image by istockphoto.com

Mantan musisi itu tinggal menyendiri di tengah danau di kota yang tak jauh dari tepi dunia. Di manakah tepi dunia? Setiap orang mempunyai pendapat sendiri mengenai ini. Bagiku, tepi dunia adalah titik di mana orang tak lagi ingat dia pernah dilahirkan; titik pertemuan maut dan kehidupan. Bagi beberapa temanku, tepi dunia adalah lokasi yang cocok untuk menghabiskan masa pensiun. Tapi, pendapat-pendapat itu tak berlaku di sini. Sang musisi punya pengertian sendiri tentang tepi dunia.

Sang musisi sangat terkenal hingga hari-harinya tak berlalu tanpa dikelilingi rekan musisi, produser, promotor acara, selebritis kelas atas, dan yang paling sering: asisten, manager, penggemar fanatik, barisan bodyguard, dan orang-orang yang tidak ia tahu kenapa mereka ada dalam hidupnya. Suatu kali ia jenuh dan ingin bunuh diri.

Aksi bunuh diri itu gagal usai seorang teman memergokinya. Majalah gosip yang kerap menuai kontroversi akibat konten-konten yang tidak bertanggung jawab dari segi keakuratan menyebutkan insiden itu sebagai “karir penutup sang musisi karena tidak lagi bisa membayar iblis”. Bayangkan, aksi bunuh diri saja oleh mereka disebut sebagai “karir”; belum lagi “membayar iblis” yang menjadikan banyak orang bertanya-tanya tentang sisi spiritualitas sang musisi.

Banyak sahabat yang meyakinkan agar sang musisi menuntut majalah itu, tapi sang musisi diam dan malah mengusir setiap orang yang datang ke rumahnya yang lebih mirip istana suram. Bahkan ia juga mengusir mereka yang tidak menyinggung soal iblis atau aksi bunuh diri gagal itu. Diamnya sang musisi menguarkan obrolan baru bahwa gosip tentangnya yang menjual jiwa pada iblis agar menjadi musisi terkenal itu memang benar. Tidak ada yang tahu pasti tentang itu.

Rekan-rekan terdekatnya, bahkan kekasih (atau kita sebut saja mantan kekasihnya), yang dianggap paham seluk-beluk sang musisi, bersumpah: “Saya tak tahu apa-apa soal iblis!”
Tak lama selepas berita miring itu beredar, sang kekasih pergi ke kampung asalnya, lalu membuatnya menjadi setengah gila karena dibuntuti para wartawan dan tentu saja, paparazzi, yang berkeliaran ke sana kemari bagai siluman; tak terendus, tak terdeteksi, tapi hasil kerjaannya tiba-tiba muncul dengan dipolesi tulisan vulgar dan prediktif yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, yang akhirnya hanya akan menggiring opini.

Sang musisi akhirnya bicara dalam sebuah acara peluncuran produk iklan di mana dia menjadi ambassador-nya, di sebuah mal di Kota X, saat secara kurang ajar seorang wartawan malah bertanya tentang jiwanya yang dijual kepada iblis:

“Orang-orang itu sungguh banyak omong, dan mereka lupa otak mereka tertinggal di kulkas!”
Salah seorang penulis di majalah gosip yang pertama kali mengembuskan kabar ini pun tidak banyak bicara, hanya bilang, “Saya menulis berdasarkan sumber yang kami dapatkan.”

Siapa sumber itu? Bagaimana mungkin tuduhan seserius itu—menjual jiwa kepada iblis, disebarluaskan tanpa mempertimbangkan bahwa kabar itu bisa saja salah? Setiap orang memikirkan ini. Bagaimana jika itu memang benar? Bukankah setiap orang yang berani mengutarakan sesuatu, artinya orang-orang itu memang mengerti tentang sesuatu tersebut?

Setiap orang mulai percaya, bahwa benar sang musisi memang datang pada iblis, di suatu hari yang lampau, jauh sebelum dia terkenal, agar menjadi terkenal dan kaya raya.
Bagi beberapa kalangan, ini bukan persoalan serius. Mereka mengaku, “Lagu-lagu Mr. X begitu kami cintai. Tidak ada peristiwa apa pun yang dapat mematikan rasa cinta kami pada karya-karyanya yang luar biasa. Bahkan kami tak peduli jika mungkin benar bahwa lagu-lagu hasil karyanya itu ditulis sembari dia bercinta dengan sang iblis!”

Di jalanan, orang-orang mulai turun dan membawa papan-papan, spanduk, poster sang musisi yang dicoreng-moreng, boneka dari kayu yang didandani mirip dirinya, lalu melangitkan sumpah serapah karena mereka tak pernah sudi kehidupan mereka dicemari lagu-lagu iblis. Mereka juga menuntut permintaan maaf dan pertaubatan dari musisi itu, dilengkapi dengan pembakaran album-album sang musisi, yang membuat orang-orang di luar grup itu menangis sedih, karena tidak rela karya agung idola mereka dibuang dan diperlakukan sedemikian hina. Tentu mereka tak bisa melawan keberingasan orang yang telanjur percaya bahwa musisi itu dekat dengan iblis.

