Sebuah surat elektronik dari redaksi sastra media cetak masuk ke inbox. Sebagai seorang calon cerpenis saya memang rajin mengirim tulisan ke redaksi sastra, baik cetak maupun daring. Acap saya mendapatkan surat penolakkan dari redaktur sastra. Apakah kali ini tulisan saya dimuat? Dengan perasaan penuh debar saya buka surat elektronik itu.
Dear Mahli Rumi,
Teriring salam dan doa kami ucapkan, semoga Bung Mahli dalam keadaan sehat, kuat dan selalu bersemangat menulis. Kami telah membaca naskah cerpen yang Bung kirim ke Majalah Sastra Tak Pernah Mati, dan kami merasa amat senang karena energi cinta Bung Mahli kepada dunia kesusastraan begitu besar dan menggetarkan. Jarang kami temukan anak muda seperti Bung Mahli yang tetap terus menulis dan tentunya terus pula mengirim tulisan ke media cetak yang belakangan nyaris mati; bertahan dihantam badai digitalisasi.
Amboi, cantik nian isi paragraf pertama si redaktur. Sampai-sampai hati saya terasa bagai bunga seraya mekar. Ya, seperti puan yang mabuk baris kata-kata pujangga lama; tak sabar ingin segera menuntaskan isi surat. Tapi ketika hendak lanjut membaca, mendadak saya tersadar. Bukankah setelah sebuah pujian biasanya akan terbit pula sehunus hinaan?
Menjulurkan pujian di awal sebuah surat memang sudah menjadi keniscayaan. Semacam kamuflase yang sengaja diciptakan oleh si pembuat surat agar si penerima surat bersetia membaca hingga akhir kata. Banyak contohnya, sebut saja: surat PHK, surat pengumuman hasil ujian tes masuk kerja, pun begitu juga dengan surat putus cinta dari seseorang kepada kekasihnya.
Sebuah perasaan tidak enak mendadak muncul menyelimuti hati saya. Apa cerpen saya ditolak lagi?
Sebenarnya bukan sekali dua saya mendapatkan surat penolakan dari redaktur. Tapi sepanjang ingatan saya, tak pernah ada surat balasan dari redaktur sastra seperti ini. Biasanya selalu to the point. Tak tahan dikurung perasaan tidak enak, saya putuskan segera melanjutkan membaca surat:
Sebagai penulis muda yang penuh bakat, kalimat pertama naskah Bung Mahli telah berhasil mengisap rasa penasaran kami hingga tak sabar ingin segera membaca kalimat selanjutnya. Namun sayang, sungguh teramat sayang, guncangan seketika muncul sehingga membuat kami limbung juga bingung akan maksud cerpen Bung Mahli. Kami nyaris mabuk darat akibat guncangan kalimat Bung yang benar-benar tidak biasa.
Tuh, apa kata saya. Seharusnya tidak perlu saya baca terlampau serius! Sumpah, mood menulis saya mendadak ambyar tunggang-langgang. Akhirnya redaktur itu menampakkan juga taring sindirannya. Langsung saya tinggalkan laptop, kemudian duduk di luar kamar sambil membakar sebatang rokok. Terkenang usaha saya menyelesaikan cerpen itu yang penuh perjuangan.
Akan tetapi saat rokok saya hisap dalam-dalam, kemudian melepaskan asapnya ke luas langit raya, seketika perasaan pedih akibat sindiran redaktur itu juga terasa lepas sebagian. Sejurus kemudian saya terbayang sebuah kata dalam surat yang menarik perhatian (mungkin saja diperuntukan redaktur sebagai penawar rasa sakit yang muncul akibat sindirannya).
Kata yang saya maksud adalah ’mengisap’. Sebagus apa kalimat pertama saya sampai bisa mengisap sang redaktur? Penasaran, buru-buru saya kembali ke kamar dan langsung membaca kalimat pertama cerpen malang itu.
Selesai membaca kalimat pertama cerpen yang dimaksud, mendadak asam lambung saya meluber. Di mana letak bagusnya? Kalimat itu menurut saya malah amat sangat menjijikan. Lantas, mengapa si redaktur bisa sampai terisap?
