KURUNGBUKA.com – (31/05/2024) Pada suatu masa, kesusastraan di Indonesia ditentukan ilham. Kita tidak tahu pengguna pertama istilah ilham. Namun, pengakuan dan tulisan para pengarang dari masa lalu sering mengungkap ilham. Yang menggubah sastra berurusan ilham. Konon, ilham bisa datang tiba-tiba.

Orang harus lekas menangkapnya agar menjadi tulisan. Ilham yang terbiarkan atau lewat menjadi kerugian besar. Padahal, pengarang-pengarang berharap mendapat ilham, yang nantinya mendasari penulisan cerita-cerita yang terbaik.

Aoh K Hadimadja mengingatkan: “… Angkatan 45 mempunjai pendirian bahwa seni tidak dapat tertjipta tanpa ilham. Dalam pendapat mereka pula, ilham tidak dapat dipaksa-paksa, akan tetapi harus timbuh dengan sendirinja ibarat buah di dahan, jang djatuh karena ranumnja.”

Kita yang membacanya dalam abad XXI yang riuh teknologi, ilham yang diyakini itu “lucu”. Ilham yang mengesankan penulisan cerita atau puisi tidak sepenuhnya ditentukan “kerja keras” dan “riset”. Namun, Aoh K Hadimadja mengingatkan pihak-pihak yang tidak tergantung ilham, yang lelah dan di batas keputusasaan.

Kita sedang menyimak orang lama, yang memiliki pengalaman dan “ajaran-ajaran” yang silam. Aoh K Hadimadja membawa kita menuju masa 1940-an: “Chairil Anwar telah mengadjarkan, seniman itu tidak boleh duduk termangu menunggu ilham djatuh dari langit. Sebelum ilham menerangi kalbu, seniman harus memperkaja djiwanja dengan bahan-bahan jang digali dan ditjari bertahun-tahun…”

Di penulisan sastra, kita mengira ada heroisme dan keberuntungan. Ilham, yang diwariskan dari masa lalu mungkin sulit berlaku untuk masa sekarang yang terlalu manja teknologis.

(Aoh K Hadimadja, 1972, Seni Mengarang, Pustaka Jaya)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<