“Kau takut Tuhan?”

Perkataan Ahmad yang tiba-tiba tersebut, seolah tersangkut di pintu kamar mandi. Maria, yang sedang buang air, menjawab pertanyaan itu dengan berteriak, “Takut laaah!”

Godphobia,” ujar Ahmad pelan sambil berbaring. Lalu ia menatap jam. Jarum panjangnya menuju ke angka satu.

Maria keluar dari kamar mandi, yang berjarak lima langkah dari kasur. Dia pun bertanya, “Tadi kamu bergumam apa?”

“Memangnya kau dengar?” Ahmad balik bertanya sambil melihat pacarnya di pojok kamar mereka, di depan pintu kamar mandi.

“Dengar laah. Godphobia, ‘kan?” Maria duduk di samping Ahmad. Kemudian perempuan itu melepaskan selimut yang masih menempel di tubuh kekasihnya.

“Nah, itu tahu!” Ahmad, yang sudah tidak berselimut, bangkit dari rebahannya kemudian duduk di samping pacarnya.

“Maksudku, itu maksudnya apa?”

Godphobia adalah gejala takut Tuhan. Hanya dialami oleh orang-orang beriman.”

Setelah itu Ahmad tertawa. Sedangkan pacarnya hanya diam dan bertanya, “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya dan berpikir seperti itu sih, Mad?”

“Waktu Indonesia bagian merenung,” jawab Ahmad singkat. “Eh, rokokku mana?”

Maria membawa sebungkus rokok yang tergeletak di dekat pahanya. “Kamu sendiri takut Tuhan?”

Ahmad menatap wajah Maria. “Itu pertanyaan kompleks.” Ia menyalakan rokok.

“Kamu bertanya itu padaku!” Maria menatap ke dinding. Dia menemukan salib yang bersebelahan dengan poster hijau bertuliskan lafaz Allah dalam bahasa Arab. “Kamu bertanya itu karena melihat dua Tuhan di dinding, ‘kan?”

Ahmad pun mengalihkan pandangan ke arah sana. Lalu ia mengisap rokoknya. “Ya. Begitulah. Aku baru sadar jika kita di sini diawasi oleh dua Tuhan. Dulu, pada saat memasangnya, aku cuman iri saja kau memasang Tuhanmu. Sekarang, aku berpikir bahwa kamar indekos ini adalah tempat paling agamis di dunia.”

“Hhmm. Menarik.”

“Begitu saja jawabanmu?”

Maria hanya tertawa, sedangkan Ahmad mengeluarkan asap rokoknya dari hidung.

“Mar, aku baru sadar setiap kita ML, kita diliatin dua Tuhan.” Maria makin keras tertawa. “Di agamaku, zinah itu dosa.”

“Di agamaku juga,” jawab Maria sambil masih tertawa. “Lebih dosa kalo dilakukan dengan yang beda agama, Mad?”

“Sepertinya.” Ahmad mengisap kembali rokoknya.

“Eh, buka dulu dong, jendelanya,” Ahmad menuruti titah Maria. Ia berjalan ke arah jendela. Maria masih tertawa-tawa.

“Katanya kau takut Tuhan. Kenapa kau tertawa?” Jendela telah dibuka.

“Iya juga, ya?” Di samping Maria, Ahmad sudah kembali duduk sambil membawa asbak berwarna. “Eh, kamu belum jawab pertanyaanku!”

“Yang mana? Aku takut Tuhan atau tidak?”

Maria mengangguk.

“Jika aku takut Tuhan, harusnya aku tidak tinggal bersamamu. Sekarang, aku sedang salat malam dan mengaji. Surat apa, ya? Hhmm. Al-Kafirun.” Maria tersenyum. “Lalu sesudah itu, aku akan berdoa agar kau mau jadi mualaf. Kemudian sahur, untuk puasa sunah. Toh besok Senin.” Ahmad memandang Maria yang masih tersenyum.

“Tapi kamu tidak begitu. Jadi tidak takut?”

“Tentu saja takut.”

Mereka pun tertawa bersama.

“Namun, seharusnya Tuhan tidak perlu ditakuti, ‘kan?”

