Setahun yang lalu, tepatnya tanggal 1 Muharram 1441 H/31, Agustus 2019, saya dan beberapa kawan lainnya melakukan pendakian (muncak) ke Gunung Sumbing. Saya diajak oleh salah seorang teman bernama Ahnap yang kebetulan KKN di Dusun Clapar, Desa Kalijoso, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Pada waktu itu, saya sendiri sudah selesai melaksanakan KKN di salah satu daerah di Provinsi Gorontalo.

Teman saya ini belum pernah mendaki gunung. Adapun saya sudah dapat dikatakan sering, minimal sekali dalam 6 bulan. Oleh karena itu Ahnap mengajak saya mendaki gunung. Sebelumnya saya dan Ahnap sering melakukan diskusi. Pokoknya, bisa dikatakan kami sudah teman dekat.

BACA JUGA:
Menelisik Keindahan Merbabu dari Jalur Suwanting

Sebenarnya, saya sudah pernah mendaki Gunung Sumbing pada bulan Januari 2018 bersama kawan-kawan kuliah melalui jalur Kaliangkrik. Akan tetapi, pendakian itu gagal karena cuaca yang tak mendukung. Hujan badai menggagalkan misi kami untuk sampai ke puncak. Alhasil, kami hanya sampai di pos satu.

Saya tertarik menerima ajakan Ahnap ini karena “kegagalan” muncak pada tahun 2018 tersebut dan masih ingin mencoba lagi. Selain itu, mendaki Gunung Sumbing kali ini terasa berbeda karena kami juga diajak oleh pemuda dusun, tempat Ahnap KKN. Bisa dikatakan kami hanya ikut pemuda dusun yang rutin mendaki Gunung Sumbing pada tanggal 1 Muharram/1 Suro sebagai sebuah tradisi.

Tanggal 31 Agusutus 2019 saya berada di Dusun Clapar. Kami kemudian mengecek kembali perlengkapan yang akan dibawa, agar tidak ada yang tertinggal. Setelah selesai mengecek, kami yang berjumlah 14 orang langsung menaiki mobil pick-up Mitsubishi Colt T120ss yang sudah dipesan oleh pemuda dusun sebelumnya. Kira-kira 15-20 menit kemudian, kami sampai di titik awal pendakian. Oh ya, sebelumnya kami minta izin dulu kepada Tetua Desa Sang “Juru Kunci” untuk mendaki lewat jalur akan kami tempuh. Jalur yang kami lalui ini bukanlah jalur resmi pendakian, artinya tidak dibuka untuk umum. Jalur ini hanya diperuntukkan kepada orang-orang desa untuk berkebun atau mendaki gunung.

Kami mulai mendaki pukul 14.00 WIB. Titik awal pendakian merupakan perkebunan warga berupa tanaman tembakau. Memang, di area sekeliling Gunung Sumbing kebanyakan ditanami tembakau oleh warga. Tanaman tembakau ini kami jumpai hingga sampai di pos satu. Setelah melewati pos satu kami lanjut pendakian hingga sampai di area camp pada pukul 19.00 WIB. Kami tidak terlalu banyak berhenti di jalan. Kalau pun berhenti hanya sebentar untuk minum atau memperbaki tali sepatu yang longgar. Selain itu, kami juga perlu mengenal tradisi orang desa ketika mendaki, mematuhi tatakrama, di samping mengikuti aturan “Pencinta Alam”.

Sesampai di area camp, kami langsung mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri dengan kokoh kami langsung persiapan makan malam dengan bekal yang dibawa dari bawah. Setelah selasai, kami langsung tidur karena angin di luar terlalu kencang. Tidak ada yang begadang, semua tertidur hingga bangun sebelum matahari terbit dari ufuk Timur.

Pagi itu, kami tidak sarapan. Kami hanya minum dan makan roti serta snack yang dibawa dari bawah. Selesai sarapan, kami langsung beres-beres untuk melanjutkan perjalanan ke puncak yang bisa ditempuh dalam waktu 2 jam. Sesampai di puncak, kami istirahat sebentar sambil menikmati buah kelapa tua serta meminum airnya. Sudah menjadi tradisi bagi orang desa ketika mendaki Gunung Sumbing, yaitu membawa buah kelapa dan gula jawa. Pokoknya, sangat enak rasanya apalagi dinikmati di puncak dengan cuaca yang cukup menyengat.

