“Sinar ini adalah belati yang akan menyayati tubuh mereka,” kata Baduri yang menatap sepotong cahaya datang ke depan pintu kamarnya. “Benarkah engkau tega mengiriskan belatimu pada yang bungkuk itu?”

            Angin memberlalukan tanya-tanyanya yang ia sampaikan dengan gelap. Namun sepasang burung menukik dari atas pohon untuk mengganti seruannya yang lenyap, dengan kicauan yang serak dari tenggorokannya yang luka. Lalu, ketika darah kian menetes dari jepitan paruhnya, burung itu kembali meninggalkan sejulur ranting yang sebelumnya ia singgahi—dan meneruskan perjalanannya untuk mencari sumber genangan mata air untuk membasuh luka yang ada di dalam tenggorokannya.

            “Sawah ini masih hijau ketika musim hujan dan akan berguguran ketika musim kemarau—semua akan jatuh menjadi timpaan debu.”

            Ia berdialog dengan dirinya sendiri.

            “Apa yang ingin engkau ceritakan kepadaku?”

            “Ahh…, hanya tentang bongkoknya para petani.”

            “Itu, kan hal yang biasa.”

            “Biasa bagi kita, bukan berarti biasa bagi mereka.”

            Sebuah cermin kecil yang tergantung di dalam kamarnya, menjadi kawan bicaranya. Sebab mencari kawan yang mempunyai daya juang sama, itu sangat sulit.

            “Alangkah indah betul ladang padi-padi ini. Semua menunduk dengan kebuntingan perutnya yang meras dan berisi. Jika semua seperti ini, para petani akan merasa sangat bangga dengan ketercapaiannya dalam hal merawat tanamannya di sawah. Dan mereka akan menjadi lebih bersemangat untuk menancapkan cangkul dan garpu besarnya dalam proses penyuburan tanah. Agar hasil setiap padi yang terpanen berkualitas,” tuturnya dari bawah pohon yang besar. “Tapi mungkinkah cangkul dan garpu besar ini hanya menancap pada tanah saja? Apakah tidak boleh nyasar dan menancap pada setiap bahu tegak mereka?”

            “Tapi siapa yang akan berani melakukan hal begitu?” kata seseorang lelaki yang hendak turun dari atas pohon, sambil menggenggam sebuah mangga di tangan kirinya.

“Pohon siapa yang kau ambil buahnya itu?” sapanya.

            “Ini warisan nenek moyang kita. Siapa pun boleh mengambil buah pohon ini! Jangan mentang-mentang karena kamu menjadi pekerjanya orang Belanda, kamu menjadi sinis kepadaku. Meskipun tuanmu si Fendrick adalah seorang konglomerat, aku tidak pernah takut!” sambil membuang muka usai melompat dari  badan pohon. “Jangan pernah lupa dengan peristiwa se-abad yang lalu. Ketika banyak lengan dan kepala tergantung di dahan-dahan pohon ini—sebagai bukti pesta kemenangan dan pemberontakan para petani terhadap kompeni-kompeni blangsat itu,” tambahnya.

            “Bedebah!!! Apa yang harus kita lakukan? Semua tanah yang ada di desa ini sudah hampir tak dipertuan oleh masyarakatnya. Tetapi mereka yang bertamu justru menjadi tuan tanahnya,”

            Percakapan itu semakin menjadi: seperti seorang penyair yang sama-sama mencari solusi untuk pemberontakan—pasca melihat segala hutan terampas dan melihat para petani mengolah sawah hanya untuk berburu upah.

            “Kamu itu jongos!” ejek Suardi kepada kawannya. “Jangan terlalu kau rawat dengan sungguh-sungguh sawah-sawah itu. Sebab bukan milikmu, tapi milik mereka. Kau jangan mau diperbudak secara terus-menerus dan dikerbaukan dari musim-kemusim. Upahmu takkan selaras dengan apa yang kerjakan untuk tuanmu. Tapi mereka akan semena-mena menggajimu. Lihat saja! Suatu saat tanah yang kau rawatsekarang akan musnah. Menjadi bangunan-bangunan besar dan tinggi milik kerabat-kerabat tuanmu. Sementara keadaan kita tetap seperti ini dan rumah yang kita tetap seperti kandang ternak.”

