Bagi para penulis dan pembaca buku generasi kiwari, nama Boy Candra barangkali sudah tak asing di telinga mereka. Apalagi, bagi kolektor quote baper, wajib hukumnya nama Boy muncul setelah Fiersa Besari, Pidi Baiq, dan Marchella FP. Sudah lebih dari 10 bukunya yang telah terbit sejak mengawali karir di tahun 2014, lewat buku pertamanya, Origami Hati. Status-statusnya di akun twitter @dsuperboy, sering sekali dibagikan oleh banyak orang.
Minggu lalu redaksi Kurbuk berkesempatan untuk ngobrol santuy bareng Bang Boy—sapaan akrab belio. Mula-mula, yang kami ucapkan adalah selamat atas terbitnya novel Malik dan Elsa 2, dan sedang dalam proses difilmkan. Konon, tahun depan filmnya bisa sama-sama kita saksikan di layar lebar seluruh Indonesia.
- Gini Bang Boy, saya akan cukup cerewet—karena tuntutan pekerjaan—dalam bertanya. Semoga Bang Boy sabar, ya….
Baik. Saya siap jawab satu per satu pertanyaannya, kok.
- Peristiwa atau hal apa yang membuat Bang Boy ngebet ingin jadi penulis?
Sebenarnya saya enggak merasa ngebet jadi penulis, sih. Tapi memang ‘nekat’ memilih jalan hidup jadi penulis penuh waktu. Memilih bekerja sebagai penulis buku lebih tepatnya.
- Oya, berdasar informasi yang kami dengar (kalau salah sila koreksi), di awal karir kepenulisan, Bang Boy sempat diragukan atau tidak disetujui oleh keluarga untuk terjun ke dalam dunia menulis karena pendidikan Bang Boy tidak sesuai jurusan sastra?
Diragukan barangkali, iya sih, walaupun tidak pernah disampaikan langsung. Justru, yang lebih banyak meragukan langsung itu bukan orang tua (keluarga) saya, tapi orang lain di sekitar saya. Kalau orang tua saya, ragu bukan karena saya tidak kuliah jurusan sastra, tapi lebih realistisnya orang tua; mau dapat duit dari mana kalau menulis? Sebelumnya, mereka belum paham soal duit dan menulis. Tapi, menolak keinginan saya jadi penulis, tidak pernah.
- Kalau memang benar pada awal karir menulis keluarga Bang Boy tidak setuju, apa alasan lain yang melatarbelakanginya?
Bukan tidak setuju. Mungkin belum yakin kalau saya bisa hidup di bidang ini. Ayah saya pengin saya jadi pegawai yang ke kantor dengan seragam dan menerima gaji pasti tiap bulan serta ada jaminan pensiun hari tua. Normalah seperti orang tua pada umumnya. Belakangan dia pernah bilang, kalau dia dulu pengin jadi guru, karena tidak kesampaian makanya dia pernah berharap saya yang jadi guru. Tapi, sekarang sudah enggak masalah.
- Apa yang pertama Bang Boy yakinkan kepada keluarga terkait jalan yang Bang Boy pilih ini?
Saya bilang sama ayah saya, saya anak laki-laki dan saya harus berani menjalani hidup. Saya akan bertanggungjawab atas hidup saya. Saya tidak akan minta uang lagi setelah saya tamat kuliah. Tolong izinkan saya mengambil jalan hidup sendiri. Saya akan terima apa pun risiko dari pilihan itu.
Saya komitmen dengan ucapan dan pilihan itu. Setelah wisuda, saya tidak lagi minta jajan dan uang makan pada orang tua saya. Jadi, mereka tidak bisa mempermasalahkan pilihan itu.
- Lalu bagaimana respons keluarga setelah tahu Bang Boy kini sukses jadi penulis?
Kalau apa yang saya terima hari ini sudah bisa dibilang sukses, alhamdulillah. Orang tua saya tentu senang dan sekarang malah bangga. Suka ngomongin tentang saya ke siapa pun yang mereka temui. Terutama jika bertemu anak muda seumuran saya, beliau sangat sering bertanya; kenal sama Boy Candra nggak? Padahal, nggak mungkin juga semua anak muda kenal saya. Tapi, saya pikir itu hanya bentuk ekspresi mereka untuk membanggakan anaknya.
- Hahaha, khas orang tua pada umumnya. Memangnya, kenapa keinginan Bang Boy untuk terjun ke dunia menulis begitu kuat. Apakah karena hanya ingin menghindari pekerjaan yang monoton dan itu-itu saja?
