image by oprah.com

“Kau itu seperti flek hitam di wajahku,” kata istriku dengan ketus, “sama-sama menjengkelkan.”

            Dia akan mengatakan itu setiap kali aku memergokinya menyimpan krim pemutih murahan yang dibelinya dari seorang sales kosmetik yang muncul di desa kami tiga bulan sekali. Sales itu seorang gadis oriental dengan wajah putih kinclong seperti mutiara. Istriku jelas terobsesi memiliki wajah seperti dirinya. Akan tetapi, krim itu perkara lain.

            “Sebentar lagi wajahmu akan rusak karena kandungan merkuri yang jelas-jelas dilarang.” Aku mencoba menyakinkannya.

            “Tahu dari mana kau?”

            “Di televisi. Di mana lagi?” kataku sambil menunjuk perempuan cantik di TV. “Lihat, dia bilang kalau—”

            Istriku merebut remote TV di tanganku dan memenceti tombolnya dengan kesal. Berpindah dari satu kanal ke kanal lainnya, sampai dia bosan dan berhenti di kartun Upin & Ipin. Dia melempar remot itu ke lantai hingga sepasang baterainya lepas berhamburan.

            “Itu karena kau tak pernah membelikanku krim yang asli.” Dia mulai mengeluh. “Kau bahkan tak memikirkan perasaanku. Lagi pula, aku tak meminta uang sepeser pun darimu untuk ini. Kerjamu setiap hari hanya menonton TV. Kau ….”

            Aku tak tahan bila dia mulai membicarakan hal itu lagi. Jujur saja, aku tak berniat menghalang-halanginya untuk tampil cantik. Itu adalah haknya, meskipun aku ragu, tak ada seorang pun lelaki di kampung ini yang tertarik menyaksikan perubahan pada wajahnya selain diriku. Aku lalu meninggalkannya sendirian, mengoceh tentang diriku yang hanya bisa menonton TV seharian.

            Aku sedang memandikan ayamku ketika Komar datang berkunjung. Dia menjabat tanganku sebagai seorang kawan lama dan langsung berbicara ke inti persoalan. Komar begitu sedih mendengar kabar bahwa mesin perahuku rusak dan aku menganggur untuk sementara waktu. “Tapi saya tidak datang untuk menambah kesedihanmu, kawan,” katanya. “Bos punya tawaran menarik. Dia mengajakmu untuk keluar melaut Jumat ini. Mungkin akan memakan waktu sekitar dua puluh hari karena kita akan berlayar sampai ke perairan Bima. Kami kekurangan awak. Cancu’ bersaudara terkena diare bersamaan.”

            Penjelasan berikutnya sedikit bertele-tele, tapi aku menyukai rasa simpatinya yang hangat. Komar berkata bahwa dia tahu sebentar lagi istriku akan melahirkan, dan anakku pasti akan senang terlahir dengan mendapati mesin baru pada perahu ayahnya. “Tidak begitu banyak, tapi kau bisa menabung untuk kekurangannya.”

            Aku menjabat tangannya sekali lagi dan berterima kasih atas kepeduliannya. Sepertinya Komar lebih tahu persoalan rumah tanggaku dibanding diriku sendiri. Maka, berangkatlah kami pada hari Jumat.

            Berada di lautan selama berhari-hari membuatku lebih banyak memikirkan istriku. Setelah dipikir-pikir, tampaknya aku memang suami yang menjengkelkan. Sepanjang dua tahun pernikahan kami, belum sekali pun aku memberinya sedikit kebahagiaan. Aku tak pernah membelikannya pakaian baru atau mengajaknya jalan-jalan ke kota. Itu bukan karena aku tak peduli kepadanya. Aku peduli, hanya saja ekonomi keluarga kecil kami sedang mendekati krisis.

            Aku adalah satu di antara puluhan remaja putus sekolah di kampung ini yang gagal merantau ke Kalimantan. Almarhum ayahku berpesan agar aku melanjutkan profesinya saja sebagai nelayan. Dia berkata inilah satu-satunya pekerjaan yang cocok buatku karena tidak butuh banyak berpikir dan bermimpi seperti para perantau itu. Aku menurutinya dan memutuskan untuk meninggalkan bangku kelas dua SMA untuk menikahi Ita, gadis tetangga yang diajukan nenekku.

            Ita adalah anak yatim yang sejak kecil terlatih hidup susah. Jadi, ketika memutuskan menerimaku sebagai suaminya, dia tentu paham betul bahwa badai kehidupan yang menghantamnya akan dua kali lebih hebat.

            Semenjak aku menganggur, Ita ikut membantu ekonomi rumah tangga kami. Saban pagi, setelah mengurusi kebutuhan perutku, istriku akan bergabung dengan para ibu di sepanjang dermaga, menunggu perahu yang membawa berkarung-karung bibit rumput laut untuk diikat pada bentangan tali panjang. Dari pekerjaannya itu dia mendapatkan kulit wajah yang kusam menghitam terpapar sinar matahari dan aroma garam. Dari pekerjaannya itu pulalah dia bisa menabung lima belas sampai dua puluh ribu rupiah untuk membeli krim murahan tersebut.

            Jadi, persetan dengan mesin perahu baru. Aku yakin anakku pasti lebih senang terlahir dengan mendapati wajah ibunya yang cantik.

            Istriku sedang menonton kartun kesukaannya ketika aku pulang ke rumah. Aku menyelinap masuk ke dalam kamar dan menaruh bingkisan plastik di laci tempat dia menyembunyikan kosmetik murahan miliknya. Aku kembali ke ruang depan, berniat memberinya kejutan, tapi dia lebih dahulu berbalik dan mengejutkanku dengan penampakan wajahnya.

            “Astagfirullah,” kataku, “apa yang sedang terjadi?”

            Kulit wajah istriku mengelupas dan memerah. Pada beberapa sisi tampak belang-belang tak merata. Dia memandangiku dengan ekspresi aku-bisa-jelaskan-ini.

            “Dokter di puskesmas bilang bahwa ini pengaruh kosmetik abal-abal tempo hari. Aku tahu kau benar tentang Merkuri itu, tapi …. Aduh, ini panas sekali.” Dia mengipasi wajahnya dengan kedua tangannya.

            Aku terpaku sesaat, seperti tak percaya. Lalu, semuanya berganti menjadi tawa. Aku tertawa keras-keras, menghamburkan semua kekonyolan ini ke wajahnya. Istriku tampak jengkel, tapi sabar menunggu penjelasan. Sambil berusaha meredam sisa kegelian dalam perutku, kukatakan kepadanya bahwa andai dia mau bersabar sebentar saja untuk mendapatkan krim yang asli, tentu dirinya tidak harus menanggung derita seperti itu. Dalam perjalanan pulang, perahu kami membongkar muatan di pelabuhan kota dan aku telah membelikannya sepaket perawatan kecantikan senilai separuh gajiku di kapal.

            “Asli?” Dia melonjak kegirangan.

            “Gadis di apotik mengatakan begitu.”

            “Sepaket?”

            “Dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah.”

            “Astaga!” serunya. “Lupakan wajahku ini.” Dia lalu menghambur masuk ke kamar. Selanjutnya hanyalah teriakan bahagia yang terdengar.

            Aku tak tahu dengan cara seperti apa benda-benda itu bisa mengembalikan penampilannya, tapi aku berharap krim pemutih itu mampu mengangkat semua flek hitam pada wajah istriku. Dengan begitu kuharap dia akan berhenti menganggapku sebagai suami yang menjengkelkan.[]