Dalam bukunya, Manusia Madura, Mien Ahmad Rifai mencatat perbedaan corak keberagamaan suku Jawa dengan Madura. Tidak seperti orang Jawa yang mistik, corak keberagamaan orang Madura cenderung syariah. Orang Madura tidak mengembangkan gagasan-gagasan metafisik, seperti sangkan paraning dumadi atau manunggaling kawula gusti. Kehadiran yang gaib diyakini selalu berhubungan dengan aktivitas pragmatis. Sejauh ini saya belum menemukan risalah tentang hierarki pencapaian mistik orang Madura. Kalaupun ada, ide-ide metafisik semacam itu kerap diimpor dari Arab atau Jawa.

Dari corak keberagamaan tersebut, secara induktif kita bisa mengabstraksikan bahwa semesta hidup orang Madura adalah jagat pragmatis. Motif religiositas semacam itu mirip wacana tentang asal-usul Tuhan dan agama yang diperkirakan fiks pada era Revolusi Agrikultur. Masyarakat pertanian membutuhkan figur kuat untuk menyuburkan dan melindungi tanah-tanah mereka. Maka itu, kehadiran dan keterlibatan dewa-dewa diperlukan untuk menyokong aktivitas duniawi tersebut. Demikian juga dalam keyakinan orang Madura, eksistensi Ilahi selalu berkorespondensi dengan kesintasan manusia di dunia. 

Watak pragmatis orang Madura tidak hanya bisa ditilik dari corak keberagamaannya. Nilai-nilai praktis tersebut juga muncul dalam elemen-elemen kebudayaan Madura lainnya. Tabiat pragmatis itu kemudian menjadi substansi setiap tradisi. Hingga kini, kita masih bisa menemukan jejak-jejak pragmatis dalam kebudayaan orang Madura.

Karapan sapi, misalnya. Sejumlah pegiat kebudayaan meyakini bahwa olahraga tradisional itu bukan hanya kompetisi profan. Karapan sapi dianggap aktivitas sakral, tetapi klaim demikian saya pikir muncul di kemudian hari. Kebudayaan merupakan meme yang terus-menerus berevolusi berkat keliaran imajinasi manusia, bahkan hingga melenceng dari sifat awalnya. Kita perlu mengingat kembali bahwa karapan sapi lahir dari motif pragmatis masyarakat agraris yang tengah mengembangkan ekonomi pertanian.

Eksisnya tradisi carok juga tidak terlepas dari watak pragmatis orang Madura. Bagi orang Madura, keadilan harus diwujudkan saat ini, tidak di kemudian hari. Dalam konteks carok, orang Madura tidak terlalu mengamalkan laku nrima sebagaimana yang dipraktikkan orang Jawa. Orang Madura tidak menunggu hukuman Tuhan dijatuhkan kepada pihak yang dianggap melecehkan harga diri. Bagi orang Madura, sangat berat menanggung malu sepanjang hayat. Membunuh kemudian menjadi modus paling efisien untuk menyelamatkan muka yang telah dinodai. 

Permukiman tradisional Madura, taneyan lanjhang, juga berangkat dari sifat pragmatis orang Madura. Taneyan lanjhang dibangun di atas struktur matri-uksorilokal. Menurut Khaerul Umam Noer dalam bukunya, Tubuh yang Terbuang, perkawinan di Madura tidak terlepas dari motif ekonomi. Perkawinan dalam masyarakat tradisional Madura sangat politis. Anak-anak perempuan yang telah menikah tinggal di pekarangan orang tua. Tujuannya untuk menarik laki-laki (para suami) masuk ke dalam geografi orang tua agar turut mengelola tanah pertanian. Selain harus menikah, perempuan Madura dituntut untuk memenuhi takdirnya yang lain: beranak-pinak. Kelak anak-anak yang dilahirkan juga akan menopang ekonomi taneyan dengan turut membantu orang tua mencari nafkah. Tidak ada gagasan aneh dan abstrak pada genealogi taneyan lanjhang. Semua dibangun di atas upaya manusia Madura untuk bertahan menghadapi alam yang buas.

Sayangnya, sifat pragmatis orang Madura tidak selalu positif. Pelanggaran hukum negara bukan hal aneh di Madura. Pembangkangan orang Madura terhadap aturan sudah dikenal sejak zaman kolonial. Anekdot-anekdot yang berkembang di masyarakat luar Madura kerap menggambarkan stereotipe etnis ini sebagai orang-orang egois yang cuma memprioritaskan kepentingan sendiri terlepas dari apakah yang dilakukannya merugikan orang lain atau tidak. Orang Madura tidak segan-segan melanggar jika aturan yang berlaku dinilai tidak menguntungkan.

