/Langkah Pertama/
11 Maret 1994
Apakah Semeru masih aman untuk kita daki, setelah semburan abu vulkanik yang meruntuhkan jantung orang-orang seminggu yang lalu, Nan? Kita pernah punya kisah di sana. Mencatat segala harapan-harapan tanpa terlewat. Tak lama setelahnya baru muncul kejadian yang sangat menyedihkan. Orang-orang berhambur, berlarian, ketakutan, mengungsi, dan menangisi rumah-rumah yang tertimbun abu. Mereka mengungsi di tempat yang sangat jauh, sementara rumah itu sudah tidak dapat ditinggali lagi. Ke manakah mereka berpulang setelah kejadian itu selesai? Apakah harapan-harapan akan runtuh selayaknya abu yang menyebar ke sekujur tubuh? Apakah ini menjadi sebuah kisah yang tak terlupakan seperti trauma yang membekas dalam ingatan? Benar, sungguh beruntung kita pernah merasakan mendaki gunung lebih awal. Meski tidak sampai pada puncak, aku tetap merasa puas. Aku menatap wajahmu, sembari menggenggam tanganmu. Sangat erat.
“Jangan takut, Wir. Ini sangat indah, bukan? Lihatlah, matahari muncul secara perlahan.”
Setelah itu aku sudah tidak ingat apapun. Cerita Dondon—karib kita, tubuhku lemas, pikiranku entah menjelajah ke mana, tatapanku kosong beberapa saat, kemudian perlahan mataku mengatup. Dondon mencoba membuka dengan sedikit menarik katung mataku pelan-pelan ke atas, namun konon katung mataku terasa kaku untuk terbuka. Bibirku bergetar dan membiru. Tubuhku dituntun kawan-kawan turun secara perlahan, sementara kau menangisi diriku dari belakang sepanjang perjalanan. Apakah itu benar?
“Kamu pasti kuat, Wira! Pasti,” ucapmu.
Lagi-lagi Dondon menceritakan dengan penuh semangat kepadaku. Ia merekaulang dengan penuh keyakinan wajah panikmu. Apa memang sebegitunya kau mencintaiku? Bahkan ketiga kawan kita—Dondon, Sulas, Asto pun tak banyak bicara setelah kejadian ini. Dua minggu setelahnya aku baru tahu, bahwa mereka ternyata turut trauma ketika melihatku yang nyaris mati—sebelum bercerita kejadian-kejadian aneh yang menimpa, dan sampai melihat keajaiban dalam tubuhku.
Pada akhirnya aku sudah lama tidak mendaki gunung pasca dokter memvonis diriku mengalami hipotermia awal Januari tahun 1992 setelah pendakian itu. Aku yakin dan berusaha mencoba sembuh dari hipotermia, dan meruntuhkan kelainan trauma di kepala, melenyapkan ingatan-ingatan buruk, meruntuhkan ketakutan dengan cara melakukan hal-hal lain yang aku suka; melukis, menulis puisi, membaca buku. Namun ternyata sia-sia. Justru kini aku harus ikhlas menerimamu sebagai perempuan yang selalu menghindar dari masa lalu, terutama dariku.
“Aku tidak ingat.” katamu.
Kau sama sekali tidak ingat perjalanan bersamaku bertahun-tahun itu? Ini omong kosong! Kau mengalami traumatis yang parah. Sehingga berhari-hari berada di dalam kamar tanpa satu pun orang yang kau perbolehkan masuk, terutama ibumu. Ibumu akan berjalan secara hati-hati ketika kau terlelap atau lengah. Ia meletakkan makanan, buah, air meneral, dan segelas susu di atas meja untuk sarapan pagi, siang, atau malammu.
Suatu hari Sulas mengunjungi rumahmu. Ia mencoba menuntun ingatanmu pelan-pelan, namun kau sama sekali tidak mau mengingat sedikit pun tentang perjalanan kita, kisah mendaki gunung, makan di pinggiran jalan kaki lima. Ketika mendengar namaku, kau justru berteriak sekencang-kencangnya sehingga Sulas ketakutan. Baiklah, Nan, jika kau tidak ingat—pertemuan-pertemuan kita, lantas bagaimana denganku yang kerap terserang hipotermia ketika pergantian musim, dan setiap pergantian itulah aku teringat kau? Aku pun kerap gelisah ketika mendengar berita kesedihan dari letusan gunung yang mencetak banyak kematian. Ketika aku mengingat gunung, di sanalah aku mengingat namamu. Aku membutuhkanmu!
