(*) Kenzou tak pernah bisa menelan daging ayam panggang tanpa menyusulkan pinot noir ke dalam tenggorokannya. Kebiasaan tersebut ia peroleh sejak dilantik menjadi walikota. Padahal, dulu suamiku itu cukup senang hanya dengan es teh atau susu cokelat dingin.

            Tawa Kenzou membahana. Salah satu kolega sedang melontarkan lelucon. Aku bisa merasakan tubuh Kenzou terguncang oleh lelucon itu, tapi tangannya tetap lekat pada kaki gelas wine, menggoyangnya perlahan, membiarkan red wine favoritnya itu bercampur dengan molekul udara demi mendapatkan aroma maksimal.

            Aku mendadak bosan dengan suasana penuh basa-basi seperti ini. Aku mengedarkan mataku ke sekeliling restoran sambil memaksa tubuhku untuk tetap lekat di kursi. Kenzou mengundang banyak kolega dari pemerintahan untuk jamuan makan malam tahun baru. Ia harus beramah-tamah dengan mereka karena itu akan mendukung posisinya pada pemilihan walikota tahun depan. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada mata seorang pemuda di sudut bar yang tampak tidak asing. Apakah ia tengah memperhatikanku? Apakah dari tadi ia memperhatikanku?

            Tatapan pemuda di sudut bar itu semakin lekat. Dari penampakannya aku bisa memprediksi usianya dua puluh tahun di bawahku. Tidak mungkin saat ini ia sedang mencoba menarik perhatianku. Aku memutuskan mengalah dan memalingkan tatapanku dari matanya.

            Mataku memandang melampaui bingkai jendela restoran. Malam sudah beranjak semakin larut. Restoran tepi pantai ini membuatku akrab dengan deburan Laut Pasifik. Ini tempat favorit Kenzou sejak ia dilantik menjadi walikota, padahal sebelumnya ia cukup senang dengan warung-warung makan di pinggir jalan atau restoran-restoran fast food dengan menu paket yang murah.

            “Happy new year!” Seisi restoran mendadak gaduh. Kembang api aneka warna mulai pecah di langit kota. Cahayanya membuatku bisa menangkap gulungan ombak kecil yang berkejaran untuk kemudian pecah di bebatuan.

            Pemandangan terakhir yang kulihat adalah sorot mata tajam dari anak muda di sudut bar sebelum Kenzou membenamkanku dalam lumatan bibirnya. “Happy birthday, sayang.”

            Hari ini tahun baru ke 2028 dan hari yang disepakati bersama sebagai hari ulang tahunku yang ke-48.

            (**) Aku menatap Alona yang tengah berciuman dengan lelaki gemuk di salah satu sudut restoran. Keriuhan tahun baru tak membuat mereka sangsi untuk menautkan bibir di sana. Mendadak aku jijik. Aku juga bisa menduga bahwa aku lelaki tua yang bodoh sedang menatap mereka dengan nanar dari sudut lain restoran ini.

            Aku benar-benar tak bisa membayangkan akan menua dalam kesendirian. Aku pikir aku cukup gagah dan bisa menarik hati perempuan mana pun, hingga seorang lelaki tua mendarat di depan pintu rumahku beberapa hari yang lalu.

            “Aku adalah kau di masa depan,” katanya. Satu-satunya hal yang membuatku merasa yakin adalah badannya yang tetap kekar meski rambutnya telah beruban di beberapa tempat serta tahi lalat di bawah telinga kirinya. “Tak perlu terkejut. Melakukan perjalanan melintasi waktu sudah biasa kami kerjakan di masa depan. Itu bukan hal yang sulit. Kami hanya harus berhati-hati jika pelesiran ke masa lalu. Jangan sampai membuat manusia-manusia dari masa lalu ini kaget.”

             Kemudian mengalir cerita dari bibirnya. Aku menduga hingga tua nanti tak pernah ada nikotin yang melekat di sana. Aku benci nikotin dan jika ia benar adalah aku dari masa depan, maka tentu saja ia juga akan membenci nikotin.

            Cerita itu adalah tentang recana mengubah masa depan. Aku seolah tengah didongengi sebuah fiksi ilmiah. Lelaki tua yang mengaku sebagai aku dari masa depan itu memintaku untuk bekerja sama dengannya.

            “Ini bukan tindakan kriminal semacam menyabotase istana presiden. Kau tidak perlu cemas begitu.”

            “Kalau itu bukan tindakan kriminal, itu jelas perbuatan yang tidak menyenangkan. Melanggar hak asasi manusia!”

            “Hak asasi manusia?” Ia terkejut lalu tertawa mengejek. “Di zamanmu melakukan kloning manusia masih melanggar HAM, tapi di zamanku tidak lagi. Ilmu pengetahuan maju sangat pesat. Batasan-batasan imajiner semacam HAM itu tak ada lagi. Asal kau tahu, bahkan euthanasia sudah menjadi kebutuhan pokok.”

            Aku terdiam mendengar ocehan lelaki tua yang mengaku sebagai aku.

