Bulan ini, aneh, tidak seperti bulan itu. Dia selalu datang membawa warna merah saga menyala-nyala, seperti ada api dalam tubuhnya. Aku tidak suka warna merah. Setiap kali Bulan ini terbit, aku merasa terbakar dari dalam. Tubuhku panas, darahku mendidih, dan amarah memuncak seketika. Menurutku, Bulan jenis ini adalah malapetaka, bagi hidupku, juga bagi hidup orang lain. Harus ditenggelamkan.

Ya, aku ingin menenggelamkan Bulan ini. Dan sekarang, beginilah cara yang aku gunakan untuk yang menenggelamkannya. Simak alur cerita berikut ini baik-baik:

  1. Bulan ini terbit dari mulut tangga, lalu berjalan di atas lantai keramik. Suara sepatunya, nyaring, lantang. Telingaku terusik. Aku gemetar. Seperti biasa, aku marah dan menahannya kuat-kuat, agar tidak meluap. Menahan amarah adalah pekerjaan berat. Makanya tubuhku bergetar. Dan konsentrasiku buyar. Sorot mataku ke arah layar laptop, tetapi pikiranku ke suara itu. Ingin rasanya aku beranjak dan melangkah ke arahnya, lalu aku cincang tubuhnya, sampai halus. Suara sepatunya itu, terasa menyakitkan, seperti palu yang sedang mengetuk-ngetuk lantai kepalaku dengan keras.
  2. Layar ponselku bersinar. Pesan yang aku tunggu datang. Sebuah pesan dari Karis, temanku. Ruang kerjanya di lantai bawah. Dia memberitahu kalau aku ditunggu Lambe di ruangannya. Segera kutekan simbol Windows dan tombol L secara bersamaan, agar layar laptopku terkunci. Aku melakukannya demi melindungi semua dataku, kerena ruangan tidak ada yang menunggui.
  3. Aku bergegas beranjak. Rokok, korek dan ponsel aku bawa serta. Aku segera keluar dari ruangan. Kuusahakan kepala menunduk saat melewati ruang kerja Bulan. Karena daun pintu ruang kerja Bulan pasti dibiarkan mengaga lebar. Saat dia melihatku lewat, pasti dia berhenti main ponsel, dan pasti matanya mendelik dan bibirnya bergerak-gerak seperti orang sedang merapal mantra. 
  4. Suasana terasa sunyi saat kakiku sudah sampai di lantai bawah. Meski ada beberapa pegawai duduk santai di lobi, tapi tetap saja sunyi. Karena ponsel telah merenggut sebagian besar hidup mereka. Tetapi biasanya ramai. Ya, beginilah kondisi kantor ini saat sebagian besar penghuninya pergi ke luar kota, yang katanya melaksanakan tugas dinas, padahal cuma jalan-jalan menghabiskan uang negara.
  5. Aku buka pintu ruangan Karis dan menutupnya lagi. Dingin langsung menyergap. Aku lihat dua AC menyala semua. Lambe sedang menerima telepon. Karis sedang bekerja. Aku duduk di kursi sebelah kursi Lambe.  “Semua pekerjaan ini harus selesai sekarang,” kata Karis kepadaku. Matanya tetap ke layar komputer.  “Ada yang bisa aku bantu,” tawarku, bercanda, dan Karis tertawa kecil. “Tidak perlu,” jawabnya. “Kau sudah banyak memberiku ilmu. Malu rasanya kalau guru terus-menerus membantu muridnya,” lanjutnya, dan tertawa lagi.
  6. Lambe selesai menerima telepon. Rokok sebatang dia keluarkan dari bungkusnya dan dibakar ujungnya. Aku tersenyum melihatnya. “Katanya ada perlu. Lekas katakan,” kata Lambe setelah menyemburkan asap ke udara. Aku tersenyum lagi. Tiba-tiba suara mesin pemotong rumput dari luar menyala, meraung keras. Membuat imajinasiku jadi hidup. Aku membayangkan mesin itu merayap di wajah Bulan. Darah bercipratan. Bulan meronta-ronta. Dia tidak bisa berkata-kata, hanya bisa meronta. Aku pasti bahagia andai itu benar-benar terjadi. “Eh, malah bengong. Cepat katakan,” desak Lambe. “Succubus harus dilenyapkan juga dari kantor ini,” kataku. Spontan wajahnya tampak bingung. Aku tahu dia sedang berpikir, karena tak ada satu pun pegawai di kantor ini bernama Succubus. Ah, mana dia tahu soal Succubus, iblis betina dari Sumeria, yang suka menjerat laki-laki dengan kecantikannya. “Ayolah. Jangan bergurau. Siapa Succubus?” dia bertanya.  “Bulan harus dijauhkan dari gedung ini,” kataku.  Karis tiba-tiba batuk. Aku menoleh kepadanya. Dia tersenyum. Matanya tetap ke layar komputer.  “Alasannya?” tanya Lambe. Rokok di apitan dua jarinya dibenamkan ke asbak. Batang rokok lain dikeluarkan lagi dari bungkusnya dan dibakar ujungnya.
  7. Kepalaku bekerja keras, memikirkan alasan apa yang tepat untuk membuat Lambe percaya. Soal menggelapkan uang, ah, sudah biasa. Penyalahgunaan wewenang, ah, juga sudah biasa. Bingung. Alasan apa? Tidak mungkin aku jujur bahwa Bulan tahu soal hubungan gelapku dengan seorang perempuan lain di luar sana. Suara mesin pemotong rumput jadi semakin jelas terdengar. Meraung-raung keras di telingaku. Pikiranku buntu.  “Ayo, katakan, tak usah malu-malu,” kata Karis, ikut campur.  “Ya, cepat kakatan,” Lambe menyusul. Aku terdesak. Rasa-rasanya ruangan jadi semakin sempit saja, dan semakin dingin. Jari-jemariku membeku.
  8. “Bulan mulai genit, Pak Lambe. Dia sudah berani merayu Balor, Pak. Ya, teman Bapak itu. Saya pernah melihat mereka makan berduaan saja di sebuah rumah makan. Ada adegan pegangan tangan. Ada adegan tangan Balor mengusap-usap bokong Bulan. Ini bahaya,” akhirnya itu yang keluar dari mulutku. Sorot mata Lambe menajam. Wajahnya berubah serius. Karis batuk-batuk lagi. Aku menoleh. Karis tersenyum. Matanya tetap tak mau pindah dari layar komputer. Batang rokok di apitan dua jemari Lambe dibenamkan lagi ke asbak.  “Kamu tidak bercanda, kan?” dia bertanya. Aku terdiam. Jantung berdetak cepat. Mungkin itu reaksi dari ketidakjujuran. Aku memang tidak biasa berbohong. Tapi Bulan berbahaya, dan berbohong adalah satu-satunya pilihan.
  9. Tapi, aku tidak sepenuhnya bohong. Bulan memang genit. Kalau tidak genit pasti sudah dibuang dari kantor megah ini. Dia pegawai tidak berguna. Tidak bisa bekerja apa-apa meski tamatan S2. Dia hanya punya dua modal: kecantikan dan bentuk tubuh yang gemoy. Meski sudah punya dua anak, bentuk tubuhnya tidak berubah. “Saya tidak bercanda, Pak. Kalau dibiarkan, kegenitannya akan memakan korban lain, dan akan membahayakan rumah tangga para anggota dewan kota. Ya, tinggal pilih. Dipertahankan atau dijauhkan dari gedung ini,” kataku.
  10. Suara mesin pemotong rumput sudah mati. Karis batuk-batuk lagi. Aku menoleh. Dia beranjak dari tempat duduknya. Matanya berkedip-kedip ke arahku. Menjijikkan. Entahlah. Itu mungkin sebuah kode. Karis keluar dari ruangan kemudian.
  11. “Ya, itu memang berbahaya. Tapi, untuk memutuskan, aku butuh waktu untuk berpikir. Aku harus berpikir di rumah. Ya sudah, nanti aku kasih kabar kepadamu kalau sudah ada keputusan,” kata Lambe.
  12. Tiba-tiba aku merasa khawatir. Ada keanehan. Sikap Lambe tidak lazim. Bukan baru kali ini aku mengusulkan seseorang kepadanya untuk dipindah, berkali-kali bahkan, dan biasanya responnya cepat. Tapi, sekarang, dia butuh berpikir. Sepertinya berat. Mungkin karena Bulan istri salah satu pejabat di kota ini. Entahlah.
