Judul Buku                     : Berguru  Kepada Puisi
Penulis                            : Joko Pinurbo
Tahun                            : Desember 2019
Halaman                         : 192 Halaman
ISBN                              : 978-602-391-804-1
Penerbit                          : Diva Press

Joko Pinurbo boleh dibilang sebagai sastrawan serba bisa. Bila sebelumnya, ia baru saja menerbitkan novel puitiknya bertajuk Sri Menanti (2019), kini di akhir tahun, ia menerbitkan buku esainya bertajuk  Berguru Kepada Puisi (2019). Buku ini membuktikan Joko Pinurbo tak hanya pantas kita juluki penyair, cerpenis, dan novelis, tapi juga seorang esais. Joko Pinurbo memberikan pengakuan pada bukunya berjudul Berguru Pada Puisi (2019) dengan kalimat pendek : “Alih-alih bertindak sebagai ahli atau kritikus sastra yang hendak mengulik dan menilai—apa lagi melegitimasi—karya para penyair yang disodorkan kepada saya, saya memilih untuk menerima dan mengapresiasi dalam posisi saya sebagai seorang pembaca yang juga seorang pengarang puisi tanpa terlalu menghiraukan kualitas karya mereka.”  Memang Jokpin bukan seorang kritikus, ia memposisikan dirinya sebagai—pembaca yang belajar, memetik inspirasi, dan “mencuri ide” dari karya penulis lain—ia jauh bertendensi sebagai kritikus sastra.

Jokpin nampak sebagai pembaca puisi yang memahami peta dan sejarah kepenyairan di Indonesia. Ia membawa nama besar penyair dahulu seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, maupun Sapardi Djoko Damono. Jokpin selain seorang penyair, ia juga seorang pembaca puisi yang teliti. Ini terlihat saat ia menguliti, membandingkan, dan meresapi penyair-penyair yang buku puisinya ia baca. Pembacaan kepada puisi penyair yang ia kupas, membawanya kepada ingatan saat membaca puisi para penyair terdahulu. Kita memang tak menemukan satu teori, analisis yang tajam, atau nada menghakimi buku puisi yang ia baca.

Kita bisa melihat Jokpin seperti berjalan-jalan dari penyair satu ke penyair lain. Perjalanan itu bisa kita lihat saat ia menyusuri perjalanan bersama puisi dari buku puisi satu ke buku puisi lainnya. Sebut saja saat ia mengungkapkan pengalaman membaca sajak Mochtar Pabottingi. Jokpin melihat ada kematangan dan renungan yang dalam serta kematangan artistik Mochtar Pabottingi dalam puisi “Barebba’, Bulukumba, 1951”. Sungai itu menemani tidurku/Selalu/ Bertahun-tahun sepanjang malam/ dengan warta dan dongeng-dongeng/ yang terus melayang dalam temaram/ Dari negeri-negeri peri dan bidadari/ yang takkan terkunjungi/ Sungai akrab yang bertutur gemericik/ dalam diriku hingga kini.

Ini berbeda saat Jokpin membaca sajak-sajak Fadjroel Rachman dalam buku puisinya Sejarah Lari Tergesa (2004). Jokpin menemukan kesan yang lain saat membaca puisi-puisi Fadjroel. “Seusai membaca seluruh puisi, saya menemukan pena yang telah berlumuran darah: darah musuh maupun darah penyair.” Sajak-sajak Fadjroel juga menghimbau saya untuk lebih berempati terhadap “korban”. Pembaca diajak untuk merenungi, diajak bersimpati dan juga berempati terhadap sajak yang ditulis oleh Fadjroel.

Di esai lain, kita juga diajak untuk menemukan pengalaman perjumpaan dengan puisi Hanna Fransisca. Ada usaha objektifitas yang dihadirkan Jokpin saat mengantarkan buku puisi bertajuk Konde Penyair Han (2010). Jokpin di satu sisi mengagumi bagaimana Hanna Fransisca menggeluti tema kuliner di puisi-puisinya. Akan tetapi, Jokpin juga memberikan kritik atau peringatan kepada Hanna Fransisca. Kritik itu disampaikan dengan bahasa halus. Dalam perjalanan menyusuri buku puisi Hanna kadang saya mengucapkan “aduh” dalam hati. Ini terjadi ketika saya jumpai ketidaknyamanan teknis dalam sajaknya. Saya merasa, Hanna kadang kurang habis-habisan dalam perkara ini. Satu contoh kecil, dalam puisi “Kepada Adik” ada kalimat Di helai daun kangkung aku menulis lembar surat ini. Aduh, mengapa bukan Di helai daun kangkung aku menulis surat ini, saja?. Jokpin menilai Hanna kurang cermat dalam teknis penyajian puisinya.

Dalam memberi pengantar buku puisi yang ia terima, Jokpin tak hanya membahas puisi, tapi juga riwayat, biografi penyair, dan sikap para penyairnya. Ini dilakukan Jokpin sebab Jokpin masih percaya, bahwa puisi tidak lahir dari ruang hampa, ada tautan antara biografi penyair dengan puisi yang mereka tulis. Sebut saja saat ia memberikan pengantar buku puisi Rieke Diah Pitaloka. “Melalui ruang sunyi (yang entah bagaimana ia ciptakan) itulah Rieke mencoba menyuarakan kegelisahan-kegelisahan pribadinya yang boleh jadi merupakan kegelisahan-kegelisahan politiknya sebagai seorang “petugas negara”, dan salah satu kegelisahan utamanya berkisar di seputar derita nasib kaum perempuan.”

Dalam buku puisi Saras Dewi misalnya, Jokpin juga menautkan antara penyair dan puisinya. Ia pun menulis bahwa sajak-sajak Saras hendak mengingatkan kita kembali kepada hubungan cinta kasih antara manusia dan alam. Salah satu premis penting dalam permenungan Saras ialah bahwa kian hari manusia kian kehilangan kemampuan berkomunikasi dengan alam, kian berkurang pula kemampuan membaca dan menangkap bahasa alam (h.116). Biografi penyair yang coba dituangkan Jokpin lahir pula saat ia membahas puisi Ganjar Sudibyo atau dipanggil Ganz. “Kesan pertama yang segera timbul setelah membaca kumpulan sajak Ganz ialah bahwa Ganz pertama-tama adalah seorang pembaca yang tekun. Membaca sajak-sajak Ganz adalah membaca “biografi membaca” seorang penulis.”

Buku Berguru Kepada Puisi (2019) merupakan pembacaan sekaligus perjumpaan. Perjumpaan Jokpin dengan penyair-penyair yang ia ulas buku puisinya. Dalam perjumpaan itu, Jokpin juga menempatkan diri sebagai pembaca puisi sekaligus. Dari sanalah ia berguru, berguru untuk membaca puisi secara alami, dari kacamata penyair. Ada puisi dan sajak yang membuat ia terkesan, ada pula sajak dan puisi yang membuatnya berkata “aduh” dan sedikit kecewa. Membaca buku ini, kita diajak untuk tak sekadar mengurusi bagus atau tidaknya puisi. Jokpin lebih jauh mengajak kita untuk menunaikan ibadah (melalui) puisi.