            “Ini demi kebahagiaan kita bersama dan kebahagiaan Alona. Yang harus kau lakukan pun tidak sulit.” Lelaki itu keluar dari rumahku dan berjalan ke halaman belakang. “Gate-ku di belakang. Kau mau coba jalan-jalan ke masa depan?”

            Aku menggeleng dan tetap pada tempatku saat itu. Tiga hari kemudian lelaki tua itu kembali muncul dan itulah muasal bagaimana aku bisa sampai di restoran tepi pantai miliknya, milikku, dan menyaksikan sendiri bahwa wanita dalam cerita fiksi ilmiah yang dijejalkan lelaki tua tiga hari yang lalu tersebut adalah nyata.

(*) Tidak ada yang lebih mencengangkan daripada bangun di pagi hari dan mendapati pria misterius tergeletak di teras rumahmu. Lelaki dengan tuxedo hitam itu kini tengah menyeruput kopi yang masih mengepul dari cangkirnya. Aku berbaik hati membuatkannya kopi karena ia tampak linglung dan letih. 

“Jadi, kau benar-benar diturunkan oleh Tuhan begitu saja di depan rumahku untuk menjadi suamiku?” Aku bertanya dengan hati-hati untuk yang kesembilan belas kalinya. Ia mengangguk.

Aku beranjak dari beanbag dengan jengah dan memandang ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 06.00. Dua jam lagi aku harus tiba di kantor, tapi tidak dengan laki-laki yang entah siapa ini masih berada dalam rumahku.

“Aku tidak percaya dongeng seperti itu lagi,” gumamku. Aku dulu percaya kalau seorang bayi bisa saja tidak dilahirkan oleh ibu, melainkan dibawa oleh seekor angsa berparuh besar. Angsa yang sama menjatuhkanku di pekarangan sebuah panti asuhan dua puluh lima tahun silam.

“Aku tidak butuh kau untuk percaya bagaimana caraku bisa ada di depan pintu rumahmu. Aku hanya butuh kau percaya bahwa aku adalah yang terbaik yang dikirimkan Tuhan untukmu.” Ia meyahut. Senyum tersungging di bibirnya yang merah.

Aku memasang ekspresi siapa-kau-berani-berkata-seperti-itu-seakan-kau-tahu-segalanya-tentangku?

“Kau harus pergi ke kantor sekarang, kan?” tanyanya lagi. “Pergilah dengan tenang. Aku akan di sini ketika kau pulang nanti.”

Aku menghambur ke kamar mandi setelah menimbang bahwa ia tidak mungkin bisa diusir dari rumahku begitu saja. Aku akan bersiap ke kantor dan dalam perjalanan akan singgah di kantor polisi untuk mengadukan tentang orang asing yang menerobos masuk rumahku.

Menerobos? Kan, aku yang mempersilakan dia masuk? Ah, pokoknya aku harus ke kantor polisi secepatnya. Setelah itu, aku akan memberitahu Kenzou. Ia harus cepat melamarku karena bisa saja pria asing tadi nekat dan memaksaku menikahinya.

(**) Lelaki tua yang mengaku sebagai aku membekaliku dengan segala hal tentang Alona juga tuxedo dari masa depan. Ia berkeras bahwa aku harus tampil memesona saat bertemu Alona muda untuk pertama kalinya, sebelum ia melemparku kembali ke masa lalu, masaku, dan membuat gate itu terbuka di depan teras rumah Alona.

Melakukan perjalanan melintasi waktu tidak semenakutkan yang sering dikisahkan dalam novel maupun disajikan dalam film-film fiksi ilmiah. Rasanya tidak berbeda seperti ketika kau naik pesawat, bahkan suara gemuruhnya pun sama. Kau masuk ke dalam sebuah kapsul, kau duduk diam di sana beberapa saat dan ketika kapsul membuka, kau sudah sampai di tujuan.

“Kau masih di sini?” Alona muncul di ambang pintu ketika malam merangkak naik.

“Hai, kau sudah pulang?” Aku balas bertanya. “Kau capek? Aku akan membuatkanmu cokelat panas. Kau suka minuman itu, kan?”

Alona tampak terkejut. Namun, sedetik kemudian raut wajahnya berubah biasa. Ternyata ia adalah gadis yang manis ketika masih muda.

“Kau tidak gerah memakai pakaian seperti itu dari tadi pagi?” tanyanya.

“Ini? Tentu saja tidak. Ini adalah tuxedo dari masa depan. Serat kainnya hidup. Mereka bisa menyesuaikan diri dengan suhu tubuh pemakainya. Ketika panas, tuxedo ini akan terasa dingin, ketika cuaca dingin tuxedo ini akan menghangatkan. Karena mereka hidup, mereka pun bisa meregenerasi sel-selnya sehingga selalu seperti baru tanpa perlu dicuci.” Aku menjelaskan panjang lebar dan berharap Alona takjub.

“Karena kau berasal dari masa depan, aku tidak terkejut.” Ia hanya menjawab sekilas.

