image by istockphoto.com

Lelaki itu menatap langit, bintang bertabur dengan kerlipnya. Lampu-lampu di jalanan besar yang berjajar di kejauhan sana menyala dengan kerlap-kerlipnya pula. Bayangan wajah ayahnya yang menua di kampung membayang di matanya. Ia serasa ingin menangis, namun air matanya tak bisa tumpah. 

Keriuhan orang-orang dengan senda gurau dan aktivitas beragam mewarnai malam. Rufandi menikmati itu sejak tadi, begitulah hampir setiap malam ke malam. Ia tentu tidak terganggu dengan semua suara itu. Sudah terbiasa, bahkan sangat akrab dengan suasana bising orang-orang yang tinggal di kontrakan-kontrakan kumuh di pinggir kota, dekat tempat pembuangan sampah yang sehari-harinya banyak truk akan datang menumpahkan segala muatannya di situ. Bagi sebagian besar orang, sampah-sampah itu mungkin penyakit, tapi bagi Rufandi dan beberapa orang yang tinggal di sekitar situ, sampah adalah kehidupan, sampah adalah harapan, sampah adalah masa depan.

Malam hampir larut, suara-suara riuh di depan perlahan menghilang, tapi sepasang mata Rufandi sulit terpejam. Ia berjalan kembali duduk di sebuah balai bambu yang ada di depan kontrakannya. Pikirannya melambung jauh.

“Bapak sakit lagi, Mas.” Suara adiknya yang menelepon Rufandi menjelang magrib tadi mengiang di telinganya. Terbayang lelaki tua berusia delapan puluh tahun lebih sedang tergeletak di sebuah rumah di kampung sana, hanya ditemani seorang perempuan berusia hampir tujuh puluh lima. Adik Rufandi yang telah bersuami dan kini tinggal di kampung sebelah sering menengok. Ayah akan berkata pada putrinya itu, “aku dan ibumu baik-baik saja kok, Ndut. Sudah, kamu tidak perlu khawatir.” Ya, lelaki tua itu akan selalu berkata seperti itu.

“Ayo, besok kita ke dokter ya, Pak.” Sang putri, adik Rufandi itu, akan selalu membujuk.

“Tidak perlu. Ini kan memang penyakit biasa orang tua. Tolong bawa Bapak ke bangku depan.” Lelaki itu meminta pada sang ibu dan anak perempuannya.

“Ini sudah larut malam, Pak. Nanti Bapak malah masuk angin dan sakitnya bertambah parah lho.”

“Tidak, tidak apa. Bapak ingin melihat kerlip bintang dan lampu di kejauhan. Bapak kangen sama Rufandi, kakakmu.”

Itulah yang sering diceritakan adiknya saat ia sedang menjenguk dan bermalam di rumah orangtuanya, terlebih jika ayah sedang sehat. Dalam keadaan sakit pun, ayah akan sering menghabiskan waktu di depan rumah saat malam. Duduk di bangku kayu panjang, sepasang matanya menatap kerlip bintang dan lampu di kejauhan, menyatakan kerinduan pada anak lelakinya yang sedang merantau. Ia akan bercerita penuh kebanggaan dan selalu berdoa demi kebaikan dan kesuksesan putra yang sangat ia cintai.

            Di tempat lain, terpisah sejauh ratusan kilometer, di seberang lautan, Rufandi juga sering melakukan hal yang sama. Saat malam, ia akan sering duduk di bangku panjang atau balai bambu depan kontrakannya. Ia membayangkan wajah ayahnya dengan penuh kerinduan, berdoa yang terbaik untuk kesehatan lelaki yang sangat ia banggakan tersebut dengan sepasang mata ingin menangis. Ia akan kembali menatap bintang yang berkerlip, juga lampu-lampu di kejauhan.

            Rufandi sempat lama melupakan semua, melupakan kerlap-kerlip bintang dan lampu di kejauhan. Kesibukan dan segala aktivitasnya hampir tak menyisakan waktu untuk mengenang hal-hal yang telah lalu. Baru beberapa tahun ini ia kembali menikmati itu, mungkin lima tahun terakhir ini. Ya, lima tahun terakhir saat ayahnya mulai sering sakit-sakitan. Seorang tua, justru pada saat sakit, ia ingin duduk di depan rumah, menatap kerlip bintang dan lampu di kejauhan sambil merindukan dan mendoakan anak kebanggaannya.

