayi yang tergeletak di samping ranjang setelah mendengar komando. Di sebelahnya, seorang perempuan melihat aneh orang-orang yang terus saja memandangnya. Dalam tatap kosong nan hampa.
Garis polisi masih melingkar di luar halaman rumah. Sejujurnya, ada rasa perih di hati seorang ibu renta yang terduduk lemas di sofa ruang tamu. Suaminya terus mengelus-ngelus pundak dan merangkulnya. Ia ingin menangis dan mengabarkan pada dunia apa yang sebenarnya terjadi. Seolah tak terima jika bayi mungil yang selalu diimpikan anak dan menantunya, begitu cepat diambil lagi oleh pemilik semesta.
“Kami sudah cek semuanya. Ini pembunuhan. Semoga ibu bisa menerimanya. Ada sesuatu yang membuat pelaku melakukan hal nekat ini. Namun, pelakunya bertindak di luar batas kesadaran. Bukankah memang tak akan ada asap jika kita tak sulut api? Bagaimana nanti dan seperti apa penanganannya, kami akan berkonsultasi dengan psikolog dari kepolisian. Ada bukti percakapan di ponselnya. Kami akan berusaha menangkap awal penyebab semua ini. Ibu yang sabar ya.”
Di depan pintu, ketika petugas berpakain cokelat itu membawa anaknya, ada sesuatu yang seolah lebih cepat memompa aliran darah menuju setiap sudut dan sendi tubuhnya, membuat degup jantungnya makin tak karuan. Rumah tangga bahagia yang begitu ia impikan untuk anak dan menantunya seolah lenyap di depan mata.
Dalam rasa kalut itu, anaknya yang berwajah lesu, raut masam, dan bibir kuyu, dalam langkah perlahan menuju mobil polisi, ia sempat mendengar dengung lirih lagu potong bebek angsa yang menggema ke angkasa. Keluar dari bibir anaknya seolah itu adalah nyanyian penghilang duka lara. Membawanya dalam bayangan bagaimana mungkin cucu pertamanya meninggal daam keadaan mengenaskan dengan leher tergores benda tajam. Sungguh, kakinya seolah tak mampu menahan beban tubuhnya. Segala berat yang dirasa hatinya membuat ia seolah ingin terus bertumpu pada pundak suaminya di depan pintu.
“Mohon ibu juga ikut kami sekarang sebagai saksi.”
Potong bebek angsa, angsa di kuali, mama minta dansa, dansa empat kali, sorong ke kanan, sorong ke kiri la la la ….
Kamu masih terus menyanyikan lagu itu sepanjang jalan menuju kantor kepolisian. Ada satu bayangan di kepalamu, satu wanita pengkhianat yang telah memikat suamimu. Satu wanita yang tega memecahkan celengan takdir yang seharusnya hanya berisi cinta kalian berdua. Celengan itu sekarang telah hancur berkeping-keping, berserak, menyisakan pecahan-pecahan kecil. Meninggalkan kepingan-kepingan cinta, rindu, harapan dan cita-cita yang berhamburan dan bila dilekatkan tetap saja menyisakan bekas retak di tiap sisinya. Celengan takdir milikmu sekarang benar-benar kosong. Hampa. Tanpa isi. Seperti ruang kosong dalam hatimu tanpa menyisakan apa-apa.
Hanya saja kamu tak ingin ceritakan ini kepada semua. Cukup kamu, suamimu, dan semesta yang mendengar. Kamu tahu suamimu selalu melakukan pembenaran dari apa yang telah ia lakukan. Padahal, boneka lucu itu sudah kamu berikan sebagai hadiah terindah, seperti keinginan suamimu. Sekarang, kamu benar-benar puas ketika seminggu yang lalu, kamu lempar dan kamu benturkan boneka hadiah untuk suamimu ke tembok kamar. Satu boneka yang wajah dan senyumnya, benar-benar mirip wajah dan senyum suamimu.
Image by istockphoto.com