Seorang remaja perempuan tampak asyik sendiri di kamar dengan gawainya. Setelah ditilik, ternyata ia sedang menonton video-video singkat di Youtube, yang menampilkan pemandangan-pemandangan bernuansa romantis, diiringi lagu latar merdu mendayu, ditimpali suara pembacaan puisi yang tak kalah merdunya. Indah, desah si remaja, tanpa memaknai terlalu dalam akan isi puisinya sendiri.
Itu adalah sepenggal kekinian yang sudah lumrah, bukan saja tentang remaja yang terikat gawai, tapi juga dalam hal kemodernan budaya yang sudah merambah sastra. Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra dilahirkan kembali dalam kecanggihan teknologi. Jiwa puisi hadir di tengah modernisasi dan modernisasi tumbuh di rahim puisi.
Istilah modernisasi diambil dari kata dasar modern yang berasal dari bahasa Latin, modernus, yang dibentuk dari dua buah kata, yaitu modo (berarti akhir-akhir ini) dan ernus (merujuk periode waktu masa kini). Modernisasi menurut Abdul Syam adalah suatu proses transformasi dari suatu perubahan ke arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Wikipedia, modernisasi merujuk pada sebuah bentuk transformasi dari keadaan yang kurang maju atau kurang berkembang ke arah yang lebih baik. Diungkapkan pula bahwa modernisasi merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang sekarang ini.
Puisi sebagai bagian dari karya seni yang merupakan unsur dari budaya, pun senantiasa mengalami modernisasi. Modernisasi ini terjadi, baik dalam isi puisi itu sendiri maupun dalam penyajian dan publikasinya.
Modernisasi puisi dalam isi
Puisi di Indonesia dari masa ke masa mengalami perubahan dan perkembangan yang bisa kita lihat dari bahasa, kecenderungan tema, bentuk bait, maupun pemilihan diksinya. H.B. Jassin sebagai salah satu penelaah sastra Indonesia telah membuat periodisasi sastra Indonesia yang secara garis besar dikelompokkan menjadi seperti, Periode Sastra Melayu dan Periode Sastra Indonesia Modern; Angkatan 20 (Balai Pustaka); Angkatan 33 (Pujangga Baru); Angkatan 45; dan Angkatan 66.
Tidak berhenti sampai di situ, periode sastra tentu masih berlanjut hingga sekarang ini, yang kita kenal adanya penggolongan sastra ke periode angkatan reformasi, angkatan 2000-an, dan sebagainya, dengan kriteria periodisasi yang mungkin sedikit berbeda antara pengamat sastra yang satu dangan yang lain. Namun, dasar pembabakan yang biasa diambil secara umum adalah kecenderungan tema, gaya berbahasa, dan pemilihan diksi dalam tiap periodenya. Contohnya saja, bahasa pada periode Sastra Melayu menggunakan bahasa Melayu dan banyak dipengaruhi kebudayaan Hindu/India, sedangkan bahasa pada periode Sastra Indonesia Modern sudah memakai bahasa Indonesia. Tema yang diangkat dalam tiap periode berbeda pula, ada periode yang tema-tema karya sastranya bertitik berat pada tradisi adat dan kawin paksa, ada pula periode yang tema karya sastranya banyak mengambil peristiwa dan pengalaman perjuangan.
Pada masa sekarang saat tulisan ini dibuat, puisi-puisi yang bertebaran cenderung mengambil pengalaman hidup sehari-hari sebagai tema serta memakai gaya bahasa romantis. Kalangan penulis puisi juga semakin beragam, tidak lagi terbatas pada kalangan seniman, tapi juga meluas pada kalangan akademisi, politikus, pemimpin agama, perawat, dokter, remaja galau, karyawan magang restoran, dan ibu-ibu rumah tangga. Pendek kata siapa pun dapat merambah menjadi penulis puisi karena perkembangan pesat media komunikasi seperti blog dan jejaring sosial sangat mempermudah siapa pun untuk mempublikasikan karyanya, berbarengan dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih merangsang lahirnya penerbit-penerbit baru. Ditambah lagi maraknya seminar, diskusi, dan ajang lomba di bidang sastra yang sedang menggeliat, memicu kegairahan menulis di berbagai kalangan masyarakat. Dengan begitu, tema, gaya bahasa, dan diksi pada berbagai puisi yang bermunculan di era milenial ini lebih aktif dan dinamis, karena berasal dari latar belakang penulis yang beragam.
Tema seperti kawin paksa tentu sudah hampir tidak pernah kita dengar lagi diangkat di dalam puisi sekarang ini. Pengalaman penulis berkaitan dengan kisah cinta atau kepahitan hiduplah yang sekarang lebih sering diusung. Begitu juga dengan diksi, kata-kata seperti “senja”, “rindu”, dan “hujan” mungkin sudah terdengar biasa karena cukup sering digunakan. Sedangkan penggunaan kata “swastamita”, “arunika”, dan “nirmala” lebih dianggap modern, karena terdengar “baru” di telinga kita meskipun kata-kata tersebut sudah tidak baru keberadaannya di KBBI. Tampak melalui transformasi tersebut bahwa modernisasi merasuki jiwa puisi itu sendiri.
Modernisasi puisi dalam penyajian dan publikasi
Sebelum media sosial berkembang pesat, puisi sudah terbiasa menambah kekayaan batin manusia. Hal ini bisa terjadi karena puisi itu tidak disimpan di bawah bantal, tetapi disajikan dan dipublikasikan kepada khalayak. Publikasi sudah lumrah dilakukan melalui buku dan media cetak lainnya, seperti koran dan majalah, sehingga pembaca dapat membaca puisi secara individu, perlahan-lahan di pagi hari sambil menyesap secangkir teh hangat, atau duduk di teras pada sore hari sambil ditemani harum kopi. Namun, puisi juga dapat melawat pembaca dengan cara yang lebih kompleks, yakni melalui pembacaan puisi. Melalui pembacaan puisi, khalayak menikmati puisi dengan indera pendengarannya pula.