***

            Setelah dua hari kemudian, Suardi bertemu kembali dengan kawannya itu. Ia sangat merasa kasian dengan kawannya yang diperbudak. Kulit-kulitnya menjadi hitam dan keriput, serta dengan pundaknya yang membongkok. Maka terpaksalah ia memberhentikan kawanya itu, agar mau berbincang-bincang dan menikmati segala kudapan yang sengaja ditunggukan.     Dalam pertemuan itu, mereka ingin membongkar dan mengungkit cerita-cerita pahit di desanya yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun tiba-tiba angin menjadi kencang, hujan deras turun, hari berganti petang, serta nyanyian geledek yang menyapa dari atas rumah yang mereka diami.

“Barangkali Tuhan melarangku mengungkit sejarah pahit yang ada desa ini!”

            “Kita jangan pernah lupa dengan peristiwa tanam paksa yang menindas petuah-petuah terdahulu pada tahun 1830-an. Bahkan setan-setan keparat itu menganggap rakyat-rakyat kecil Indonesia bukan lagi manusia. Tetapi mereka menganggapnya sebagai binatang yang tidak lebih dari segerombolan lembu pembajak sawah,” tegasnya.

Cerita itu berjalan sesuai dengan apa yang mereka diinginkan. Mereka juga mengalihkan ceritanya pada dekade-dekade sebelum dilahirkan—tetapi ceritanya tidak lebih dari se-abad, katanya. Menurut isi dalam ceritanya: dahulu ada seorang buruh yang terbunuh oleh beberapa peluru yang menembus di kepalanya. Padahal ia tidak pernah melakukan kesalahan apa pun di sawahnya ataupun saat bekerja di sawah milik tuannya. Ia hanya bercocok tanam dan merawat tanaman-tanaman yang tuannya suruh. Karena ia berburu upah hanya untuk menyambung hidup. Bukan untuk menguasai sebuah negeri ataupun menjadi pemberontak. Tapi sudah tidak bisa ditolak, karena bendera perang sudah ada yang mengibarkan. Maka jangan salah, jika kemudian para buruh melakukan penumpasan besar-besaran.

            Di tengah malam yang gelap dan langit yang kehilangan bulan—para buruh berdatangan dari seluruh desa. Dengan membawa peralat-peralatan seperti cangkul, parang, kapak, keris, dan pedang untuk melalukan perbantaian. Lolongan-lolongan suara mereka begitu keras. Mungkin para buruh-buruh itu sudah meluap kemarahannya—dan sudah tidak dapat dianggap seperti kembau pembajak sawah. Tapi mereka sudah menjadi serigala buas yang siap mencabik-cabik mangsanya. 

Di bawah komando Sulatri, istri dari korban penembakan itu—semua buruh dikerahkan untuk menyebar. Dan ketika mereka telah selesai melakukan pembantaian, semua diminta kembali ke tempat semula berkumpul. Sungguh luar biasa dan beragam apa yang mereka bawa. Ada yang membawa kepala, dua lengan, satu paha, dan ada juga yang membawa tubuh yang utuh, namun sudah tak bernyawa—semua masih hangat! Darah-darah terus menetes tanpa henti dari setiap luka-luka potongan tubuh yang segar. Potongan-potongan tubuh itu mereka kumpulkan di depan teras rumah Sulatri.

Setelah semua datang dan membawa apa pun dari mangsa yang dibunuh. Langsunglah mereka membawa potongan-potongan tubuh itu ke sawah tempat suami Sulatri terbunuh. Lalu, mereka menggantungkan semua potongan-potongan tubuh segar itu pada setiap dahan-dahan pohon mangga yang berada di sebelah  timurnya. Semua bergelantungan di sana dan bergoyang-goyang dengan darah yang masih bertetesan. Bahkan, sampai sekarang, katanya pohon itu masih sering meneteskan darah dari setiap dahan-dahannya saat malam bulan purnama.