Pada akhirnya waktu tetaplah sia-sia, Nan. Aku biasakan sibuk menyelesaikan persoalan-persoalan orang, untuk melupakan gangguan yang ada pada diriku, agar traumatisku lekas pudar perlahan dari dalam kepalaku. Meski pada akhirnya justru persoalanku sendiri tidak pernah mampu kuselesaikan dengan baik. Tentu kau tahu, Nan. Beginilah berprofesi sebagai pengacara, yang sebenarnya tidak pernah kuinginkan sama sekali. Tidak pernah sekali pun terencanakan dalam struktur pikiranku.
/Langkah Kedua/
20 November 1995
Pagi selepas azan subuh, kau sudah mempersiapkan pergi dari rumah. Meninggalkan dan merelakan cinta, kisah-kisah, dan luka. Kau berjalan pelan-pelan agar suara langkah pada sepatumu tidak terdengar ayah dan ibumu yang masih tertidur pulas. Kau merasa kecewa karena semalam pertengkaran hebat dengan ayahmu adalah sebuah penyesalan sekaligus kekecewaan. Segala keputusan-keputusan yang kau terima berasa sepihak dan tidak menguntungkan bagimu. Kau merasa terpojok dan tidak ada penawaran apapun. Barangkali kau sudah menduga justru akan membuatmu terpuruk, buruk, dan kecewa selama-lamanya.
Kau membuka pintu pelan-pelan. Semestinya ini tidak perlu kau lakukan berkali-kali—kabur dari rumah hanya perkara berbeda pandangan dengan ayahmu, Nan. Pada akhirnya kau keluar dari tekanan yang sama sekali tak kau harapkan. Kau perlahan-lahan bisa sembuh dari traumamu atas kerja keras dokter Wiyoko, namun emosimu masih tidak bisa dikendalikan. Kau menjadi perempuan yang sangat keras kepala ketika apa yang kau inginkan tidak terpenuhi. Bagaimana kalau kita mengingat kembali mendaki gunung? Atau ketika kita minum susu jahe merah dan makan mendoan di warung pojok Simpang Tiga Jalan Kemangi? Ah, jangan tergesa. Aku takut trauma itu tumbuh, dan kecemasan-kecemasanku menjalar kambuh. Padahal ayahmu sudah meminta lebih dulu kepada Bi Wandela—bibimu untuk turut menerapimu, agar kau tetap baik-baik saja, dan kembali seperti semula. Setelah kau sembuh mengapa kau kabur dari rumah?
Pulang dan diamlah sejenak di rumah, Nan. Tenangkan pikiran, dan atur napas emosimu. Jangan risau dan tumbuh dalam kekalutan yang sebenarnya dapat kau runtuhkan sendiri. Bagaimana rasa kecewa ayahmu ketika melihat anak semata wayang yang dinanti tumbuh besar, justru malah tak dapat diatur hanya perkara cinta? Apa yang dirasakan ibumu ketika kau meninggalkan rumah hanya perkara tidak taat di rumah?
“Tapi aku mencintaimu,” katamu.
Ayahmu membesarkan kau hingga menjadi gadis dewasa dengan penuh cinta, bukan? Kau lebih dulu mengenal ayahmu, Nan. Aku bukanlah siapa-siapa. Apa yang kau harapkan dari lelaki yang baru saja kau kenal? Lantas apa kau tak bertaruh kasihan, membalas cinta untuknya dengan menggenapi permintaannya? Pelan-pelan akan menjadi terbiasa. Pelan-pelan kau akan cinta dengan orang yang sebenarnya tak sama sekali kau cintai.
“Aku lebih baik tidak sama sekali, jika tidak denganmu.”