Setelah puas menikmati buah kelapa, kami menuruni Puncak Gunung Sumbing melalui “pintu masuk” menuju kawah gunung yang terletak tidak jauh dari petilasan Makam Ki Ageng Makukuhan. Sebelum berziarah ke petilasan, kami menyantap mie instan terlebih dahulu. Kami menyantap dengan cara berbeda. Dan ini adalah pengalaman pertama saya. Jadi begini, kami tidak membawa kompor portable ke atas. Lalu, bagaimana caranya agar kami dapat menikmati mie instan dengan air panas? Saya secara pribadi bingung karena terbiasa membawa kompor untuk memanaskan air. Jadi, untuk kali ini saya hanya mengikuti arahan dari pemuda dusun. Pertama-tama, mie instan dibuka bagian atasnya saja. Setelah itu, diisi dengan air kira-kira ¾ dari volume maksimal. Kemudian diikat menggunakan karet gelang, lalu dikasih tali raffia kira-kira 1-2 meter, seperti akan memancing.

Setelah siap, pastikan dulu wadah dari mie instan tidak bocor. Kalau sudah aman, tinggal dicelupkan saja ke dekat kawah yang ada air mendidihnya. Adapun kawah utama dari Gunung Sumbing ini tidak besar. Hanya ada asap muncul di antara bebatuan besar dengan aroma belerang yang menyengat. Tidak disarankan untuk mendekat ke kawah tersebut. Saya bertanya kepada salah satu pemuda dusun, “Apakah ini (mie instan) aman dikonsumsi?” Ia menjawab, “Aman, asalkan wadahnya tidak bocor dan ikatan karet gelangnya kencang”.

Setelah selesai menikmati mie instan, kami melanjutkan untuk berziarah ke petilasan Ki Ageng Makukuhan. Kami bersusun, duduk melingkari petilasan tersebut. Mas Trimo, salah satu pemuda dusun mengeluarkan parang dan membelah 2 buah kelapa dan menaruhnya di salah satu sisi petilasan. Tak lupa, ia juga meletakkan bunga-bunga yang biasa dibawa untuk ziarah makam. Kemudian kami membaca tahlil dan berdoa yang dipimpin oleh Ahnap. Menurut cerita yang berkembang, Ki Ageng Makukuhan merupakan sosok orang yang mengenalkan Islam di sekitar Gunung Sumbing. Ia mengenalkan Islam melalui bertani tembakau kepada masyakarat sekitar.

Setelah berziarah, kami membakar ketela yang dibawa dari bawah, hasil panen salah satu warga dusun. Kami membakarnya di tempat bekas pembakaran, yang kebetulan ada bekas-bekas ranting yang belum sempat terbakar. Setelah api hidup, ketela tersebut kami lempar ke dalam api. Ketela tersebut kami biarkan begitu saja sembari pergi ke Segara Wedi, tempat melempar kerikil yang kami bawa. Segara Wedi merupakan salah satu tempat di Gunung Sumbing berupa hamparan pasir putih yang cukup luas. Melempar kerikil tersebut sudah menjadi tradisi setiap orang desa yang mendaki Gunung Sumbing.

Setelah selesai melempar kerikil dan mengambil beberapa foto, kami balik lagi ke tempat pembakaran ketela. Ranting kayu telah menjadi abu. Kulit luar ketela sudah hitam gosong. Artinya, bagian dalam ketela sudah matang, sudah bisa dimakan. Kami pun menyantap ketela hangat tersebut dengan begitu nikmat. Bagian yang gosongnya kami buang. Begitu nikmat rasanya, apalagi ditambah dengan gula jawa.

Setelah semua selesai, kami langsung menuruni puncak menuju area camp. Sesampai di area camp, kami langsung beres-beres untuk persiapan turun. Sesampai di bawah, kami sudah dinanti oleh mobil pick up yang mengantar kemarin. Ah, itu benar-benar hari yang indah! Sebuah pengalaman pendakian yang tak akan pernah saya lupakan selaku orang asli Sumatera.