  13. Lambe pulang. Aku sendirian. Lega. Ya! Aku merasa sedikit lega karena beban sudah pindah ke pundak Lambe. Tinggal menunggu keputusan. Ah, suara mesin pemotong rumput hidup lagi. Meraung-raung lagi di telingaku.
  14. Karis masuk lagi ke ruangan. Duduk di tempat semula. Matanya kembali menatap layar komputer. “Kau mau tahu rahasia Lambe?” tiba-tiba Karis bertanya. Aku terkejut dan rasa penasaran tumbuh. Sebenarnya, untuk urusan kantor, aku tahu semua rahasia Lambe, termasuk semua kelakuan bejatnya. Tapi, mungkin, ada sesuatu sudah terlewatkan. Tapi apa? Apa?
  15. “Coba kau katakan, cepat!” kataku, setengah mendesak pada Karis. “Lambe menyukai Bulan. Hmm, baiklah, aku ceritakan sebuah rahasia padamu. Bagini. Suatu waktu aku, Lambe, dan Bulan pernah ada dalam satu mobil ketika melakukan perjalanan ke luar kota. Aku duduk di jok belakang. Bulan dan Lambe di tengah. Aku pura-pura tidur. Adegan mesum pun terjadi. Lambe dan Bulan ciuman! Adu bibir! Aku sempat mengambil gambar adegan itu diam-diam. Aku punya fotonya. Gila! Zaman sudah gila! Bukan hanya aku, sopir juga tahu. Aku rasa, usulmu tidak akan pernah terwujud.”
  16. Bukannya terkejut, aku malah senang mendengar rahasia itu. Aku seperti mendapatkan senjata mematikan untuk menenggalamkan Bulan. Aku minta foto itu ke Karis, dan dia memberikannya. Pasti dia memberikannya karena dia takut padaku. Kenapa? Karena aku juga memegang rahasianya.
  17. Aku keluar dari ruangan Karis dengan perasaan gembira. Di kepalaku sesak dengan kata-kata yang akan aku tuliskan di laptop. Sesampainya di ruanganku sendiri, segera aku nyalakan layar laptop, dan membuka kuncinya. Segera pula aku rangkai bahasa yang akan aku serahkan ke pihak media cetak dan online yang aku kenal redakturnya. Aku tulis tentang skandal anggota dewan kota dengan stafnya. Aku tulis semua yang disampaikan Karis kepadaku. Setelah selesai, segera aku kirimkan teks beserta foto pendukung lewat WA ke masing-masing redaktur media. Dan aku beruntung, mereka semua membalas “Siap, segera dimuat dalam berita.” Bahkan, ada yang berterima kasih karena diberi bahan berita penting.
  18. Pagi hari berikutnya, kota kecil tempat aku dilahirkan gempar dengan berita tentang skandal itu. Grup WA yang dibuat oleh admin kantorku juga ramai dengan tautan link web media yang memuat berita itu. Bulan ada grup itu juga. Dia tidak merespon dengan komentar pada link website yang dikirim teman-teman grup. Dia pasti sedih, juga menderita. Aku senang. Aku puas. Sebentar lagi dia pasti tenggelam.
  19. Tentu saja Lambe mau cari aman. Dia tidak mau berita itu terus meluas dan mengundang reaksi dari masyarakat. Sambil menampik semua pertanyaan dari media, Lambe memerintahkan pemerintah kota segera membuang Bulan. Maka dibuanglah Bulan ke daerah terpencil. Bulan tenggelam, aku menang.

Ya, begitulah alurnya. Ini adalah salah satu cara dari sekian cara yang aku pakai untuk menenggelamkan Bulan, dan memang aku buat rumit. Biar ada gregetnya. Mungkin ini adalah cerita kesekian kali yang aku buat untuk menyenangkan diri sendiri. Meski hanya cerita rekayasa, aku tetap merasa puas. Paling tidak bisa mempermainkan hidup Bulan dalam cerita-cerita yang aku buat.

Aku akan terus membuat cerita tentang Bulan. Sampai Bulan benar-benar tenggelam selama-lamanya.

Asoka, 2024

Image by istockphoto.com.