Ucapan Maria itu seakan mengiris-iris tawa mereka. Ahmad yang masih merokok tiba-tiba mematikan rokoknnya lalu berbaring lagi. “Ya, seharusnya begitu. Tuhan bukanlah sesuatu yang menakutkan. Seharusnya kita menyayangi Tuhan. Itu pun jika Tuhan ada. Bagaimana jika Tuhan tidak ada?”

“Tidak bagaimana-bagaimana. Malah yang kutakutkan itu jika Tuhan ada, karena kemungkinan besar, aku akan masuk neraka.” Maria ikut berbaring.

“Lantaran kau pendosa!” ujar Ahmad sambil menyelimuti mereka berdua.

“Nah, berarti yang takut ke Tuhan hanyalah pendosa! Kalau orang baik, buat apa takut Tuhan?” Maria memeluk Ahmad.

“Hhhmm. Masuk akal!”

“Begitu doang tanggapannya?”

Ahmad tertawa seraya membalas pelukan Maria.

“Heh. Dosa!” Maria melepas pelukannya dan pelukan Ahmad. “Kenapa kamu masih percaya Tuhan sih? Padahal berdosa tiap saat.”

Ahmad masih tertawa. Ia sekarang membelai rambut Maria. “Mungkin karena aku berpikir agama itu asuransi. Jadi, jika Tuhan ada, itu bisa menyelamatkan kita, atau aku percaya hanya karena aku takut neraka.”

“Bagaimana jika nereka itu tidak semengerikan yang kita pikir? Tidak ada hukuman berat. Nereka yang santuy.” Maria sekarang tertawa.

“Lalu kenapa disebut nereka kalo begitu?” Jari Ahmad tersangkut di rambut Maria yang berantakan.

“Iya juga, ya?” Maria mengecup bibir Ahmad lalu memeluk Ahmad. “Rasa rokok. Kenapa tak dihabiskan sih, rokokmu tadi?”

“Mengantuk. Jadi tidak dihabiskan. Buat besok saja. Oh, ya, jendela belum kututup lagi.” Ahmad berdiri, melepaskan pelukan Maria dan berjalan ke arah jendela. “Kenapa kau mengecupku, katanya dosa!”

“Dosa juga tak apa-apa. ‘Kan nereka versi-ku santuy.” Maria menyelimuti Ahmad yang sudah sampai di sampingnya lagi. “Kamu sendiri?”

“Tak apa-apa. Aku percaya Tuhan, percaya agama, tapi aku tidak percaya surga dan nereka. Jadi tak apa-apa.” Ahmad memeluk Maria.

“Terus jika mati, kita bagaimana?”

“Entah.”

Mereka tertawa-tawa sambil berciuman.

“Kita harus tidur!”

Ahmad mengatakan itu setelah bosan tertawa dan mencium pacarnya. Maria, yang sedang mengelap bibir dengan punggung tangan, menjawab, “Ya, aku besok harus bangun pagi. Kuliahku mulai jam delapan.”

“Kuliahku juga. Oatmeal masih ada untuk sarapan?”

“Masih. Kalau habis, masih ada mi, kok.” Maria mencoba menutup matanya. “Mad, tolong matiin lampu, dong.”

“Heh! Enak aja nyuruh. Kau ‘kan yang tadi nyalain karena mau pipis.” Ahmad melepas pelukannya.

“Ih.” Maria membuka mata lalu bangkit dari tidurnya. “Dasar itungan!” ujarnya berpura-pura marah, sambil mendekati sakelar lampu.

Ahmad menatap pacarnya yang sedang berjalan. Karena sakelar lampu berada di dinding yang sama dengan dua Tuhan yang tadi mereka bicarakan, secara tidak langsung, Ahmad menatap Mereka.

“Ahhhhh!” Maria berteriak. “Kecoa! Mad, sini! Mad!”

“Kau takut kecoa?” tanya Ahmad sambil bangkit. “Di mana tadi?”

“Di sana!” Maria menunjuk tempat si kecoa bersembunyi. “Kamu sendiri tidak takut kecoa?”

Mendengar pertanyaan itu, mereka jadi saling tatap. Kedua pasangan ini tiba-tiba tertawa. Kemudian mereka menatap Mereka.

Jein, November 2019