Ah, saya paham sekarang. Mana mungkin juga redaktur itu sampai hati mengatakan seluruh bangunan cerita serta susunan kalimat cerpen saya jelek. Mestilah sedikit pujian patut dia hadiahkan. Dengan kata lain, redaktur itu tidak ingin saya yang dia anggap berbakat terlampau terperosok jatuh ke lubang kekecewaan yang dalam. Ya Tuhan, betapa jahat saya sempat kecewa dan marah kepadanya.
Sepertinya saya mulai kagum dengan redaktur itu. Apa saya nanti belajar dengan beliau saja? Tapi baiknya saya selesaikan dulu membaca semua isi suratnya. Mungkin ada hal menarik lainnya yang redaktur itu sampaikan.
Bung Mahli yang baik, selama menjadi redaktur sastra, banyak penulis yang saya temukan akhirnya menyesal ketika naskah yang pernah dimuat—seiring dengan bertambahnya pemahaman si penulis—ternyata kualitasnya tidak cukup baik. Untuk itu, agar Bung Mahli tidak jatuh dalam penyesalan yang menyedihkan, kami memilih menyelamatkan Bung dari derita penyesalan.
Duh, santun benar redaktur itu menjaga perasaan saya. Dengan alasan penyesalan kemudian hari, dia menolak cerpen saya. Mungkin dia bisa saja memuat cerpen saya, namun buat apa kalau saya menyesal nantinya. Sungguh mulia redaktur itu, sampai jauh memikirkan perasaan saya. Tapi kenapa dia tidak berpikir sebaliknya? Maksud saya begini, bisa saja surat balasannya malah membuat saya berhenti menulis; saya mendadak merasa tidak berbakat sebagai penulis cerpen, misalnya.
Sebenarnya, sebelum surat balasan ini masuk, saya sudah lama terpikirkan resign menulis cerpen. Sering saya tepekur, buat apa juga berlelah-lelah menulis cerpen. Menjadi terkenal? Ah, siapa juga yang mengenal penulis cerpen selain penulis cerpen dan beberapa orang yang suka membaca cerpen. Kaya? Aduh. Hari ini honor cerpen paling tinggi dibayar satu juta lima ratus. Dan itu paling hanya satu-dua media. Sisanya malah kadang tidak berhonor. Coba, bagaimana bisa kaya?
Namun, setiap kali perasaan ingin resign itu muncul, seketika itu pula semangat menulis saya kembali berkobar-kobar. Semacam ada dorongan yang mendesak saya untuk terus menulis. Dorongan itu seolah berkata, menulislah terus; dengan menulis setidaknya kau telah menyuarakan zamanmu yang mungkin saja kelak bermanfaat buat anak cucu. Benar juga. Bukankah salah satu tujuan sastra (cerpen) menyuarakan suara zaman? Cuma masalahnya, hampir lima tahun menulis tak ada satu pun cerpen saya yang dimuat media. Ini yang kadang-kadang sering melunturkan semangat saya.
Sebenarnya teman saya pernah menyarankan saya untuk ikut pelatihan menulis cerpen yang sering dibuat cerpenis-cerpenis terkenal atau media-media nasional. Katanya, pelatihan-pelatihan seperti itu telah banyak melahirkan penulis-penulis andal yang terkenal, dan tentunya melahirkan buku-buku sastra pula. Akan tetapi masalahnya, pelatihan serupa itu tidak gratis, alias berbayar. Saya mana ada uang. Sedang untuk beli kopi saat menulis saja, saya sering utang.
Namun ada baiknya saya lupakan dulu urusan resign itu, soalnya surat dari redaktur belum tuntas selesai saya baca. Mana tahu di baris-baris akhir suratnya ada tawaran belajar menulis cerpen gratis untuk saya. Amin!
Akhir kata, tiada yang patut kami sampaikan selain ucapan terima kasih telah mengirim naskah kepada kami. Dan, kami sangat menunggu naskah dari Bung selanjutnya. Besar harapan kami Bung tetap menulis meski takdir pemuatan tak kunjung hadir. Percayalah, menulis akan membuat Bung abadi!
Salam hormat,
Tim Redaksi.
Meleset. Ternyata paragraf terakhir hanya ucapan terima kasih serta dorongan semangat agar saya terus mengirim tulisan.
Dengan perasaan hambar saya putuskan menulis pengalaman saya ini menjadi sebuah cerpen. Kelak jika masih juga ditolak, saya pastikan saya akan resign. Tak ada guna juga terus memaksa menjadi cerpenis!
Akasia, 2023
*) Image by istockphoto.com