Judul Buku : Memandang Perempuan Jawa: Sehimpun Esai Sastra
Penulis : Harjito
Penerbit : Beruang Cipta Literasi
Cetakan : Pertama, (Maret, 2020)
Tebal : 200 halaman
ISBN : 978-623-92691-6-6
Kehadiran sebuah karya sastra tidak bisa dilepaskan dari dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah faktor yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri, sementara unsur intrinsik meliputi tema, tokoh, latar, alur, sudut pandang, amanat, dan penokohan. Sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang membangun karya sastra dari luar. Unsur luar yang turut memengaruhi terciptanya karya sastra. Unsur di luar karya sastra itu seperti politik, sosial, ekonomi, tradisi, dan lain-lain.
Kemunculan tokoh dalam karya sastra tidak dapat dielakkan karena tanpa adanya tokoh alur cerita sulit untuk berjalan. Dengan kata lain tokoh adalah penggerak cerita. Tokoh dalam karya sastra dapat berupa manusia, hewan, benda atau yang lainnya. Hal yang saya sebut pertama itu tokoh yang kebanyakan muncul dalam karya sastra. Membaca karya sastra berarti juga membaca manusia, dengan beragam karakter dan persoalan yang mengelilinginya. Manusia selalu memiliki dua sisi yang saling menggenapi, yakni sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial.
Harjito dalam buku barunya yang berjudul Memandang Perempuan Jawa: Sehimpun Esai Sastra mecoba mengetengahkan realitas-realitas sosial (unsur ekstrinsik) dan mengkaji tokoh perempuan Jawa dalam karya sastra (unsur intrinsik). Dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dan berpijak pada teks sastra, seperti cerita rakyat, cerpen, memoar, dan cerita tradisional, Harjito berhasil menelisik model-model kesetiaan perempuan jawa, peran ibu di Jawa, buruh migran perempuan, dan kemandirian perempuan jawa.
BACA JUGA:
(Resensi) Lima Hai Setelah Lampu Padam
Kita akan menjumpai wacana kesetiaan yang disandingkan dengan kematian. Dalam esai yang berjudul Perempuan Jawa: Kesetiaan dan Kematian penulis buku mengajukan sebuah pertanyaan, bagaimana wujud kesetiaan perempuan, terutama di Jawa, terhadap perkawinannya yang ditampilkan dalam cerita rakyat. Bertumpu pada tiga teks cerita rakyat, yaitu “Dongeng Kali Blorong”, “Asal Mula Desa Gunem”, dan “Rara Mendut”.
Harjito mengkritisi tindakan perempuan jawa dalam mengekspresikan kesetiaan. Menurutnya, kesetiaan perempuan Jawa diwujudkan dengan cara menyamakan diri dan kematian. Simbol dalam Dongeng Kali Blorong dan Asal Mula Desa Gunem memberikan contoh model kesetiaan perempuan dengan cara menyamakan diri. Dua cerita rakyat di atas berkisah tentang sepasang suami istri. Lantas karena sesuatu hal, sang suami malih rupa menjadi seekor ular dan sang istri pun mengikuti anjuran suami agar juga bisa berubah menjadi ular. Sedangkan model kesetiaan yang kedua terdapat dalam cerita Rara Mendut. Demi menjaga kesetiaannya dengan sang kekasih, Rara Mendut rela kehilangan nyawanya. Dalam cerita yang lebih masyhur, tentu kita mengenal kisah semacam itu dalam judul Romeo dan Juliet.
Di masyarakat, terkadang kita masih mendengar kabar perihal remaja yang mati bunuh diri karena cinta. Tindakan bunuh diri dimaknai sebagai pembuktian cinta sejati. Namun, di mata Harjito wujud kesetiaan semacam itu bukanlah yang dianjurkan kepada generasi sekarang ini. Kita boleh memaknai dan merespon sebuah teks sastra. Tapi tak perlu berlebihan!
Definisi kesuksesan di mata kaum Jawa masih bersifat kebendaan atau materi. Seseorang digolongkan sukses jika telah memiliki rumah, mobil, tanah, dan sawah. Kajian berjudul, Memoar Buruh Migran Perempuan dan Media Perlawanan memberikan sebuah alternatif pandangan perihal definisi kesuksesan, yang oleh masyarakat kita, secara jamak dimaknai sebagai materi atau kebendaan.
