KURUNGBUKA.com – (30/05/2024) Ingatan masih menguat untuk orang-orang pernah masuk sekolah dan mendapat tugas dari guru: mengarang. Dulu, mengarang itu berkaitan dengan liburan atau peristiwa penting yang membuat guru-guru terlalu mudah memberi perintah. Murid-murid tidak perlu banyak pertanyaan atau keraguan.
Yang harus dilakukan adalah membuat karangan di buku tulis atau lembaran kertas. Tulisan diminta rapi agar guru dapat membacanya. Mengarang, ingatan bersama saat masih di sekolah. Namun, mengarang bisa berlanjut dalam bigrafi orang bila menyenanginya.
Pada 1972, terbit buku berjudul Seni Mengarang yang dibuat oleh Aoh K Hadimadja. Yang terbias mengikuti arus perkembangan sastra di Indonesia mudah mengenalinya tapi asing untuk para mahasiswa yang mengaku belajar di jurusan sastra Indonesia masa sekarang.
Aoh K Hadimadja memberi peringatan: “Begitu banjak pemuda jang ingin mendjadi pengarang, akan tetapi sedikit sadja jang mentjapai tjia-tjitanja.” Ia mungkin mendasarkan kondisi di Indonesia saat sastra mulai bertumbuh, yang memicu kaum muda ingin menjadi pengarang.
Sejak dulu, pengarang memiliki keistimewaan. Yang diungkapkan Aoh K Hadimadja: “Oleh karena pengarang itu djiwanja pentjari, jang terus-menerus mentjari djawab atas rupa-rupa pertanjaan, baik jang bersangkutan dengan djiwa manusia, maupun masjarakat dan ketuhanan, maka tak mungkin ia menangguhkan dahulu djawaban atas panggilan hatinja untuk mentjari kekajaan materi dahulu.”
Kita menganggap kalimat itu sulit berlaku untuk masa sekarang saat pengarang harus lekas menjawab masalah-masalah yang cepat bertumbuh dan beredar. Jawaban terpenting pasti nafkah meski pengarang tetap istimewa.
(Aoh K Hadimadja, 1972, Seni Mengarang, Pustaka Jaya)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<