Pandemi Covid-19 membuat semua sektor perekonomian anjlok. Mulai dari perusahaan besar, hingga UMKM terkena imbasnya. Namun, mungkin bagi mereka yang pengusaha masih bisa bertahan dengan sisa uang tabungan atau beralih profesi atau mengatur siasat lainnya. Tapi bagaimana dengan seniman jalanan? Yang hanya mengandalkan penghasilan dari perform di sudut kota dan tempat umum yang sudah berbulan-bulan ini juga tak bisa melakukan aktivitasnya karena masih dilarang oleh pemerintah.

Berikut wawancara eksklusifnya dengan Rektor Institut Musik Jalanan (IMJ) Andi Malewa terkait fenomena ini.

_____

  • Salam hangat Bang Andi. Bang memang sebenarnya bagaimana kondisi para seniman jalanan saat ini?

Salam juga, Mas. Sedih betul nasib menjadi musisi kelas bawah di tengah pandemi ini. Hampir di semua tempat mereka dilarang untuk beraktivitas, padahal kalau mau jujur, justru musik dan hiburanlah yang bisa menjaga kewarasan kita semua di tengah situasi seperti ini.

  • Apa upaya yang sudah teman-teman lakukan untuk bisa bertahan hidup?

Saya sudah seringkali share kondisi pengamen-pengamen di tengah pandemi. Alat-alat musik yang sudah habis terjual demi bertahan hidup, sampai ada yang rumah tangganya harus berakhir dengan perceraian karena situasi ekonomi “menginjak-injak” harga diri keluarga mereka.

  • Memang sekeras apa larangan bagi para pengamen saat mencoba memaksa melakukan aktivitas mengamennya?

Beberapa bulan lalu beredar video pengamen yang ditendang oleh petugas karena beliau berusaha nekad “ngamen” keliling kampung demi mencari sesuap nasi untuk anak istrinya. Dari video itu memang terlihat jelas kalau bapak pengamen itu melintasi zona yang dilarang, dan beliau tidak memakai masker. Tapi, tindakan arogan dari petugas itu juga sama sekali tidak bisa dibenarkan.

BACA JUGA:
Ruhandi: Jangan Salahkan Orang Kota Masuk ke Desa-Desa

  • Terkait hal itu, bagaimana peran IMJ dalam menghadapi situasi semacam ini?

Sejak awal PSBB diberlakukan, Institut Musik Jalanan berusaha untuk membuat sebuah rumusan protokol kesehatan. Tujuannya satu, agar kawan-kawan musisi bisa kembali beraktivitas mengamen dengan protokol kesehatan, bahkan tanpa ada penonton & mendapat pengawalan ketat dari petugas. Tapi, tetap saja, kan ada yang tidak suka kalau musisi kelas bawah kayak kita-kita ini berkegiatan. Efeknya, satu lokasi ngamen kami harus berhenti total karena ada yang lapor ke Pemkot kalau kami buat konser. Mungkin sang pelapor enggak pernah datang ke acara konser sehingga sulit membedakan mana konser mana ngamen akustikan.

  • Memang, sudah sejauh mana prosedur protokol kesehatan yang teman-teman pengamen penuhi untuk dapat izin akustikan?

Jauh sebelumnya, kami dan pihak pelaksana acara sudah merumuskan berbagai aturan mengikuti standar protokol yang telah ditetapkan dan semua aturan itu sudah kami ikuti. Berangkat dengan kendaraan pribadi, semuanya di cek suhu badan, alat-alat musik pribadi disterilisasi, pakai masker dan face shield, tidak ada satu pun bangku penonton di depan stage, dan dikawal oleh aparat kepolisian. Ya, musik yang kami maksudkan semata agar lokasi tersebut lebih hidup setelah sekian lama tidak beroperasi.

  • Kalau dari diri pribadi Bang Andi sendiri, bagaimana perasaannya dalam situasi saat ini?

Saya jadi bingung, ya. Aktivitas lain yang jauh lebih ramai dan tanpa protokol kesehatan, kok malah santai-santai saja, ya. Apa iya musisi kelas bawah ini cukup disuruh diam-diam saja di rumah? Atau memang musisi jalanan ini dibiarkan saja mati membusuk karena kelaparan, atau nunggu sampai mereka depresi karena keadaan ekonomi lalu berbuat kriminal? atau bunuh diri karena tekanan ekonomi? “Kreatif dong”, itu nasehat orang banyak.

  • Apakah kawan-kawan sudah coba mencari alternatif lain?

