Sejak ratusan tahun yang lalu, masyarakat adat Dayak Tomun di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah rutin melaksanakan ritual adat Babantan Laman. Ritual ini secara harfiah bermakna membersihkan kampung. Di dalamnya termasuk membersihkan benda pusaka warisan leluhur dari berbagai kampung.
Kami berangkat dari Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah menuju Kudangan di Kecamatan Delang pada Jumat (6/7/2018) pagi. Perjalanan mengabiskan waktu sekitar tiga jam untuk sampai di ibukota Kabupaten Lamandau, Nanga Bulik.
Untuk sampai di Kudangan, perjalanan dilanjutkan sekitar satu jam. Kudangan adalah sebuah laman (desa)–kini menjadi kelurahan–di Kecamatan Delang yang menyelenggarakan Babantan Laman.
Laman-laman lain seperti Kubung, Landau Kantu, Lopus, Nyalang, Penyombaan, Riam Panahan, Riam Tinggi, Sekombulan, dan Sepoyu pun turut melakukan ritual Babantan Laman. Meskipun ada beberapa laman yang tidak melakukan Babantan Laman secara bersamaan di tanggal 7 bulan Juli 2018.
Dipilihnya tanggal 7 bulan Juli sebagai hari melaksanakan Babantan Laman setiap tahunnya, menurut sebagian tokoh masyarakat Dayak Tomun, mengikuti kebiasaan para orang-orang tua dan leluhur. Kebiasaan itu menjadi turun-temurun hingga sekarang, kecuali ada peristiwa khusus seperti adanya kematian salah satu warga desa, sehingga pelaksanaan ditunda beberapa hari.
Jupriadi, Ketua Majelis Hindu Kaharingan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, mengatakan penetapan tanggal 7 di bulan Juli untuk agenda Babantan Laman, di Delang, berlaku setelah adanya pertemuan kedamangan se-Kalimantan Tengah di Palangka Raya, pada 1962.
“Kebetulan demang Delang waktu itu kakek saya, dan meminta tanggal 7. Itu angka yang dinilai cukup bagus,” tutur dia usai ritual Babantan Laman, Minggu 7 Juli 2018.
Sesampainya di Kudangan, saya dan rombongan dari Pangkalan Bun, beristirahat sebentar di salah satu rumah warga Kudangan. Kami menunggu mentari terbenam untuk bersiap mengikuti secara langsung ritual adat yang dimulai malam hari hingga keesokan harinya.
Pukul tujuh malam kami menuju lokasi Rumah Betang tempat ritual diselenggarakan. Beberapa warga sekitar Kudangan yang beragama Kaharingan datang untuk mengikuti acara ritual. Kami datang ketika acara memasuki sesi makan malam.
Pukul delapan, kami memasuki rumah betang untuk memperkenalkan diri dan menyempatkan untuk bertanya perihal ritual hingga benda-benda yang ada di rumah betang. Para pemuka adat Dayak Kaharingan, pemain musik, hingga tamu dari media massa dan peneliti berkumpul menunggu momen ritual.
Kami disuguhi minuman khas tuak Dayak sembari mendengar pemain musik melakukan geladi resik. Suasana akrab dan penuh keriangan. Satu per satu pemuka agama dan orang-orang tua memenuhi rumah betang.
Ada aturan tentang posisi duduk di rumah betang. Bagi masyarakat Dayak Tomun yang mengikuti ritual duduk di sebelah kiri rumah. Sementara untuk tamu diberikan tempat khusus di bagian kanan rumah betang.
Posisi instrumen musik ada di bagian kiri depan rumah betang. Sedangkan pusaka-pusaka diletakkan di bagian kanan belakang. Seluruh pusaka yang akan dimandikan pada esok hari, diselimuti kain kuning.
Tepat pukul sembilan malam, ritual adat dimulai. Para tokoh adat, seperti demang (pemimpin desa), mantir (pemimpin agama), dan keturunan langsung Patih Sebatang, leluhur Dayak Tomun, turut hadir. Mereka berinteraksi menggunakan bahasa Dayak Tomun, dan dimulai dengan menyalami satu per satu orang-orang yang hadir.
Interaksi tersebut menyebut beberapa istilah asal-usul, silsilah keluarga, nama-nama laman, dan unsur-unsur budaya. Saat interaksi, alat musik tidak dimainkan. Demikian pula saat pemimpin ritual melakukan ritual menabur beras di depan pusaka-pusaka. Ia menabur seraya melafalkan secara lantang silsilah leluhur mereka, dan menginjak sebatang besi putih di kaki kanan. Batang besi tersebut tidak boleh dilepas sampai silsilah berhasil dilafalkan seluruhnya.
“Satu, duo, tigo, empat, limo, enam, tujuh…,” ucapnya lalu beras ditabur ke depan, kadang-kadang ke belakang.
Tak terasa, satu jam ritual menabur beras dan melafalkan silsilah keluarga dilakukan. Kami memasuki sesi menyiapkan seserahan beras ketan putih dan kuning, yang dimasak dalam bambu. Bambu dipotong oleh lelaki dan perempuan Dayak Tomun. Lalu ketan dikeluarkan dan ditaruh melingkar di atas nampan bambu.
Ada sekitar dua nampan bambu berisi beras ketan masak. Setelah itu, seekor anak babi panggang dipotong-potong untuk diletakkan di atas beras ketan tersebut. Terakhir, nampan diletakkan di depan barang-barang pusaka. Seserahan tersebut dilarang dikonsumsi oleh manusia.
Sesi ritual terakhir adalah menari diiringi musik tradisional. Ada tujuh jenis alat musik yang dimainkan masing-masing oleh seorang laki-laki. Nama-nama musik dalam Bahasa Dayak Tomun, yaitu tawak-tawak, grantung, membonding, membaungan, gentarai, kelinang, dan gondang.
Sebagai tamu, kami dipersilakan untuk turut andil mengikuti tarian tersebut. Komposisi tarian saling berhadap-hadapan antara dua laki-laki dan dua perempuan. Membentuk formasi segi empat, tarian dilakukan dengan merentangkan kedua tangan dan kaki bergantian saling-silang.
Tarian diselingi dengan masing-masing penari meminum tuak yang disediakan. Tiga hingga empat kali menari dan minum tuak, barulah tarian selesai. Musik yang nyaman membuat penari tidak merasakan lelah dan letih selama proses mengikuti ritual adat.
Para wisatawan yang ingin merasakan sensasi dan memahami lebih dalam kebudayaan masyarakat Dayak Tomun, bisa mengunjungi Kabupaten Lamandau di bulan Juni 2019 karena ada banyak kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan masyarakat adat. (*)