Bentuk dan gaya baca puisi menurut Suwignyo (2005) dapat dilakukan dalam tiga cara, yakni pembacaan puisi (poetry reading), deklamasi, dan teaterikal. Dalam pembacaan puisi (poetry reading), seorang pembaca puisi membacakan puisi sambil memegang teksnya, sedangkan dalam cara deklamasi, pembaca puisi tidak memegang teks (sudah menghafalkannya terlebih dahulu) sehingga mimik muka, gerak tangan, atau langkah kakinya selama berdeklamasi bisa lebih ekspresif. Dalam pembacaan puisi secara teaterikal, selain memuaskan pemirsa melalui isi puisi itu sendiri dan intonasi pembacaan, pelaku teater juga harus bisa menyesuaikan kostum, riasan, dan dekorasi pentas dengan hakikat puisi yang dibawakan.
Sesungguhnya semua cara pembacaan puisi tersebut berusaha menyajikan visualisasi puisi kepada pembacanya sehingga isi puisi dapat diterjemahkan secara lebih penuh kesannya. Di era milenial ini, sebagaimana gambaran dalam ilustrasi penulis pada paragraf pertama, penyajian dan publikasi puisi bertumpang tindih dalam hiruk pikuk lalu lintas daring. Puisi disajikan sekaligus dipublikasikan melalui Instragram (divisualisasikan dengan gambar, foto, atau video singkat), melalui Facebook (dapat dilengkapi dengan gambar atau video), melalui blog, dan sekarang tren juga melalui Youtube.
Melalui Youtube, puisi disajikan dalam bentuk video dan memunculkan istilah video puisi. Video puisi melibatkan musik latar, tempat, serta slide show gambar-gambar yang mendukung isi puisi, atau dapat pula diselipkan sajian teaterikal atau sajian poetry reading di antara slide show tersebut. Suara pembacaan puisi tentu tetap terdengar dalam video itu. Puisi menjadi tampak lebih ringan dan tidak sulit dinikmati. Puisi diterjemahkan ke dalam tampilan visual berbasis internet sehingga menjangkau semua orang, semua usia, dan semua tempat (bukan hanya kalangan atau domisili tertentu) sekaligus tampak sangat modern dibandingkan penampilannya di zaman ketika ia hanya muncul dalam buku-buku kertas yang menua dan menguning atau dalam teater-teater terbatas. Tren yang mudah dan sering kita jumpai saat ini, video puisi memang umumnya tayang di Youtube, tapi di media lain seperti tayangan televisi lokal pun dapat saja muncul dan itu merupakan bagian dari modernisasi puisi yang sedang terjadi.
Kelebihan dan kekurangan modernisasi puisi
Setiap perubahan sudah sewajarnya memiliki sisi positif maupun negatif, demikian pula dengan modernisasi puisi. Modernisasi puisi di era milenial ini, sesuai sifatnya yang modern, tentu lebih menarik banyak kalangan dibandingkan keberadaan puisi sebelumnya. Puisi yang tersaji dalam bentuk video, misalnya, lebih menarik bagi para remaja untuk diapresiasi daripada harus dibaca di kolom sastra minggu atau didengarkan pembacaannya di pagelaran tertentu. Sambil bersantai dan tidur-tiduran di kamar, anak-anak muda dapat menonton puisi-puisi tersebut di gawai mereka. Kalangan yang biasanya bukan penikmat puisi pun, mungkin bisa merasa menikmati video puisi, karena ada tampilan visual yang indah serta musik yang enak didengar. Puisi tampak lebih “ramah” menyapa khalayak, mengikuti arus perkembangan teknologi dan tren yang sedang disukai. Dengan demikian, jangkauan puisi semakin luas dan memungkinkan semakin banyak orang yang lebih tertarik kepada puisi.
Di sisi lain, menikmati puisi yang divideokan dapat mengalihkan pemirsa dari isi puisi itu sendiri. Karena tidak ada perenungan terhadap diksi puisi yang justru bisa dilakukan bila kita membaca puisi itu di buku atau surat kabar. Keindahan visual video dapat menenggelamkan keindahan puisi, padahal semestinya mendukung dan mengangkat makna yang terkandung di dalamnya. Berbarengan dengan itu juga dapat bermunculan puisi-puisi dangkal yang lebih mementingkan urusan visual atau “asalkan enak didengar” daripada makna.
Kemajuan, perubahan, transformasi, modernisasi, semuanya bagian dari anugerah Tuhan atas akal budi manusia yang selalu dimampukan untuk berinovasi dan kreatif. Namun, dalam hal-hal tertentu, ada keaslian yang tetap harus dipertahankan demi menjaga kualitas dan hakikat suatu karya. Puisi lahir dari perenungan sehingga tujuan dari puisi itu dapat lebih dicapai bila diapresiasi dengan memasukkan proses perenungan pula ke dalamnya. Karena itu, meski modernisasi tetap berjalan, keaslian jangan pula dihilangkan. Sambil tetap salut kepada semangat era milenial yang berkobar kreatif dalam video-video puisi. Mari kita tetap meluangkan waktu menghirup aroma hujan di beranda dan merengkuh buku puisi di dada untuk perlahan dibaca dalam syahdu senja yang tidak tergesa.
Bandung, 2019
Trackback/Pingback