Kau memang keras kepala, Nan. Aku pun mencintaimu, namun aku merasa berdosa dan bersalah terhadap ayahmu. Kau tahu itu, bukan? Semenjak aku terlibat dalam pengerukan pasir di perusahaan itu, ayahmu sama sekali tak mau menyapaku. Ah jangan pun menyapa, melihat saja sepertinya sudah sangat alergi. Namun baiklah, jika memang itu sudah bulat menjadi sebuah keputusan, maka aku akan melancarkan jalanmu, Nan. Semoga tidak ada penyesalan dalam perjalanan.
/Langkah Ketiga/
31 Desember 1995
Jika kau dari arah pantura, bilangan Brondong, Lamongan, susurilah di sepanjang jalan lajur kiri ke arah Surabaya. Pandanglah lebih dalam biru lautan yang tenang di bulan Desember di laut bilangan Paciran. Kau akan mampu meletakkan kelelahanmu satu persatu di pundak sebelah kiri, kemudian kepalamu bersandar di jendela mobil yang terbuka. Matamu akan disuguhkan hamparan biru laut yang indah. Kau rasakan setiap hempasan angin dari mobilmu yang melaju. Jauh…, lebih jauh….
Teruslah melintasi Jalan Daendels sejauh tubuhmu yang dipisahkan denganku oleh ayahmu. Barangkali kau bisa melihat tanjung dari kejauhan, atau batu-batu mati di bibir pantai. Perlu kau ketahui, bahwa semua itu mampu kau lihat di saat angin barat tidak tandang, dan gelombang-gelombang menghantam karang. Angin sepoi akan menghanyutkan ingatan-ingatan kesedihanmu di sepanjang pantai. Perlahan kau akan tersenyum dengan sendirinya, napasmu akan lega di dada.
Ah, aku turut berduka atas apa yang menimpa kau, ibu, dan ayahmu sewaktu itu, Nan. Pada akhirnya perpindahan rumah menjadi perpisahan yang sama sekali tidak kita rencanakan. Perpindahan itu hanya perkara hal yang sebenarnya tidak sama sekali kalian inginkan, bukan? Bahkan ayahmu sebenarnya keras menolak untuk pindah rumah. Ini karena terpaksa. Aku yakin, ini karena terpaksa.
Barangkali waktu tak akan mampu diulang, kecuali kau merengek dan mencium lutut ayahmu. Itu pun jika ayahmu memiliki rasa iba dan mencintai anak semata wayang sepertimu. Aku rasa sangat mustahil. Ayah mana yang rela membuat anaknya menderita. Jika itu memang terjadi, maka keputusanmu menemuiku adalah langkah yang tepat.
Setelah lututmu kejur, sebab terlalu lama memijak alas mobil, maka istirahatlah sejenak di pinggiran Tandes, melenturkan kaki. Mampirlah dan pesanlah es tebu di tepi jalan. Meneguk sembari mendengarkan musik Jawa dalam perjalanan menuju tol Gresik-Surabaya, sejauh mata batinku yang menembus dadamu. Aku sebenarnya tidak mengerti upaya ayahmu. Seumpama kampung ini masih menyimpan kabut meski sudah pukul 06.00 seperti dulu, maka orang-orang saat ini pasti masih beringsut di dalam selimut. Bisa kau bayangkan bagaimana udara yang menggigilkan tubuh, tunas-tunas tumbuh tanpa disentuh. Dan gunung nampak begitu jelas ketika langit sedang biru, tanpa awan.
/Langkah Empat/
31 Januari 1996
Usia kita sudah sangat matang. Keputusan menikah sudah menjadi kesepakatan kita bersama. Terlalu lama menunda pun tidak baik bagi usia kita, bukan? Pada akhirnya orang tuamu datang meski aku tahu ia sangat tidak rela kau menikah dengan orang yang pernah menjadi bagian menyakiti hatinya.
“Redam hati ayahku.”
Sudah berkali-kali aku meredam dan membujuk rayu ayahmu. Namun selalu gagal. Kau tak lebih sama dengan ayahmu, keras kepala! Bedanya aku memiliki cinta, sehingga aku bisa sedikit leluasa mengatur rasa cinta dan memenuhi segala permintaanmu. Apakah memang kalian terlahir seperti batu yang selalu menafsirkan sesuatu secara sepihak dan memberi keputusan-keputusan tanpa pertimbangan siapa pun?