Pelanggaran terhadap hukum tersebut tidak tebang pilih. Orang Madura tidak hanya bisa melanggar aturan negara, tetapi juga hukum adat. Banyak orang Madura menjual tanah sangkol, lahan warisan. Padahal dalam norma adat-istiadat, tanah sangkol tidak boleh dijual. Kalaupun terpaksa dijual, ada syarat-syarat yang mengaturnya. Tabu tanah sangkol berakar dari klaim kesakralan pusaka leluhur tersebut. Dalam jagat pengetahuan orang Madura, tanah sangkol bukan hanya properti. Ia juga medium yang menghubungkan si hidup dengan para leluhur yang telah bersemayam di alam baka. Menjual tanah sangkol sama halnya dengan memperdagangkan nenek moyang. Kini mitos itu terkikis oleh kebutuhan-kebutuhan duniawi. Lahan-lahan warisan dengan cepat beralih tangan ketika tuntutan untuk bertahan hidup lebih mendesak daripada kepercayaan-kepercayaan yang sulit diverifikasi. Sifat pragmatis orang Madura menaklukkan ide-ide matafisik yang dampaknya tidak dirasakan secara zahir.

Konsekuensi pragmatis itu jugalah yang membuat orang Madura tidak segan-segan merusak alam jika itu dirasa menguntungkan. Karakter pragmatis tersebut bertalian dengan pandangan orang Madura terhadap alam. Dalam interaksinya dengan alam, orang Madura bukan penganut etika ekosentrisme. Tidak memiliki falsafah tri hita karana layaknya etnis Bali, hubungan kealaman orang Madura dibangun di atas perspektif antroposentrisme di mana alam dianggap sebagai penunjang hidup manusia yang berkedudukan sebagai axis mundi, pusat diskursus. Orang Madura juga tidak mempunyai kosmogoni sebagaimana orang Timor yang percaya bahwa leluhurnya merupakan elemen-elemen fisik: batu, air, pohon, dan tanah, sehingga tidak berkewajiban moral untuk melestarikan alam. Jadi, wajar jika sektor-sektor ekonomi di Madura kerap dikembangkan tanpa pertimbangan konservasi lingkungan.

Kekerasan terhadapan alam adalah sikap paling radikal orang Madura dalam menghadapi lingkungan fisiknya yang tidak bersahabat. Tetapi ada upaya alternatif ketika orang Madura menyadari kenyataan bahwa lingkungan fisik sudah tidak mau bekerjasama dengannya. Merantau menjadi jalan terakhir ikhtiar tersebut. Kebiasaan merantau merupakan contoh ekstrem betapa masyarakat Madura adalah orang-orang pragmatis, sebab tradisi itu mencerabut seseorang dari akar sosialnya. Hal ini juga sekaligus menjadi basis argumentasi sifat individual yang melekat dalam pribadi orang Madura. Merantau, taneyan lanjhang yang isolatif, dan runtuhnya mitos tanah sangkol, meneguhkan individualitas orang Madura yang rela terpisah dengan sanak saudaranya demi bertahan hidup.

Kerasnya lingkungan fisik merupakan hulu kosmologi pragmatis orang Madura. Orang Jawa yang menetap di wilayah kontinental nan gemah ripah loh jinawi punya banyak waktu luang untuk menciptakan gagasan-gasasan abstrak di balik dunia kasat lantaran hidupnya telah dicukupi oleh alam. Sementara itu, orang Madura terlalu sibuk menghadapi alam yang bengis sehingga tidak sempat berimajinasi bahwa jiwa manusia mampu mencapai puncak kebatinan.

Suatu kali saya membayangkan leluhur pertama orang Madura eksodus dari negerinya yang asali, hijrah ke pulau kemarau ini. Dengan jerih payah, ia mengusahakan hidup di lahan tandus, di atas padang kapur, semak berduri. Bertahan dengan memakan gadung dan jawawut. Prototipe manusia Madura adalah orang yang terusir dan bermukim di belakang asal-usulnya, kebun Firdaus yang subur.

*) sumber ilustrasi: Lukisan karya Boy Blankon Artwork dan Lukisan Lian Sahar