“Barangsiapa yang dekat dengan iblis, nerakalah tempatnya!” begitu para pendemo bersabda.
Hanya berselang dua atau tiga hari setelahnya, kerusuhan terjadi di pusat Kota X, di mana basis penggemar fanatik sang musisi berada. Fans base yang berupa gedung di seberang stadion sepak bola, dihancurkan massa yang entah terdiri dari kelompok mana saja, karena kebanyakan mereka menyamar menjadi supporter kedua tim yang tanding hari itu. Para fans fanatik sang musisi menangis berkabung pada malam harinya, seakan mereka benar-benar kehilangan idola mereka, padahal di waktu yang sama, semua orang tahu sang musisi berada di rumahnya yang megah, yang dikepung oleh wartawan dan segelintir pendemo yang dijaga ketat oleh kepolisian.

Aksi demo yang berlangsung beberapa hari itu menimbulkan kerusakan di banyak titik di kota. Puluhan orang menderita luka ringan dan berat. Lima orang dari kalangan fans dan pendemo tewas. Sang musisi makin terpojok dan dipaksa untuk membuat konferensi pers demi menghentikan kerusuhan.

“Saya tak pernah mengusik kehidupan orang. Kenapa kalian begitu repot mengusik kehidupan saya?” ucapnya tajam sebelum menyingkir dengan raut wajah kaku, berjalan tegap diiringi perlindungan orang-orang kekar, para body guard-nya, dan sejak itu sang musisi tak terlihat lagi.


Suatu hari, beredar kabar bahwa sang musisi telah tiba di tepi dunia, dan menetap di sana demi menghindari wartawan. Tak ada yang tahu definisi tepi dunia bagi sang musisi sendiri. Setiap orang memegang makna tersendiri tentang “tepi dunia”, dan semuanya bebas mengartikan seperti apa “tepi dunia”.

Kabar ini tersiar oleh surat sang musisi sendiri, yang dibawa orang kepercayaannya, seseorang yang tidak dikenal publik, yang meletakkan surat itu beserta foto terbaru sang musisi yang tak lagi terlihat sama seperti dulu (di foto itu, dia terlihat kurus dan kumal), di halaman parkir sebuah surat kabar nasional.

Di surat itu, sang musisi menyebut: “… di tengah danau, di sebuah kota yang tidak jauh dari tepi dunia.”

Para sahabat dan rekan-rekan, serta orang-orang yang dulu ada di sekelilingnya nyaris sepanjang waktu, tak mengerti lokasi pasti danau itu. Di beberapa kota terjadi sayembara kecil-kecilan oleh penggemar untuk mencari tahu lokasi persembunyian sang musisi, yang tak berakhir mulus, karena mereka ditangkap petugas berwenang atau nyaris tenggelam atau tersesat dan tak ditemukan hingga berhari-hari kemudian, dan entah berapa banyak kejadian konyol dan tak terduga mengiringi sayembara dengan hadiah berupa “bertemu kembali dengan sang idola setelah sekian lama kehilangan”.

Mereka separuh senang, separuh menderita, karena sang musisi tidak lagi bertekad bunuh diri sebagaimana dulu, namun mereka tak tahu bagaimana bisa menemuinya. Tak ada yang tahu siapa orang kepercayaan yang meletakkan surat dan foto terbarunya tepat di depan mobil pimpinan redaksi salah satu media nasional itu. Rekaman CCTV tak membantu; hanya menunjukkan sekilas sosok berjaket hitam, bertopi hitam, dan buram, berkeliaran di tempat parkir pada suatu sore yang mendung, sebelum orang-orang menemukan fakta bahwa musisi tersebut kini masih hidup dan menyendiri di tempat yang ia sebut “tepi dunia”.
Dalam dialog rahasia yang bocor bertahun-tahun kemudian, sang musisi itu bilang: “Aku tak peduli orang-orang menganggap jiwaku telah dijual pada iblis. Aku bahkan tak peduli nanti mereka meludahi mayatku di hari pemakamanku. Terserah mereka.”

Sahabatnya, yang juga rekan musisi, memandangnya sesaat, sebelum bertanya lagi untuk terakhir kali: “Apa benar jiwamu dijual kepada iblis? Tolong katakan ‘benar’ atau ‘tidak’.”
“Kamu percaya?”
“Tidak, dong.”
“Sebaiknya jangan, walau bisa saja itu benar.”

Dialog itu terjadi tepat sebelum dia melarikan diri bersama mobil seorang diri, tanpa sopir. Sang sopir menjelaskan di banyak wawancara atau talk show yang terpaksa dia hadiri beberapa kali selama beberapa pekan, bahwa musisi yang mendadak dibenci banyak orang di akhir karirnya itu memberinya uang dalam jumlah fantastis dan bahkan memberikan kunci rumah dan menelepon pengacara untuk mengurus surat-surat terkait pengalihan kepemilikan rumah mewah beserta tanah itu kepadanya, sebelum dia minta sopirnya membiarkannya menyetir sendiri.
Saat itu sang sopir bilang, “Saya yakin Anda masih mabuk, Tuan.”
Ia kaget ketika pengacara musisi itu datang untuk urusan mereka sehari kemudian.

Hingga hari ini, polemik penjualan jiwa sang musisi pada iblis itu tidaklah pernah benar-benar berakhir. Selalu ada yang yakin atau tidak. Selalu ada yang mendukung dan menghujat. Bagiku, itu tidak penting. Toh bukan urusanku, meski kini, setelah bertahun-tahun hidup tenang, aku kembali terganggu oleh wartawan, begitu kabar sang musisi ternyata masih hidup di tepi dunia beredar.

Dan, seperti dulu, lagi-lagi orang akan bertanya: “Apa yang Mr. X perbuat sebelum menyuruh Anda turun dari bangku kemudi?” [ ]


Gempol, 2021