Pelajaran Petak Umpet

Temukan aku, dalam mimpi separuh,
rajut yang tak utuh di lengan kainmu.

Sebab di lemari, kenangan
telah menjadi kota mati.

Dan di ruang tamu, lukisan bunga
yang semula segar menjadi layu.

Temukan aku, pendar lampu tidur
yang bertengkar dengan kantukmu.

2024

***

Dari Kursi Kereta Jakarta—Bandung

Sebuah rel dan bau besi—di luar kaca pohon-pohon berkejaran.
masa lalu membuntutiku di gerbong belakang demi pertanyaan
yang tak ingin kujawab: apakah pergi bahasa lain dari mati.

Biru yang pasi di cakrawala dan pertemuan menjadi asing
pagi berdiang di antara akar-akar pinus, dingin yang halus
…….—dan kita tak sempat berkata apa-apa di sana.

2024

***

Hujan dari Mata yang Lain

Aku tak mengenali tubuhmu
sebagai cabang akar yang
menyerap hujan.

Hujan adalah amuk: meranggaskan
tunas yang baru setengah berbunga.

Membuat atap seng berisik.

Menjadikan manusia pinggiran lebih gegas
dari biasanya. dan kau selalu pandai berdalih,
kesedihan sejak lama menggugurkan daunku
melenyapkan matahari dari dalam kamusku.

Sebab, kau ingin tumbuh dari timur yang lain
—sedangkan barat bukan perjalanan terakhir.

2024

***

Setelah Malam Seribu Bulan

Tidak ada cahaya di krypton, selain pecahan pijar roket
yang mengantar tubuh seorang bayi ke tanah berantah.

Meluncur ia di antara meteorid
rasi bintang yang tak beraturan
—dan sunyi sebagai piatu.

Kepada harum ladang milik kekasih
yang melewati hari tanpa kitab suci.

Ia tiba di satu malam yang memiliki seribu bulan
cahaya berlimpah serupa bah, malaikat yang latah
lalu menusuk sepasang mata kecilnya menjelma
laser yang menggugurkan dosa para penyamun.

2024

***

Episentrum; Perjalanan Lain

Dan cahaya yang lain
belajar mencintai kita.

Dari sebuah titik, kau lahir dan tumbuh
waktu tak menghapus kita dari peta ini.

Tanpa tanda, tiada alamat yang pasti
Jejak kecil yang mengarahkan hati.

Dari kota yang asing.
pada jalan yang bising.

Langit tak bernama menantimu
—mencintaimu, mengasihimu.

Ketika hutan dan hujan
sepakat mencari ruang
bernaung di matamu.

Dan cahaya yang lain
belajar mencintai kita.

Kita tidak sedang mencari bunyi, kekasih
hanya waktu, hanya singgah yang tak perlu.

Barangkali satu puisi,
setelah itu tak ada lagi.

Adakah gerimis menyerbuk
di beranda rumahmu, sayang?

Sebuah jendela merawat kenangan.

Dan cahaya yang lain
belajar mencintai kita.

2024

***

Munajat Anak di Perbatasan Gaza

Kembang api itu tidak seperti
sebuah malam perayaan, tuhan.

Sungguh,
aku takut.

Perciknya merusak sekolah
dan membuat tubuh kami
terasa gatal sekali.

Mengapa mereka berlarian
menjauh dari rumah sendiri
meninggalkan laju kenangan.

Padahal televisi
belum dimatikan.

Satu pesawat dari masa kecil
menciptakan puluhan ledakan.

—air mata sudah lama habis
sedang permenku penuh debu
sebab atap rumah yang pecah
dan menebarkan kesedihan.

Setiap sepuluh menit, tuhan
sebayaku tiba memelukmu.

Tidak ada air dari wastafel
dan kamar mandi, lalu ibu
mencuci bekas darahku
dengan air matanya.

2024

Image by istockphoto.com