Sebagian orang mungkin bisa mencari alternatif lain, dan kondisi terjepit kadang memang membuat manusia menjadi lebih kreatif. Tapi, kan enggak semua orang bisa seperti itu, Bung. Bagaimana dengan mereka yang mengalami segala keterbatasan? Hp enggak punya karena sudah dijual demi beli beras, hutang sudah numpuk di mana-mana, saudaranya semuanya lagi susah, apa mau ngemis pinjeman terus? Gimana dengan yang disabilitas?

Kalau mau berteori, 1 abad pun enggak akan selesai kita debat. Persoalan yang ingin saya tanyakan, kenapa profesi lain boleh beraktivitas dengan protokol kesehatan sementara ngamen dengan protokol kesehatan enggak boleh? Adil itu apa, sih?

Seorang artis bilang “Ngamen online dong!”

Enggak usah ngajarinlah, saya orang pertama di republik ini yang bikin terobosan ngamen pakai QR Code, bahkan yang pertama di Asia Tenggara, jauh sebelum pandemi. Toh nyatanya netizen lebih suka nonton drama-drama tolol seperti Ferdinan Paleka, kan daripada nonton para musisi kelas bawah ngamen online. Come on!

  • Lalu upaya apa yang dilakukan anak-anak IMJ sekarang?

Anak-anak IMJ akhirnya terpaksa kembali ngamen di jalanan. Kembali ngamen di pasar, ngamen di tempat-tempat yang jauh lebih beresiko terpapar Covid-19. Uang cash yang mereka dapat dari hasil ngamen di jalanan itu langsung masuk kantong, enggak peduli lagi steril atau enggak, yang penting bisa bawa pulang uang. Ada anak tunanetra IMJ yang ngamen di pasar, lalu ditangkap satgas Covid-19. Diomelin, disuruh pulang, dia sampai mohon-mohon, “Pak saya izin ngamen sebentar aja Pak buat beli beras di rumah”.

Satgasnya jawab : “Pak diem-diem aja di rumah, rezeki mah udah ada yang atur. Bapak mau pulang atau saya tangkap!”. Alhasil pengamen ini terpaksa menjual sound portable-nya yang notabene merupakan satu-satunya senjata yang dia punya untuk menghidupi anak dan istrinya. Dia jual demi bisa punya ongkos pulang dan beli beras buat anaknya.

  • Kalau pesan dan harapan Bang Andi bagaimana?

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak kawan-kawan semua untuk ikut berpikir. Tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang mau tertular Covid-19, tidak ada. Dan tidak ada satu pun orang yang mau mati kelaparan bersama anak istrinya di dalam rumahnya karena karena tidak bisa mencari nafkah.

Sebelum ada yang ceramah panjang lebar tentang tulisan ini, izinkan saya kasih tahu sedikit info hal apa saja yang sudah kami lakukan untuk menyalurkan kemarahan ini dengan bijak.

  • Silakan, Bang. Apa itu?

Institut Musik Jalanan dan KPJ Indonesia telah membuat sebuah protokol turunan resmi yang berdasar pada SKB 2 Menteri (Kemdikbud & Kemenparekraf), Satgas Covid-19 dan Kemenkes, tentang aktivitas new normal. Isi protokolnya sangat lengkap untuk digunakan sebagai panduan aktivitas ngamen new normal, bahkan bisa digunakan untuk semua musisi kafe, wedding, dan pertunjukan seni di ruang publik.

  • Wah, ini langkah yang tepat, Bang. Adakah harapan di baliknya?

Kami berharap, semua ruang-ruang publik untuk musisi jalanan dibuka kembali tentunya dengan aturan new normal yang ketat. Pun begitu dengan kafe, mall, wedding, dan sanggar pertunjukan. Saya rasa hanya itu yang bisa menyelamatkan, sambil menunggu vaksin Covid-19 siap untuk kita gunakan. Kini, semua kebijakan terkait dibukanya aktivitas ngamen tersebut ada di tangan kepala daerah dan kami sedang menunggu surat edaran tersebut direalisasikan agar semua musisi kelas bawah seperti kami bisa tetap bertahan hidup tanpa harus mengharapkan bantuan dari panggung DONASI!

So, pesan saya berhentilah mencaci apa yang sama sekali tidak kamu ketahui. Belajarlah melihat semua persoalan dengan adil. Apalagi bagi kamu yang baru mulai belajar adil sejak dalam pandemi. (rhu)

BACA JUGA:
Ruhandi: Jangan Salahkan Orang Kota Masuk ke Desa-Desa