***

            Lima hari lima malam berlalu. Baduri mengisi hari-harinya dengan bekerja di sawah Fendrick, tuannya. Sedangkan Suardi  mengisi malam-malamnya dengan bekerja sebagai pandai besi. Semua alat-alat yang terbuat dari besi ada di rumahnya. Termasuk cangkul milik kawannya dan para petani lain adalah buatannya. Ia memang tidak suka bekerja pada siang hari. Mungkin, karena pada siang hari keadaannya panas. Belum lagi ditambah panasnya pemandaian besi. Mungkin dari itulah, ia tidak suka bekerja pada siang hari. Meskipun, ketidaksukaannya sedang ia batalkan dalam minggu-minggu ini. Sebab pasalnya, ia bekerja keras mulai dari siang hingga larut malam. Dan tidak pernah diketahui apa yang sedang ia kerjakan.

            Setelah satu minggu berlalu dengan malamnya, ia mendatangi rumah kawanya si Baduri dengan membawa sebuah cangkul yang gagangnya terbuat dari batang pohon mangga yang sering meneteskan darah setiap malam bulan purnama.

            “Kenapa kau begitu berani mengambil batangnya?”

            “Mengapa harus takut! Sudah pasti penunggunya tahu batangnya ini akan kugunakan untuk apa. Pasti diizinkan, kok!” jawabnya santai.

            “Tapi aku kagum dengan cangkul  ini. Mungkin dari sejumlah seni yang kau tempelkan ke setiap cangkul-cangkul buah tanganmu, inilah karya senimu yang terbaik yang pernah aku lihat.”

            Hari berlalu menjadi malam. Rumah Suardi tiba-tiba mati lampu. “Barangkali sengaja ingin menikmati kegelapan yang sangat sunyi dari dalam rumahnya,” kata Baduri saat melewati lorong kecil di samping rumah kawannya.

            Amplop berita menghampiri yang pulas di atas ranjang.

            “Tok…, tok…, tok,” pintu terketuk dari luar. “Baduri…? Baduri…? Baduri?”

Selimut yang begitu menghangatkan seketika terlempar dari tempat tidurnya.

            “Ada apa Suryani? Pagi-pagi sudah ke sini. Kita ‘kan mulai bekerja pukul 08.00 WITA. Tapi kenapa sudah ke sini sekarang?”

            “Aku ke sini bukan untuk mengajakmu bekerja. Tapi ini perihal sesuatu yang paling gawat!” wajahnya memerah dari depan pintu “Juragan kita meninggal: meninggal secara misterius, bahkan menjadi teka-teki sekaligus insiden pertama kali yang akan terukir di sejarah desa ini. Kepalanya hilang tidak tahu ke mana?” tambahnya, sambil berlari.

            Perasaan panik, kacau, bingung terjadi di kamarnya. Ia tampaknya juga begitu gelisah, terlihat dari caranya ketika memakai baju saat hendak ingin mengejar Suryani yang terburu-buru menuju rumah juraganya. Tetapi sebelum itu, ia memiliki keinginan untuk memberi tahu kawannya. Namun ketika sudah sampai di rumah kawannya, ternyata Suardi tidak ada. Ia hanya melihat sebuah mata cangkul yang berlumuran darah terpajang di atas meja ruang tamunya. Juga melihat seekor ayam mati tanpa kepala di depan halaman.

            “Sepertinya darah di mata cangkul itu dari leher ayam ini!” katanya dengan ragu.

            Tak sengaja, ketika menyusuri sawah menuju rumah juragannya. Tepat pada jam dua belas siang, ia melintas di bawah pohon angker itu. Ia sangat terkejut, ketika apa yang diisukan mengenai pohon itu rupanya benar-benar terjadi. Pohon itu meneteskan darah dan mengenai di wajahnya. Tubuhnya serentak gemetar dengan adanya tetesan darah yang masih segar dan berbau amis. Inginnya, ia tidak pernah menatap ke atas, tapi gelisahnya yang memaksa untuk melawan rasa takutnya. Ketika ia mulai melihat ke atas pohon. Ternyata darah itu bukan dari dahan-dahannya. Melainkan darah yang menetes dari kepala juraganya yang tergantung.

            Dengan seketika ia berkata “Ternyata ini pesan tegurannya kepadaku. Karena aku tak sanggup melakukan hal ini kepada si blangsat,” sambil berbalik arah membatalkan keinginannya untuk melayat.