: In Memoriam Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940 – 19 Juli 2020)

Saya benci untuk mengakui bahwa saya cenderung terobsesi oleh Sapardi Djoko Damono. Saya sering mengutuk diri sejadi-jadinya karena terlalu jatuh hati pada setiap karyanya.

Obsesi yang saya pendam sendirian itu memang menyebalkan. Sebermula dari kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UPI Bandung, setiap mahasiswa senior mengenalkan puisi-puisinya. Di kelas, ketika perkuliahan Apresisi dan Kajian Puisi, dosen pengampu mengenalkan karyanya. Setiap hari saya membaca puisinya, setiap malam musikalisasi puisi Ari-Reda mendampingi menuju persemayaman.

Puisi-puisinya begitu lembut, mengalun, masuk ke dasar kejiwaan. Judul puisi menjadi takpenting. Namun setiap diksi yang mengerak dalam puisi-puisinya sulit untuk dihapus dalam benak pemikiran. Maka tiap ada Sapardi bertandang ke Bandung, saya berusaha untuk selalu datang. Hanya sekadar ingin mendengarkan ia baca puisi. Kendati ketika pertama kali ia membacakan, ia seperti membaca koran. Tidak ada gagahnya sama sekali. Begitu kontras ketika mengapresasi Rendra atau Sutardji di podium.

Namun di situlah saya kian tertarik. Setiap karya saya daras satu-satu dan secara arketif, sepertinya mengganggu setiap puisi yang saya ciptakan. Selalu saja saya takbisa lepas dari gaya Sapardi. Sapardian. Barangkali begitu dan saya sekuat tenaga hendak meronta keluar dari bayang-bayangnya. Takbisa. Bahkan saya seperti puisi Metamorfosis yang ditulis Sapardi. Tiap meronta. Jadi metamorfosis.

Maka selesai kuliah di UPI, saya melanjutkan ke Jurusan Ilmu Sastra di UI. Semata-mata ingin diajar langsung olehnya. Penyair sekaligus akademisi yang mapan. Lantas hasrat itu menggebu-gebu. Saya ingin jadi Sapardi yang sastrawan cum akademisi. Namun saya membencinya karena setiap saya bertemu dan belajar dengannya di kelas, saya takbisa memalingkan muka. Saya ingin seperti orang lain, berkonsultasi untuk menulis dan mengoreksi puisi yang saya tulis kepadanya. Takbisa. Saya selalu merasa takbisa lepas dari bayang-bayangnya. Ia pasti akan mengutuk karya saya habis-habisan dan saya takmau dia melakukannya. Begitulah benak saya berkata.

Sampai suatu ketika, saya menangis sejadi-jadinya di kosan asrama Makara UI. Saya obsesif. Kesal. Marah. Lalu saya menulis karya-karya kematian untuk Sapardi yang takpernah sekalipun dikatakan kepadanya, apalagi diperlihatkan. Saya bunuh Sapardi di dalam puisi “Sapardi dan Tiga Ekor Kucing” pada 2006 dan cerpen yang saya tulis di 2005 berjudul “Lelaki Tua, Iblis dan Perempuan Berparfum Orchid”.

Ketika karya itu saya tuliskan, sedikit demi sedikit saya berusaha keluar dari bayang-bayangnya. Saya takmau dan takberani bertemu dengannya. Hingga akhirnya pada tahun 2006 saya menyelesaikan tesis di UI dan betul-betul meninggalkan jejak Sapardi di kampus itu.

Namun, Sapardi terus mengepung. Setiap kegiatan literasi, pergi ke toko buku, karya-karyanya terus membuntuti dan saya takkuasa untuk tak membacanya.

Memang saya takbisa lagi melepaskan diri dari Sapardi, ketika kuliah S-3 di Unpad, saya bertemu lagi dengannya. Lebih intens dari biasanya karena ia sering takbisa datang ke Bandung. Akhirnya setiap perkuliahan dengannya, saya terpaksa mendatangi rumahnya di Ciputat.

Pagi-pagi sekali saya berada di halaman rumahnya. Dari luar sayup-sayup terdengar suara musik instrumental yang menemani kekesalah saya tiap minggu. Sapardi rupanya senang sekali mendengarkan lagu-lagu jazz. Sambil menjelaskan perihal sastra, tanpa teks dan referensi, ia bercerita bahwa sastra boleh begini, boleh begitu. Saya tak mendengar kata “takboleh”, Semua menjadi boleh, semua menjadi penting. Namun, bukan ilmu sastra yang saya simak. Tiap ke rumahnya saya cenderung membayangkan apa yang dia lakukan setiap harinya. Menulis, merayu, membaca, mungkin.

Ya, saya terobsesi dengannya. Hingga berita kematiannya dikabarkan.

Tanah Air, 2020.
FV