BACA JUGA:
(Resensi) Jokpin sebagai Pembaca Puisi
Dapat kita simak temuan Harjito pada tulisan termaksud, Dalam memoar buruh migran perempuan, terjadi pergeseran dalam memaknai kehidupan. Ada dua penyebab pergeseran pemaknaan atas hidup: umur dan anak. Jika pada usia yang masih belia, para buruh migran memaknai hidup sukses dengan indikator kepemilikan atas sekian barang dan benda. Pada saat kini, ketika usia telah bertambah, buruh migran perempuan justru dapat lebih menerima diri atau dalam bahasa jawa nrimo. Hal ini dapat diperhatikan pada kenyataan bahwa mereka kini bekerja sebagai penjual sayur, bertani, atau serabutan (Harjito, 2020: 57).
Sudah menjadi sebuah kodrat jika perempuan dan laki-laki berbeda. Secara fisik, laki-laki nampak lebih kuat dan perempuan kelihatan lemah. Namun secara sosial, kaum perempuan tidak lagi hanya menjadi penghuni ruang domestik, tapi juga telah banyak perempuan yang menempati ruang-ruang publik. Sebagai pemimpin, wanita karir, driver, dan lain-lain. Dengan menjadi perempuan pekerja, kaum kartini ingin menghapus anggapan bahwa parempuan itu lemah.
Dengan mengajukan empat cerita tradisional atau sastra rakyat sebagai landasan pijaknya, Harjito menulis esai berjudul Kemandirian Perempuan Jawa. Menurutnya, kemandirian perempuan jawa dalam temuan kajiannya berupa, kemandirian merawat anak, kemandirian menjadi pemimpin, dan kemandirian loyal kepada penguasa.
Di kehidupan masyarakat, tentu kita pernah melihat kasus seorang istri ditinggal suaminya karena meninggal terlebih dahulu, atau sebaliknya. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya akan terlatih kemandiriannya dalam mengarungi hidup. Perempuan justru bertekad menghidupi anak-anaknya meski tanpa peran seorang ayah atau suami. Lain cerita jika yang meninggal istrinya dulu. Kebanyakan dari suami lebih memilih untuk menikah lagi. inilah yang dimaksud kemandirian perempuan Jawa dalam merawat anak.
Esai demi esai dalam buku ini mengantarkan kita pada sebuah kesadaran baru, utamanya perihal perempuan Jawa. Meski ada beberapa esai yang menunjukan ketidakajekkan tema garapan. Namun, Harjito telah berhasil membedah bentuk kesetiaan, pandangan buruh migran soal kesuksesan, dan kemandirian pada perempuan jawa. Buku ini adalah aset bagi para pengkaji sastra. Membacanya, akan terhanyut dengan sajian tulisan yang idenya runtut dan terpola: landasan teori, kritik sastra, dan rincian temuan hasil kajian.
Membaca buku ini lebih jauh, membuat saya menuduh, bahwa cerpen-cerpen yang di angkat sebagai bahan kajian tidak berlatar di Jawa. Akan tetapi, prasangka buruk itu runtuh ketika tulisan demi tulisan dalam buku ini mampu membuktikan, baik dalam cerpen karya Puthut EA maupun James Danandjaja, keduanya mengambil latar tempat di Jawa. Nama dalang Ki Manteb Sudarsono, kalimat“njaluk nagkamu separo, ya”, “lincak mangkak, lungsuran, togel, anteng,” adalah bukti cerita tersebut berlatar jawa (hlm. 25). Selain itu juga ada nama-nama seperti: Pinah dan Sri Lestari yang muncul dalam teks memoar.
Selain kepada cerita rakyat, Harjito nampaknya juga punya ketertarikan dan perhatian khusus pada dunia Kejawen dan ponsel. Cerita rakyat, kejawen, dan ponsel. Pengamatannya mungkin tidak pernah jauh dari tiga hal itu. Cerita rakyat dan dunia jawa telah mewujud dalam buku Memandang Perempuan Jawa. Ponsel dan benda-benda modern lainnya seperti traktor, ternyata juga turut dikaji, sebab modernisasi selalu mengiringi realitas sosial perempuan jawa. Lahirnya buku ini melengkapi khazanah esai sastra Indonesia. Hasil dari kerja menafsir zaman lewat cerita rekaan. Memaknai teks sastra tanpa berlebihan.