Salah satunya iya. Saya pernah kerja kantoran salama tiga hari. Hanya hari Senin sampai Rabu, Saya mulai bekerja satu hari setelah wisuda, setelah hari sabtunya saya wisuda, lusanya langsung kerja. Hari Kamis saya memutuskan berhenti. Saya enggak betah dan merasa tersiksa. Mungkin karena saya tidak suka diatur-atur dan diperintah-perintah.
- Di Indonesia, berdasar pengalaman dan informasi yang kami ketahui, kasus-kasus seperti seseorang ingin terjun ke dunia menulis seringkali terkendala persetujuan orang tua. Menurut Bang Boy, apakah itu disebabkan karena menjadi seorang penulis di Indonesia belum begitu menjanjikan untuk hidup seseorang? Atau ini hanya soal pandangan hidup saja?
Lebih kepada pandangan orang Indonesia, sih, menurutku. Dalam banyak kepala orang Indonesia, terutama yang di daerah, penulis itu bukan pekerjaan (profesi). Hanya sebatas hobi saja. Banyak penulis yang miskin. Belum adanya jaminan ‘kemapanan atau hidup layak’—seperti jika bekerja sebagai orang kantoran—yang bisa mendapatkan penghasilan pasti jumlahnya tiap bulan. Tapi, kalau bagi saya sendiri, saya sih yakin profesi penulis adalah profesi yang menjanjikan selama ditekuni dengan serius dan total.
- Mungkinkah industri kepenulisan di Indonesia saat ini belum begitu kuat sehingga ada banyak yang meragukan jika seseorang terjun ke dunia menulis?
Iya, menurut saya belum kuat memang. Banyak faktor. Salah satu yang membuktikan industri perbukuan kita belum kuat adalah masih rendahnya perlindungan terhadap buku-buku dan hak penulis. Sudah jual bukunya sulit, tidak banyak penerbit yang punya kekuatan dalam hal ‘membesarkan buku’, namun ketika sebuah buku lumayan diminati, malah bajakannya bisa terjual lebih banyak. Sementara, negara—atau siapa pun yang seharusnya menjamin hak penulis—terkesan tidak berdaya, atau mungkin tidak peduli.
Itulah mengapa, kalau nggak cinta-cinta amat sama dunia semacam ini, ya, ngapain terjun dan jadi penulis?!
- Lalu apa pesan Bang Boy kepada mereka yang ingin menjadi seorang penulis tetapi masih dilingkupi keraguan dan belum disetujui orang tua?
Kalau masih ragu, sebaiknya tidak usah dilanjutkan. Toh, menjadi penulis adalah menjadi seniman. Hanya ada iman dalam seniman, tidak ada aman. Bahaya. Kalau tidak yakin, ya tidak usah.
- Oh, iya, selagi ingat. Ini menyangkut dunia sastra di Indonesia yang ‘ada’ pengkotak-kotakannya atau kurang lebih pengelompokkan sastara begitu. Saya penasaran apa tanggapan Bang Boy terkait hal itu?
Saya pernah dengar istilah itu, tapi sejujurnya saya tidak terlalu paham soal pengkotak-kotakan itu dan memang saya tidak peduli juga. Semakin ke sini, saya semakin merasa simbol-simbol semacam itu tidak jauh lebih penting dari apa yang dilakukan. Mungkin karena saya tidak datang dari kotak mana pun, saya belajar dan berjalan sendiri dari awal.
Kemudian bertemu dan berteman dengan banyak orang tanpa memandang apakah dia dari kotak mana dan kelompok apa. Jadi tidak ada beban bagi saya untuk peduli pada hal semacam itu. Tapi, kalau itu (pengkotak-kotakan) memang ada, ya nggak apa-apa. Kan. seru juga ada orang dalam kotak. Bisa bikin seseorang cepat merasa besar karena ia hanya fokus dalam sebuah kotak hehe…
- Sebagai penutup, terlepas dari segala pertanyaan tadi, boleh kasih tips nggak, Bang, bagaimana caranya meneguhkan hati untuk tetap istiqomah di jalan menulis bagi pemula, sehingga yang membaca rubrik ini menjadi termotivasi?
Menjadi penulis, atau pekerjaan seni apa pun, menurut saya harus dijalani karena kamu mencintai bidang itu. Kamu merasa dirimu membutuhkan bidang itu. Kalau sudah cinta dan butuh, memangnya masih ada alasan untuk tidak bertahan?! (Lemri/red).