            Aku menyodorkan secangkir cokelat panas yang kubuat kepada Alona. “Aku sudah memasak untuk kita. Sorry, aku mengecek isi kulkasmu tadi. Aku bisa membuat nasi goreng ikan tuna dari bahan-bahan yang ada di sana. Kau jangan ragu. Aku punya restoran terkenal di masa depan.”

            Alona menyeruput cokelat panas dari cangkirnya. “Terima kasih. Ini enak sekali.”

            Aku mengangguk sambil tersenyum. “Kenapa kau pulang larut sekali?”

            “Di kantor tutup buku.”

            “Oh, jangan khawatir. Di masa depan tidak ada lagi orang yang bekerja di bank. Semua nasabah bisa bertransaksi dari rumah mereka sendiri.”

            Alona tersenyum. “Lalu apa pekerjaan orang-orang di masa depan?”

            “Seniman. Pengusaha. Ilmuwan. Politikus,” jawabku.

            Jam di dinding ruang tamu Alona berdentang. Dari luar terdengar bunyi letusan kembang api saling menyahut.

            Alona beranjak dari sofa dan membuka pintu, membuat suara letusan kembang api terdengar nyaring sekaligus mengantarkan hawa malam yang dingin merambat masuk ke dalam rumah

            “Happy birthday, Alona,” ucapku.

            Alona berbalik menatapku. Tak ada raut terkejut di wajahnya. Mungkin ia memang percaya bahwa aku berasal dari masa depan dan wajar saja mengetahui segala hal tentangnya, termasuk hari yang disepakati sebagai hari kelahirannya. Ia ditemukan di depan pintu panti asuhan pada pagi hari di tanggal satu.

            Alona berjalan menghampiriku. Ia duduk di sampingku tanpa mengalihkan matanya dari wajahku. Tiba-tiba ia menyentuh pipiku dan mendaratkan ciuman yang lama di bibirku.

            “Happy new year, Marco.” Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya begitu ciuman kami yang panjang berakhir. Aku terkejut. Dari mana ia tahu namaku?

            (*) Aku baru saja akan naik ke salah satu angkutan umum yang berhenti di depanku ketika seseorang menarik lenganku. “Tidak jadi, Pak.” Wanita itu memberitahu sopir angkutan umum dan angkutan umum tersebut melengos begitu saja dari hadapanku.”

            “Hei!” Aku protes.

            “Tidak usah cemas! Kau masih punya 45 menit untuk tiba di kantor tepat waktu. Kau tidak pernah terlambat. Kau adalah karyawan yang datang paling pagi. Oh, kedua. Yang pertama cleaning service.”

            Aku mengerutkan dahi demi memandang seorang wanita di hadapanku ini. Dari beberapa helai rambutnya yang memutih aku sudah bisa menebak berapa usianya.

            “Aku adalah kau dari masa depan,” katanya lagi.

            Aku terbahak-bahak demi mendengar ucapannya. Ada apa dengan hari ini? Sudah ada dua orang yang muncul di hadapanku dan mengaku berasal dari masa depan. Aku sempat menduga hari ini April Mop, tapi kemudian aku sadar, ini penghujung Desember. Beberapa jam lagi tahun baru 2019.

            “Mengetahui betapa keras kepalanya dirimu, aku sadar tidak punya waktu untuk menjelaskan semuanya, tapi jika kau memang tak percaya padaku, pergi dan adukan lelaki di rumahmu itu pada Kenzou. Kenzou akan datang dan mengusirnya. Lalu kau dan Kenzou akan menikah dan kalian tidak akan memiliki satu orang anak pun karena memiliki anak tidak pernah ada dalam rencana masa depan Kenzou.”

            Aku tercengang menyadari semua hal yang dipaparkan wanita paruh baya ini. Dari mana ia tahu tentang Kenzou? Dari mana ia tahu aku akan mengadukan perihal lelaki asing yang muncul di depan rumahku pada Kenzou?

            “Kau selalu menginginkan sebuah keluarga yang besar. Kau ingin memiliki anak-anak yang di dalamnya mengalir darahmu. Kau ingin memiliki ikatan darah dengan manusia lain yang ada di bumi. Kau tidak pernah tahu siapa orang tua atau saudaramu. Kau tidak pernah tahu siapa dirimu sebenarnya. Bahkan tidak ada yang bisa memberitahumu tanggal berapa sebenarnya kau dilahirkan ke dunia. Apakah seorang ibu telah melahirkanmu ataukah kau hanya kebetulan dijatuhkan dari paruh seekor bangau.”

            “Cukup!” Aku menjeda. Semakin lama, ucapan wanita tua ini terdengar seperti lelucon bagiku. Apakah ia orang gila ataukah orang depresi yang sedang berhalusinasi?

“Namanya Marco. Lelaki yang muncul di teras rumahmu,” katanya lagi. Aku bergegas pergi menjauh. Ia tidak tampak menyusulku. Ketika salah satu angkutan umum berhenti di dekatku, aku segera naik dan mencoba melupakan segalanya.[]