            Lima tahun terakhir ini, hampir tiap tahun ketika lebaran, Rufandi sebenarnya selalu mudik. Ia akan bertemu dan mendengar ayahnya bercerita meski Rufandi akan kesulitan menangkap apa yang ayah bicarakan. Suara ayah sudah lemah dan tak lagi terdengar jelas seperti beberapa puluh tahun lalu saat lelaki itu lantang berbicara tentang kecurangan dan ketidakadilan yang terjadi di kampung mereka karena perbuatan aparat yang sering bertindak semena-mena dengan dalih stabilitas atas nama suatu rezim.

Rufandi masih kecil ketika itu, tapi ia bisa melihat keberanian, ketegasan, dan juga keteguhan ayahnya dalam memegang dan membela prinsip yang dianutnya. Usia telah menikamnya. Namun saat pulang kampung, ayahnya juga akan meminta Rufandi menemaninya duduk di bangku depan rumah mereka. Tak ada sedikitpun rasa kecewa di parasnya terhadap Rufandi, bahkan Rufandi bisa menangkap jika sang ayah tetap begitu membanggakan dirinya.

***

            Rufandi sudah cukup lama tinggal di kota ini, sekitar lima tahun, bersamaan dengan keadaan ayahnya yang mulai sering sakit-sakitan. Rufandi bekerja sebagai seorang guru honorer di sekolah swasta tidak jauh dari tempat tinggalnya sekarang. Ia tinggal sendiri meski usianya telah empat puluh tahun lebih. Rufandi sesungguhnya memiliki seorang anak, namun anaknya tinggal bersama istrinya yang telah meninggalkan Rufandi karena kemiskinan lelaki itu.

Usia rumah tangganya kurang dari satu tahun. Selepas istrinya melahirkan, perempuan yang memang belum lama dikenal Rufandi tersebut menggugat pisah dan membawa sang anak. Meski begitu, Rufandi tetap berusaha mengirimi anaknya uang setiap bulannya. Meski mungkin jumlah yang ia kirimkan tak besar di mata mantan istrinya, tapi begitulah kondisinya. Sebagai seorang guru honorer, pendapatannya memang tak begitu besar. Mantan istrinya sudah tahu itu.

            Dulu, Rufandi sebenarnya pernah juga beberapa kali mengajar di sekolah dengan label internasional dengan gaji yang menjanjikan, tapi memang tidak bertahan lama. Bukan Rufandi tidak mampu beradaptasi dengan sistem dan aturan yang ketat, atau dengan perilaku siswa-siswi di sana yang menurutnya manja dan menjadikan para guru seolah pelayan, bukan itu. Rufandi bisa memaklumi semua itu bahwa guru adalah pelayan bagi sekolah yang telah dirancang komersil. Guru harus siap berada di bawah tekanan. Rufandi hanya tidak mendapatkan kepuasan batin. Jiwa Rufandi bahkan seperti berontak. Sebagian orang yang mengenal Rufandi, mungkin akan menganggap bodoh jalan yang ditempuhnya.

            Rufandi justru akhirnya mengajar di sekolah pinggiran. Ia juga mengajar murid-muridnya dengan cara yang mungkin kurang lazim. Rufandi tidak pernah meminta murid-muridnya menghapal pelajaran dari buku-buku ajar mereka. Ia lebih senang mengajak murid-muridnya mengobrol dan bercerita di kelas untuk tidak menyebutnya diskusi. Rufandi memperlakukan murid-muridnya layaknya teman dan sering bercerita banyak hal saat mereka berada atau sudah di luar jam pelajaran.

            Pihak sekolah di tempatnya mengajar pada awalnya merasa aneh dengan cara mengajar Rufandi. Tapi mereka akhirnya mengerti, nyatanya dengan cara seperti itu, banyak muridnya justru tampil menjadi sosok-sosok yang berbakat dan berprestasi di banyak bidang berbeda. Semua terjadi dalam waktu yang cukup singkat. Rufandi mampu mengubah semua dan ia merasa bebas berekspresi.

            Rufandi memang menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan. Ia telah memilih jalan itu. Meski pada akhirnya Rufandi juga mulai berpikir hal lain, mencukupi kehidupan keluarganya dengan layak. Itulah kenapa ketika istrinya meninggalkan dirinya lima tahun lalu, Rufandi memutuskan tinggal dan merantau di kota ini.