Tolong sampaikan kepada ayahmu, Nan. Aku hanyalah orang suruhan sementara yang diperintahkan membujuk dan merayu orang-orang kampung dalam proses pengerukan tanah oleh perusahaan batu bara. Aku hanyalah meminta orang-orang kampung menandatangani ganti-rugi tanah yang dibeli. Terlepas ada yang meninggal—kawan ayahmu—menolak ganti rugi menjual tanah, aku tidak turut campur dalam urusan itu. Pascakejadian itu, aku sudah menghentikan dan memutus hubungan kerja sama dengan mereka. Aku hanyalah pengacara yang mencoba meluruskan proyek itu. Selebihnya segala yang terjadi bukan tanggung jawabku, dan bukan campur tanganku, Nan.
/Langkah Kelima/
27 Januari 2022
Nan, marilah perlahan kita mengingat awal kita bertemu, naik gunung, pergi ke simpang tiga; makan mendoan dan minum susu jahe merah. Marilah mengingat kembali keputusan-keputusan yang kita sepakati hingga melangsungkan pernikahan. Semua ini semata-mata karena kita cinta, bukan? Aku tidak peduli apa yang terjadi setelahnya. Terpenting aku bisa hidup bersamamu. Sejak awal kau tahu aku terserang hipotermia, aku menerima kau yang dilanda traumatis parah. Lantas hal itu tidak pernah sama sekali menjadi keputusan untuk mundur. Justru kita tetap melaju. Sebab aku yakin kita bisa melakukan dengan sebaik-baiknya.
Nan, aku tak percaya bahwa traumatismu lenyap begitu saja, namun mengapa kini berganti kau terserang demensia? Dan saat ini, di usia kita yang beranjak lansia kau melupakan perjalanan di separuh usiamu. Kau hanya mampu mengingat perjalanan ketika kau berusia 25 tahun. Kau memanggil-manggil ayahmu, ibumu. Kau mengingat mantan pacarmu, seorang perwira yang meninggalkanmu menikah dengan perempuan lain. Semula ayah dan ibumu bertaruh nasib menyetujui hubunganmu dengan Jose, seorang perwira yang bertugas di perbatasan Papua. Namun sayang, orang tua Jose menolak keras karena kalian berbeda agama. Sewaktu itu aku sudah mengenalmu, dan tahu bagaimana kisah cintamu, Nan. Hingga akhirnya aku datang menghiburmu bersama kawan-kawan. Naik gunung, jalan-jalan, ngopi, dan sebagainya. Hingga akhirnya aku jatuh cinta denganmu. Kau ingat itu?
Nan, aku antar pelan-pelan ingatanmu. Ayahmu meninggal awal Januari 2010, sebulan setelahnya disusul ibumu. Mereka tanpa gejala atau sakit apapun, Nan. Iya barangkali karena sudah menua. Aku ingat betul kau sangat terpukul berkelanjutan. Air matamu belum kering, sudah dipaksa meriak kembali. Aku peluk, dan mengusap-usap punggungmu setiap kali kau mengingat orang tuamu.
Nan, kemarilah duduk di sampingku. Menyeruput kopi dan makan kue lapis pemberian anak kita yang pulang dari perantauan kota Medan. Mereka sengaja datang mengunjungi kita bersama istri dan dua anaknya yang sangat lucu-lucu. Khadijah berusia 5 tahun dan Yusuf berusia 3 tahun. Apakah anak kita meneruskan pengalaman dan nasib yang sama setelah memutuskan menjadi pengacara sepertiku? Ah, aku rasa tidak. Bukankah perjodohan ia baik-baik saja, dan mereka mampu menerima kita dengan leluasa, kan?
Aku ingin mengulang kebersamaan seperti dulu, meski kita tak lagi muda, Nan. Meski kita sudah masuk di usia lansia. Kemarilah, Nan. Kupeluk kau sekuat tenaga. Pada akhirnya aku kembali membiarkan kau memanja, seperti awal mula kita menikah. Setelahnya kau lupa segala-galanya. (*)
Tangerang Selatan, 2023
image by istockphoto.com