Saya pernah bertanya kepada para siswa saya mengapa mereka bersekolah di sini—di sekolah tempat mereka belajar dan saya mengajar kini? Jawaban mereka beragam. Ada yang menjawab karena mereka memang ingin sekolah di sini atas pilihan sendiri. Ada yang menjawab karena disuruh orang tua. Ada juga yang menjawab karena jaraknya dekat dengan rumah dan bahkan ada yang menjawab karena ikut teman. Tapi ada satu jawaban yang bikin saya tercengang: Karena mereka sudah sangat yakin tidak akan diterima di sekolah (negeri) pilihan mereka lantaran tidak lolos tes, baik itu tes akademik ataupun tes mengaji ataupun tes-tes lain yang dibuat sekolah yang dituju sebagai syarat penerimaan peserta didik baru (PPDB)!
Mendengar hal demikian, saya jadi terlempar ke belasan tahun lalu, di mana saya mengalami hal serupa namun dalam posisi berbeda. Saya dan dua teman saya mendaftar ke SMA dan mengikuti tes penerimaan siswa baru. Saat pengumuman kelulusan, saya lulus, sementara dua teman saya tidak. Saya tentu bersyukur sekaligus merasa kasihan kepada dua teman saya itu. Di samping itu, saya tetap merasa bangga, sohor, karena saya diterima di sekolah itu. Saya merasa lebih pintar dan lebih layak belajar di sekolah itu dibanding mereka. Hanya orang-orang pilihan yang bisa diterima di sekolah itu, pikir saya saat itu—meski pada kenyataannya banyak juga para siswa yang biasa-biasa saja dan bahkan kemampuan akademiknya di bawah rata-rata.
Namun, setelah menjadi pendidik, saya sadar bahwa pemberlakuan penerimaan (sekaligus penolakan) siswa baru melalui wasilah tes PPDB adalah sebuah bentuk nyata diskriminasi, seperti yang dialami murid saya dan dua teman saya di atas. Mereka mendaftar ke sebuah sekolah dengan niat belajar, tetapi sekolah yang mereka tuju menolak (dengan kata lain: tidak mau mengajar, tidak mau mendidik) karena mereka tidak lulus tes PPDB yang berarti mereka memiliki kekurangan dalam hal akademik atau mengaji atau yang lain.
Jika alasan penerimaan (dan penolakan) siswa baru adalah kuota pendaftar yang melebihi kuota siswa yang tersedia, itu masih bisa disiasati, sebenarnya, dengan cara pendaftar yang lebih cepat mendaftar atau mendaftar saat kuota masih tersedia adalah pendaftar yang diterima. Pendaftar yang mendaftar lebih lambat atau mendaftar ketika kuota sudah penuh adalah pendaftar yang tidak terterima. Itu hanya sebagai salah satu contoh.
Yang terjadi di lapangan adalah para calon siswa baru mendaftar ke sekolah impian mereka dengan harapan yang sama, yaitu ingin diterima dan bisa belajar, namun karena jumlah pendaftar melebihi kapasitas kursi yang ada, maka diberlakukanlah tes sebagai syarat penerimaan. Mereka yang memiliki kapasitas yang lebih unggul di bidang akademik atau yang lain diterima, sementara yang kapasitasnya “kurang” atau bahkan “rendah” ditolak.
Hal ini memang bisa menguntungkan atau mengangkat pamor sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah karena bisa bersaing dengan sekolah-sekolah lain dalam bidang tertentu sehingga sekolah tersebut dicap sebagai sekolah favorit atau sekolah yang bagus atau berkelas melalui para siswa yang lulus tes PPDB.
Tapi coba lihatlah dari sisi yang lain! Mereka yang tertolak (atau ditolak) tidak bisa belajar di sekolah yang dituju—walaupun mereka bisa mencari sekolah yang lain dengan sistem PPDB yang tak seketat itu.
Yang patut kita pertanyakan ulang bersama-sama ialah: Apakah bijak bila sekolah memilih siswa mana saja atau siapa saja yang berhak mereka didik dan ajar? Apakah sistem yang kita inginkan adalah menerima calon siswa yang punya kelebihan dan mengacuhkan calon siswa yang punya kekurangan? Bukankah pendidikan itu wajib mendidik dan membantu mereka yang berkekurangan agar mereka menjadi punya kelebihan? Bagaimana jika calon siswa yang berkekurangan itu adalah anak Anda atau bahkan diri Anda sendiri? Apakah Anda merasa bahwa itu adil dan yang terbaik?
Kita tentu sepakat bahwa pendidikan adalah hak semua orang, termasuk mereka yang berkekurangan dalam hal apa pun. Dan pendidikan bukan untuk ajang persaingan antarsekolah, karena sekolah itu tangan undang-undang dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan menolak calon siswa yang kemampuannya tidak memenuhi syarat. Kalau seorang siswa dianggap tidak memenuhi syarat belajar di sebuah sekolah, lalu mereka mau belajar di mana lagi, jika seandainya semua sekolah memiliki paradigma sekaku itu?
Sekolah boleh melakukan tes PPDB, tapi jangan menjadikan tes itu sebagai indikator diterima atau tidaknya seorang calon siswa. Tes PPDB seharusnya digunakan untuk memprediksi dan melihat kemampuan, minat dan bakat, sebagai pemetaan, yang bisa dijadikan acuan untuk membentuk dan menciptakan siswa yang berprestasi dan unggul di masa depan. Begitulah sebaiknya tes PPDB diciptakan.[]