Sambil tetap mengajar di sekolah, Rufandi merintis usaha yang juga mungkin tak lazim bagi banyak orang, menjadi pengepul rongsokan sambil membina mereka dengan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan. Ia sudah mulai melihat hasil usahanya setelah lima tahun berusaha keras dan sungguh-sungguh. Di sini, ia justru melihat pelajaran hidup yang sebenarnya bahwa musuh terbesar manusia ada di dalam diri sendiri: kemalasan, kebodohan, dan kemiskinan. Ia mulai memerangi itu semua sekuat yang ia bisa, dan ia telah memulai dari dirinya sendiri.

***

“Kerlip lampu di kejauhan sana adalah kehidupan lain. Kau tahu, dunia ini begitu luas. Bapak ingin suatu ketika kau bisa melihatnya, bukan hanya kehidupan kampung kita. Kau juga harus seperti salah satu bintang-bintang itu, setidaknya kau bisa seperti kerlipnya, kerlip salah satu bintang di antara jutaan dan kerlip lampu yang menerangi orang.” Begitulah yang sering dikatakan ayah saat Rufandi masih kecil, saat ia berusia tiga atau empat tahun dan berlanjut hingga akan memasuki bangku SD.

Ayah sering mengajaknya duduk di bangku kayu panjang di teras rumah mereka yang berbentuk panggung dengan tinggi lebih dari dua meter. Kampung Rufandi adalah kampung pedalaman yang bisa dikatakan tertinggal. Rufandi bisa melihat lampu-lampu yang menyala di kejauhan dari kampungnya yang terletak di ketinggian. Ayahnya bercerita jika nyala lampu yang banyak itu berasal dari kota yang ramai, dan itu adalah nyala listrik, bukan lampu teplok rumah mereka yang Rufandi sebut senthir.

“Saat usiamu enam tahun lebih nanti, Kau akan masuk SD dan bersekolah di kota. Kau ikut pamanmu di sana. Setelah lulus SD kau masuk pesantren di Jawa. Kau harus berani menjalaninya nanti meski hidup jauh dari Bapak dan Ibumu. Kau juga harus menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang banyak.” Sang ayah selalu mendorong Rufandi untuk bisa bersekolah di luar kampung mereka yang pelosok itu. Ayah akhirnya membuktikan ucapannya dengan bekerja keras dan membanting tulang untuk bisa membiayai sekolah Rufandi di luar daerah. Rufandi meraih nilai yang membanggakan selama masa pendidikan dasar hingga pendidikan atas.

Rufandi akhirnya juga mampu menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi di seberang lautan. Ia juga selalu meraih nilai akademik yag tinggi di tempat pendidikannya. Hanya saja, di perguruan tinggi, Rufandi menjadi aktivis kampus dan aktivis kemanusiaan. Jalan hidupnya berubah, ia menjadi sosok yang sangat idealis. Istilah-istilah kapitalisme, borjuis, globalisasi, kemiskinan terstruktur, dan semacamnya, begitu mengurat di pikiran, jiwa, darah, dan sekujur tubuhnya.

Idealisme ini telah menjelma menjadi ideologi dan terbawa pada fase kehidupan Rufandi dewasa. Tapi justru ini membanggakan ayahnya walau orang-orang kampung menganggap Rufandi biasa saja karena setiap mudik lebaran dari tahun ke tahun hingga usia Rufandi telah menginjak empat puluh tidak pernah terlihat membawa mobil layaknya teman-temannya yang telah sukses di perantauan. Jika ada orang-orang yang berkomentar agak negatif tentang Rufandi, kadang ada saja satu atau dua orang mencibir, ayah Rufandi akan selalu menjaga dan membela anaknya itu dengan bahasa yang santun namun tegas.

“Anakku merantau untuk menuntut ilmu dan bisa berguna bagi orang banyak. Ia merantau bukan untuk mencari dan menumpuk harta bagi dirinya sendiri,” kata ayah Rufandi.

            Ayah Rufandi tidak pernah mempermasalahkan keadaan itu walau tentu lelaki pekerja keras itu sangat bersedih saat mendengar kegagalan rumah tangga Rufandi akibat persoalan ekonomi. Tapi ayahnya memiliki keyakinan, anak lelakinya itu suatu ketika akan bisa belajar dari kegagalan itu. Lelaki itu sungguh begitu yakin bahwa anaknya telah menjadi kerlip satu bintang di antara jutaan dan kerlip lampu di kejauhan yang menerangi orang. Bahkan lebih dari itu, di matanya, Rufandi telah melahirkan bintang-bintang dan lampu yang menyala dengan kerlip di kejauhan.***