Judul : Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir: Menjawab Teka-Teki Kebudayaan
Penulis : Marvin Harris
Penerjemah : Ninus D. Andarnuswari
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : Pertama, Mei 2019
Tebal : x + 262 halaman
Sudah menjadi insting manusia tertarik terhadap yang berbeda dengannya. Ketertarikan terhadap apa yang disebut Sang Liyan (The Other). Manusia berusaha memahami Sang Liyan dengan berbagai penjelasan. Rasanya manusia tidak bisa membiarkan keliyanan tersebut tanpa adanya penjelasan. Sehingga mereka berupaya dengan berbagai cara untuk mencari penjelasan.
Sejarah mencatat bahwa para penjelajah, dari pedagang sampai misionaris, tertarik dengan Sang Liyan yang mereka temui. Penuh antusias mereka mencatatkan perasaan mereka, mendeskripsikan apa yang telah mereka lihat. Kelak nantinya catatan-catatan tersebut menjadi berharga bagi generasi selanjutnya yang juga mau memahami Sang Liyan.
Antropologi berdiri sebagai ilmu yang berusaha memuaskan hasrat itu. Pada dasarnya perbedaan itu terletak di tataran budaya. Barat, sebagai pihak yang dominan, menyistematiskan penjelasan tersebut menjadi ilmu tersendiri. Kebudayaan menjadi unit analisis dari antropologi.
Marvin Harris sebagai seorang antropolog juga berusaha memahami berbagai budaya di dunia. Buku ini berusaha memaparkan penjelasan terhadap berbagai fenomena kebudayaan di dunia. Sesuai dengan judulnya, bagi Marvin Harris buku ini adalah upaya pemecahan “teka-teki kebudayaan” (riddles of culture).
Permasalahannya adalah antropologi bukan ilmu yang hanya terdiri atas satu paradigma. Berbagai paradigma mewarnai perkembangan antropologi. Tiap paradigma memiliki metode yang berbeda dalam melihat kebudayaan. Secara garis besar, paradigma itu terbagi menjadi dua, yakni naturalis dan hermeneutika. Naturalis mengikuti pola ilmu alam (sains) yang memiliki suatu teori yang ajeg (grand theory) dan bersifat menjelaskan. Hermeneutika justru berangkat dari sudut pandang kebudayaan itu sendiri dan tidak berusaha menjelaskan (eksplanatif), tetapi memahami dan cenderung deskriptif.
Bisa dibilang paradigma yang bersifat hermeneutik kala Marvin Harris menuliskan buku ini sedang marak. Harris merasa puas dengan penjelasan dari paradigma tersebut yang berhenti di klasifikasi budaya. Tapi sebab kebudayaaan tersebut tidak digali lebih dalam. Tidak ada dasar yang sama yang melandasi kebudayaan satu dengan yang lain.
Di sini Marvin Harris mengajukan metodologi baru. Metode itu disebut materialisme kultural (cultural materialism). Marvin Harris telah menuliskan beberapa buku mengenai metode itu. Di buku ini, ia mengkhususkan pembahasan mengenai bagaimana metode dioperasikan secara konkret terhadap kebudayaan tertentu. Pembahasan Harris cukup luas karena sebagai antropolog keterangannya berisfat holistik. Data-data mengenai kondisi ekologis suatu masyarakat, misalnya, menunjukkan pengaruh signifikan. Hal ini tidak dapat ditemukan dengan fokus pada relasi sosial budaya saja. Begitu juga sebagai seorang yang terpengaruh dengan pendekatan marxis, Harris turut memperhatikan faktor historis dengan menggunakan catatan-catatan sejarah.
Walaupun banyak budaya yang dijelaskan, Marvin Harris telah menetapkan strategi pembacaan terhadap buku ini bahwa penjelasan atas tiap budaya tersebut dibuat saling bersambung. Kesinambungan itu bukan berarti budaya itu terkait, tetapi kesinambungan berupa persamaan logika di balik kebudayaan itu. Inilah yang tidak ditemukan dalam paradigma yang bersifat hermeneutik. Persamaan logika itu terutama mendemistifikasikan kebudayaan yang dianggap memiliki alasan yang terletak dalam kebudayaan itu sendiri. Misalnya, kenapa sapi haram bagi kaum Hindu di India? Karena itu aturan agamanya.
Penjelasan dari Marvin Harris ini juga dibuat karena kekesalannya terhadap budaya tanding (counter-culture). Di mana budaya tanding menolak objektifikasi atau keyakinan bahwa ilmu harus bersifat objektif (hal. 5). Kondisi ini yang memungkinkan paradigma yang bersifat hermeneutik begitu merajalela. Menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan akal budi tidak dapat menjelaskan variasi-variasi dalam gaya hidup manusia (hal. 1).
Apakah materialisme yang dimaksud Harris dalam materialisme kultural? Pada dasarnya teori Marvin Harris ini sangat diilhami oleh marxisme. Materialisme yang dimaksud Harris sejalan dengan materialisme Marx yang meletakkan faktor material di atas ide sebagai dasar segala sesuatu. Sehingga materialisme ini adalah demistifikasi, penjelasan radikal yang tidak menolak penjelasan-penjelasan mistis.
Penjelasan-penjelasan mistis yang dimaksud adalah meletakkan sebab di wilayah yang transenden. Akal budi manusia tidak bisa menjangkaunya. Sehingga dalam kondisi seperti ini, satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah suatu budaya terbentuk begitu saja, sesuatu yang terberi (given), atau dalam istilah Hegelian, kebudayaan hanya dijelaskan sebagai manifestasi Roh Absolut.
Pengaruh marxisme lainnya adalah basis material (material bases), di mana Marvin Harris mengadopsi penjelasan basis-suprastruktur seperti halnya marxisme. Tetapi Marvin Harris memodifikasinya dengan meletakkan faktor demografi, ekologi, dan teknologi sebagai basis. Berbeda dengan marxisme yang menganggap mode produksi (mode of production) sebagai basis. Dalam pola pemikiran basis-suprastruktur, basis menentukan bentuk dari suprastruktur. Aspek-aspek yang termasuk suprastruktur salah satunya, terutama dalam materialisme kultural, adalah kebudayaan.
Penjelasan basis-suprastruktur Marvin Harris juga membuat pengaruh Marvin Harris meluas. Marvin Harris memberi perhatian terhadap faktor ekologis terhadap kebudayaan manusia. Sehingga materialisme kultural juga menjadi salah satu pendekatan di dalam cabang antropologi, antropologi ekologi. Misalnya ia menyatakan pengaruh ekosistem Timur Tengah yang tidak cocok untuk ternak babi.
Dalam penelusurannya, Marvin Harris juga menggunakan data historis yang kredibel dan sesuai dengan kaidah keilmiahan, bukan catatan sejarah yang penuh mistis. Analisis antropologi kebudayaan tidak hanya memperhatikan kebudayaan saja, tetapi juga akar historisnya. Terutama sejarah yang saintifik seperti halnya ajaran marxisme, materialisme historis.
Saya pikir catatan penutup yang dituliskan Dicky P. Ermandara sangat baik menjelaskan posisi Marvin Harris dalam antropologi. Penjelasan Dicky ini memang hal yang umum dalam antropologi seperti telah saya jelaskan di atas. Tak lupa pula disertai dengan penjelasan kelemahan, atau bahkan koreksi, terhadap materialisme kultural Marvin Harris. Koreksi terutama dalam penggunaan basis-suprastruktur yang dianggap menyimpang dari marxisme (hal. 259). Modifikasi di bagian basis dalam teori basis-struktur-suprastruktur dianggap problematik. Lebih dari itu, Dicky memosisikan dirinya sebagai pendukung pendekatan materialisme dalam antropologi. Terutama dukungannya pada pengadopsian ajaran marxisme sebagai metode dalam antropologi.
Dobrakan penting yang dilakukan Marvin Harris dan luput (atau memang bukan intensinya) dari catatan penutup Dicky P. Ermandara adalah materialisme kultural berusaha menembus dikotomi nature-culture (alam-budaya). Harris terlibat perdebatan mengenai determinasi budaya atau determinasi alam (geografi) terhadap suatu peradaban. Sehingga karya ini adalah contoh dari bagaimana metode materialisme kultural yang berusaha mengatasi dikotomi nature-culture. Meski begitu, menurut Philippe Descola (2013) dalam The Ecology of Others, visi dari pendekatan materialisme kultural adalah metode yang saintifik dan pencarian fakta objektif dalam antropologi selayaknya ilmu alam. Itu sebabnya di awal dan akhir buku ini, Harris mengkritik hadirnya counter-culture dan kaum relativis.
Saya berusaha melihat konteks yang lebih luas tentang materialisme dan pihak yang ditentang Marvin Harris, budaya tanding. Pada dasarnya, saya menganggap bahwa kondisi yang terbaik adalah berkembangnya antropologi yang bersifat emansipatoris. Antropologi Marvin Harris dapat diletakkan di dalamnya karena ia mendemistifikasi, radikal, dan membongkar dogma. Tetapi budaya tanding, dan juga budaya pasca-modernisme yang juga ditentang Marvin Harris, juga memiliki sifat ini dalam konteks tertentu.
Seperti Edward Said yang mengadopsi pendekatan Foucauldian untuk membongkar hegemoni Barat dalam Orientalisme. Begitu juga dekonstruksi ala Derrida yang sangat radikal. Secara eklektik terhadap kedua pendekatan tersebut, antropologi dapat berkembang sebagai ilmu yang radikal sekaligus emansipatoris. Seperti kritik Habermas pada kaum pasca-modernis bahwa yang diperlukan adalah meneruskan semangat emansipatoris sebagai Pencerahan (Aufklarung) yang sebenarnya. Semangat kritisisme dan emansipatoris harus terus dilanjutkan guna membongkar realita yang penuh ilusi dan mendukung opresi.